Pesantren, Cinta, dan Kemanusiaan

740 kali dibaca

Dalam kumpulan tulisan Gus Dur yang dibukukan menjadi satu buku utuh berjudul Hubungan antara Agama dan Negara, terdapat satu tulisan menarik, yang sangat esensial sekali dengan kehidupan pesantren. Kehidupan yang meliputi ragam dinamika, baik di dalam ataupun dari luar pesantren. Baik konteks pembelajaran santri, pun kehidupan kiai. Jika boleh jujur, akhirnya berbondong-bondong para akademisi meneliti dan menggandrungi pesantren.

Ada yang menawarkan konsep pengetahuannya terhadap pesantren yang dipahami. Ada juga yang mengikuti alur dan gerak kehidupan pesantren itu sendiri. Maka wajar, jika kita temukan di sana-sini lembaga pendidikan dengan motto dan caption bercorak pesantren atau mencitrakan kehidupan pesantren.

Advertisements

Gus Dur dalam tulisannya yang berjudul “Masalah Kultur Kepemimpinan Islam” menegaskan bahwa ada sisi unik dalam historisasi kepemimpinan islam di negeri kita. Lantas kaitannya dengan pesantren bagaimana?

Pendidikan Islam di Indonesia didominasi oleh pesantren. Tercatat ada 26.973 pesantren di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam konteks ini adalah kepemimpinan Islam, yang muaranya terdapat di pesantren kemudian menjadi lokomotif penggerak sosial.

Pergerakan inilah yang kemudian menjadi dinamika baik di dalam pesantren ataupun di luar pesantren. Akhirnya masalah kultur kepemimpinan Islam, adalah bahasan yang sebenarnya terus berlanjut, bahkan mungkin sampai di masa depan akan tetap begitu.

Meminjam istilah Romo YB Mangunwijaya, yaitu dimensi religiusitas. Ungkapan ini seharusnya menjadi bagian dalam rapat-rapat pengurus pondok atau bahtsul masail. Dengan menyoroti dan mendalami dimensi religiusitas atau semangat keberagamaan, tentu akan memberi semacam peta konsep bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya tentang keislaman, tetapi juga berkaitan dengan dimensi sosial, politik, dan budaya.

Sebelum para pembaca tidak setuju dengan tulisan saya ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk mengamati bagaimana kedekatan atau keterbukaan pesantren terhadap problem sosial yang ada di sekitarnya, misalanya yang berkaitan dengan wakaf, berkaitan dengan polemik kepercayaan atau gerak perpolitikan.

Tentu akan muncul ragam pandang dengan dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Belum lagi sekat sosial antara msayarakat biasa dengan keluarga pesantren, misalnya.

Semangat Wali Songo, misalnya. Mengapa dakwah yang mereka lakukan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat? Ini menjadi pertanyaan dasar untuk membuka dimensi religiusitas. Pesantren adalah pendidikan subkultur, dengan kata lain kultur yang dibangun sejak berdirinya pesantren itu menjadi satu fenomena yang bisa tidak bisa harus diterapkan di kemudian hari. Dengan kata lain menjadi sebuah warisan turun-temurun.

Lantas, bagaimana memahami semangat keberagamaan dalam pesantren itu sendiri, dengan dinamika yang selalu berkembang? Kalau kata Bung Karno, “jangan sekali-kali melupakan” atau “Jas Merah” ini menjadi peluang untuk kita sebagai santri, atau yang sudah merintis pesantren dan bakal menjadi kiai, bahwa pembauran dengan masyarakat sosial itu menjadi satu hal yang sangat penting.

“Jas Merah” itu tertuju pada bagamaina para wali ketika berdakwah, membaur, bahkan mengakulturasi. Garis besar kultur kemenungsan (humanisme) inilah yang sebenarnya menjadi ide utama tulisan ini. Karena dampak dari tidak memahami dimensi religiusitas akan mengakibatkan pembatasan, pengkultusan, pembenaran sepihak, dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, filosofi “kiai kampong” adalah gambaran bahwa Indonesia ini majemuk. Mengapa demikian? Kiai, kita tahu, sebuah predikat yang disematkan untuk orang yang arif, alim, bijaksana, dan musakani (keramat). Sedangkan, kampung selalu identik dengan hal-hal yang ada di akar rumput. Filosofi “kiai kampong” adalah mereka yang memiliki kearifan dan akal budi, sehingga pengetahuannya tidak membatasi diri untuk bisa bergumul dengan golongan masyarakat apa pun.

Di Indonesia, dengan ragam suku bangsanya tentu memiliki dimensi religiusitas yang berupa nilai dan semangat mengasihi satu sama lain. Karena semua agama mengajarakan tentang cinta. Pesantren menjadi pusat pembelajaran cinta itu. Oleh karenanya, apa pun yang menjadi bagian pesantren adalah unsur-unsur yang menumbuhkan cinta. Dengan begitu dimensi religiusitas akan dapat dikenali dengan pendekatan cinta untuk kemanusiaan. Pesantren, santri, kiai, dan lain sebagainya adalah simbol dari cinta dan kemanuisaan itu sendiri.

Kultur memanusiakan manusia adalah satu modal utama dalam keberlangsungan kehidupan Islam. Kepemimpinan dan lokomotif penggerak yang menjadi dominan perlu untuk mennaamkan, menumbuhkan, pun menyemai-suburkan kultur memanusiakan manusia ini. Disadari atau tidak, pesantren turut serta menjawab PR ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan