Pesantren, antara Brand dan Culture Education

1,081 kali dibaca

Pesantren adalah ruang kaderisasi ulama yang diramu secara mendalam oleh kiai sebagai sosok utama dalam pesantren (Ali, 2014). Ungkapan Mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali itu memberi satu gagasan utuh bahwa ulama adalah mereka yang mewarisi uswah dari kanjeng Nabi.

Gus Dur pernah menyinggung bahwa pesantren bukan hanya ruang pendidikan keagamaan dengan kedalaman kitab kuning sebagai sumber pengetahuan setelah Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga ruang moderasi dan sosial keberagamaan yang memiliki cakrawala alam pikir yang kontekstual.

Advertisements

Artinya, pesantren bukan hanya sebuah brand atau merek yang bisa ditempelkan di mana-mana. Di mana akan banyak sekali dampak sosial maupun kultural yang muncul saat pesantren menjadi satu komoditas tertentu. Pesantren adalah tempat penempaan diri. Hal ini perlu digarisbawahi secara mendasar. Sehingga tidak mudah orang mendirikan pesantren, yang ujuk-ujuk dengan donasi dan prestisius tertentu.

Pendidikan pesantren dan tradisi pesantren tidak bisa dipisahkan; tirakatan, lalaran, sorogan, terjemah, interpretasi, ngabdi, ngasuka, dan lain sebagainya. Penempaan diri di pesantren bukan tanpa alasan. Kisah hidup Kiai Nawawi Bantai, dengan tirakat memakan kulit semangka, Kiai Hamid yang sangat manut dan taat pada gurunya, Kiai Abdul Karim yang puasa ketika nyantri pada Kiai Kholil Bangkalan, dan lain sebagainya adalah bagian dari contohnya.

Artinya, ada proses penempaan diri yang benar-benar khusyuk dalam mengiringi proses pendidikan di pesantren. Hal ini disiapkan untuk proses kehidupan di masyarakat selepas nyantri. Dengan kata lain ada persiapan matang untuk menghadapi problem-problem sosial yang akan dihadapi kelak.

Bahkan dalam pendidikan pesantren, ada sistem hafalan Imrithy, Alfiyah, Fathul Mu’in, dan lain sebagainya. Hal ini digunakan untuk menunjang pola pikir intelektual santri dan melatih olah rasa dalam mengingat segala sesuatu. Hal ini penting dan menjadi model pembelajaran yang tak tergantikan.

Berbeda dengan kondisi hari ini, yang dalam tulisan Surya Dharma Ali disebutkan bahwa semakin minimnya kader ulama yang tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan Islam, tetapi juga akhlak al-karimah. Ia menyebutkan bahwa ada kemerosotan nilai dengan ragam sistem persamaan dalam dunia pendidikan. Tidak terkecuali pesantren.

Lembaga pendidikan formal berbondong-bondong membangun asrama, boarding, dan ragam istilah untuk “memesantrenkan” peserta didiknya. Yang mana akan ada kiai atau ulama yang di-SK-kan untuk membina dan mengelola lembaga yang menduplikasi sebagaian sistem terkecil dari pesantren.

Di mana sejatinya pesantren adalah culture education, yang memiliki kedalaman dan kecakapan pengetahuan keagamaan serta nilai-nilai sosial yang kental. Di satu sisi, desain pesantren menjadi satu brand yang cukup menjanjikan bagi lembaga-lembaga formal untuk meng-guide calon peserta didik baru.

Begitu juga dengan program-program yang ditawarkan. Jika pesantren menawarkan pengetahuan yang bersifat vertikal dan horizontal, sehingga meluas pola pikir dan pola sikapnya. Maka, bagaimana dengan brand “pesantren” yang dimunculkan dalam lembaga pendidikan formal di setiap jenjang? Anda bisa menjawabnya sendiri.

Oleh karena itu, hal yang perlu ditekankan dalam pemahaman kita adalah bagaimana memposisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan kultur yang kuat, dengan pesantren sebagai brand pendidikan dengan segala hiasan-hiasan di dalam pendidikan formal.

Bukan menjadi masalah, sebenarnya, akan tetapi dengan munculnya fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, perlu adanya penguatan dan kemantapan dalam memaknai pesantren itu sendiri. Kasus ustaz cabul di Bandung dan di Malang, akhir-akhir ini, setidaknya menjadi satu cerminan bahwa penguatan istilah pesantren, serta pengertian antara pesantren dan boarding school, asrama atau lembaga dengan citra pesantren perlu untuk dikaji dan didalami kembali.

Sehingga kebijakan dan kewenangan bisa sampai pada objek yang tepat, bukan memukul rata persepsi pesantren. Harus diakui bahwa karena ada “pasar” dan penguatan sosial keberagaman, maka pesantren akan terus tumbuh dan berkembang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan