Pertemuan Empat Mata

1,302 kali dibaca

Pagi-pagi suara gosip tentang pembangunan pabrik pengolahan daging mulai berembus memasuki setiap celah-celah kemudian mengisi rumah warga Desa Sukodono. Masyarakat pun semakin penasaran atas kebenaran kabar angin pembangunan yang dilakukan PT Swadesi Pangan, sebuah pabrik sosis yang akan dibangun di persawahan Sukodono.

“Kamu sudah dengar kabar tentang pembangunan pabrik sosis di desa kita, Pak Mul?” tanya Dayat sambil menyabit rumput di pematang sawah yang ditanami padi.

Advertisements

“Ya dengar. Hampir setiap hari kabar itu dibahas oleh warga.”

“Kemarin, aku dengar sawahnya Pak Ju yang seluas 100 ru mau dibeli 200 juta katanya.”

Bagi warga warga Sukodono, harga 200 juta untuk lahan seluas 100 ru sangatlah mahal karena umumnya mereka menjual hanya 100 juta.

Tapi Puji tak mau melepaskan lahannya dengan harga seperti itu karena harga tersebut dianggap sangat murah. Puji pernah dengar bahwa di kecamatan tetangga tahun lalu tanah seluas itu dijual 300 juta untuk pembangunan pabrik kabel. Harga 300 juta itu adalah harga tiga tahun lalu.

*

Di depan sekolah SDN Sukodono, ibu-ibu pun yang sedang menunggu anak-anaknya yang sedang bersekolah juga tergiur membicarakan tentang sawah warga yang telah laku dibeli pabrik.

“Aku dengar sawahmu juga dibeli Mbak Par?” tanya Yuli dengan nada penasaran.

“Iya rencananya mau dibeli. Kemarin malam pihak pabrik didampingi Pak Carik datang ke rumahku.”

“Ditawar berapa tanahmu?”

“Di tawar 160 juta, tapi belum aku kasih.”

“Sawahmu ‘kan cuma 65 ru. Bukankah itu sudah mahal?”

“Tadi aku sempat ngobrol sama Pak Puji, sawahnya yang banon 200 ru saja ditawar 750 belum dikasih.”

“Lho… lha sawahku sudah telanjur kujual 300.”

Hati Yuli terpukul menjadi berkeping-keping mendengar cerita dari Parwati. Ia sangat menyesal kenapa ia tidak tanya kepada warga lain ketika pihak pabrik yang didampingi pamong desa yang menjadi makelar menawar sawahnya. Rasa kecawanhya, membuat Yuli menceritakan harga penjualan sawah yang begitu murah kepada semua warga. Setiap bertemu warga desa ia menceritakan masalah itu agar warga lain tidak terjebak oleh rayuan makelar tanah.

*

Saat malam yang temaram, para warga yang kesal dengan para pamong yang menjadi makelar tanah karena telah membeli tanah mereka dengan harga tidak sama. Mereka berkumpul di rumah Puji. Gumaman mereka memecahkan kesunyian malam itu.

“Mohon tenang sebentar Bapak-bapak. Kita akan meminta saran Pak Puji untuk memecahkan permasalahan warga dengan pabrik sosis. Pak Puji, bagaimana solusinya ini? Kita tidak mau sawah kita dibeli murah daripada harga sawah yang lain,” ujar Mulyo dengan nada tinggi.

“Sebenarnya cara yang menurutku tepat, yaitu kita harus datang kepada Bu Kades. Kita minta bantuan kepada Bu Kades untuk mendatangkan pihak pabrik untuk bermediasi dengan warga yang tanahnya dibeli oleh pihak pabrik.”

“Tapi sepertinya semua pamong-pamong mlempem masalah ini. Banyak warga yang sudah mengadu kepada mereka tetapi tidak ditanggapi. Sepertinya, kita harus bertindak sendiri Pak,” celetuk Sarju.

“Sabar Pak. Sebagai warga yang taat hukum, kita tidak boleh mengambil tindakan tanpa koordinasi dengan pamong desa atau pihak yang berwajib.”

Puji tahu jika masyarakat menyampaikan aspirasi dengan dengan berdemo apalagi yang anarkis malah akan menambah masalah. Makanya, Puji ingin mengajak para warga untuk bermediasi dengan PT Swadesi Pangan.

*

Senin Pagi, Puji beserta perwakilan warga yang tanahnya dibeli pabrik sosis mendatangi Kantor Kepala Desa. Mereka datang untuk  meminta bantuan Bu Kades agar besedia membantu warga dalam bermediasi dengan PT Swadesi Pangan.

“Bapak-bapak yang lain tunggu di luar, biarkan saya, Pak Budi, dan Pak Prapto yang berkoordinasi dengan Kepala Desa,” pinta Puji.

Mereka bertiga melangkah mendekati pintu masuk kantor Kepala Desa. Pak Parni, Carik Desa Sukodono yang kebetulan melihat mereka datang menyambutnya.

“Assalamuaikum.”

“Waalaikumsalam, Pak Puji, Pak Bud, dan Pak Prap. Monggo silakan duduk.”

Parni membimbing mereka mendekati kursi di ruang tamu kepala desa. Sementara warga lain yang penasaran dengan pembicaraan mereka mengintip lewat pintu dan jendela ruang tamu Kantor Kepala Desa.

“Begini Pak Sekdes, kami ingin meminta bantuan kepada aparatur desa untuk membantu memediasi warga desa yang tanahnya dibeli oleh pembangunan pabrik sosis.”

“Silakan duduk. Sebentar saya panggilkan Bu Kades.”

Selang beberapa menit, Bu Kades keluar bersama Carik, Jogoboyo, dan Bayan Sukodono. Mereka duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu kantor kepala desa.

“Kedatangan kami ke sini yang pertama untuk bersilaturahim. Kedua, warga meminta bantuan kapada Ibu Kades beserta perangkat desa yang lain untuk mengundang serta memediasi warga terdampak pembangunan pabrik sosis dengan pihak pabrik.”

“Begini Bapak-bapak, sebagai pihak desa kami sebenarnya tidak ingin mencampuri masalah jual-beli lahan warga yang akan digunakan untuk pembangunan PT Swadesi Pangan karena itu murni hubungan bisnis,” Jawab Kades kepada Pak Puji.

“Huuuu…..” Sorak orang-orang yang mengintip di jendela Kantor Desa Sukodono. Mereka bergumam dengan keras mendesak agar Kepala Desa Sukodono berkehendak mengadakan mediasi dengan PT Swadesi Pangan.

“Harap tenang Bapak-bapak sekalian. Kita di sini bermaksud meminta bantuan aparat desa untuk membantu permasalahan yang kita hadapi. Persilakan Ibu Kades untuk menyelesaikan pembicaraannya agar permusyawarahan ini berjalan dengan baik.”

“Saya selaku Kepala Desa hanya berhak menerbitkan izin pembangunan pabrik. Sebagai perangkat desa, kami tidak boleh menghambat kemajuan perekonomian warga Desa Sukodono pada khususnya dan pendapatan daerah pada umumnya. Dengan berdirinya PT Swadesi Pangan, akan membuat banyak warga Sukodono yang akan menjadi karyawan, desa akan mendapatkan kontribusi yang masuk APBDes dan APBD. Mohon Bapak-bapak untuk mempertimbangan kepentingan warga lain.”

“Kalau masalah itu kami setuju Bu, tapi yang tidak kami setuju harga tanah kami dibeli dengan harga tidak sama. Bahkan selisihnya sampai tiga kali lipat lebih,” celetuk Saji.

“Yang kami tidak setujui ialah cara licik mereka, bergerilya ke rumah-rumah warga dengan menawar harga yang rendah dibandingkan dengan warga lainnya,” tambah Santo.

“Ayo kita diskusikan di ruang pertemuan. Jangan yang diajak berdikusi perwakilan dari kami saja. Biarkan kami semua menyampaikan aspirasi.”

Karena suasana semakin tidak terkendali, akhirnya Puji berusaha menenangkan mereka.

“Tenang Bapak-bapak. Kita ke sini untuk menyampaikan aspirasi. Bukan menambah masalah.”

“Tapi jika tanah kami dibeli dengan harga yang tidak adil kami akan berdemo menolak pendirian pabrik di desa kami,” sanggah Sarju.

Suasana Kantor Desa Sukodono memanas, para warga semakin tak sabar menghadapi argumen perangkat desa yang tidak mau mendatangkan Pihak PT Swadesi Pangan. Dalam pergulatan argumen yang alot, akhirnya warga berhasil memaksa para pamong menyetujui akan mengundang perwakilan PT Swadesi Pangan untuk bermediasi dengan warga.

*

Keesokan hari setelah peristiwa warga mendatangi Kantor Desa Sukodono, para pamong bercakap-cakap di ruang tamu Kantor Desa Sukodono.

“Kita harus membangun kepercayaan masyarakat kepada pamong desa, Bu. Menyukseskan pembangunan PT Swadesi Pangan.”

“Pabrik juga akan menyantuni desa ini jika bisa beroperasi awal tahun 2021.”

Di tengah pembicaraan antara pamong-pamong, suara pintu diketuk menghentikan percakapan mereka.

“Selamat, siang.” Sapa seseorang berbaju rapi dengan sepatu hitam mengkilap.

“Silakan masuk.” Bayan mempersilakan, seseorang yang necis itu masuk. “Silakan duduk Pak.”

“Ya, Pak terima kasih. Perkenalkan saya, Herman, divisi humas PT Swadesi Pangan. Saya diminta perusahaan untuk menemui Kepada Desa permasalahan perizinan dan pembelian lahan warga.” Bu Kades pun langsung berdiri kemudian bersalaman dengan Herman.

“Saya, Asmara, Kepala Desa Sukodono. Kemarin Pak Carik sudah menelepon Bapak sepertinya. Warga meminta keseragaman harga sawah yang telah dibeli. Bagaimana hasil pertemuan antara pihak perusahaan Bapak mengenai usulan itu?”

“Apa bisa kita berbicara empat mata?”

“Baik. Silakan mengikuti saya.”

Bu Kades berjalan menuju ruang kerjanya dengan diikuti Herman.

“Begini Bu, kedatangan saya kemari untuk meminta ibu membatalkan kegiatan mediasi dengan warga. Tolong sampaikan kepada warga bahwa kemampuan finansial perusahaan terkait penawaraan pembelian tanah warga. Perusahaan hanya mampu menyeragamkan harga tanah warga per ru seharga Rp 5 juta. Kami mohon Ibu untuk membantu kami mengomunikasikan hal ini kepada warga.”

“Tapi…”

“Perusahaan memiliki penawaran kepada Ibu atau pamong lainnya, jika warga sepakat dengan harga tersebut. Penawarannya adalah setiap ru tanah yang berhasil dibeli, perusahaan akan memberikan komisi 10 persen atau Rp 500 ribu per ru-nya.”

“Saya harus mendiskusikan dulu dengan warga masalah ini. Saya belum bisa memutuskan dengan sepihak.”

“Perusahaan berharap harga maksimalnya segitu agar ibu mendapatkan penawaran yang telah kami berikan.”

Usai menerima penawaran tersebut, hari kecil Asmara menjadi bimbang antara mendesak warga agar mau menerima tawaran harga yang diajukan PT Swadesi atau sebaliknya. Jika ia memihak pabrik maka ia akan mendapatkan suntikan dana untuk dana kampanye pemilihan Kades yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.

*

Di pagi hari ketika ibu-ibu berkumpul berbelanja di Mbah Sum, pedagang sayur keliling, terdengar suara sales media massa lokal yang menawarkan korannya sedang berjalan mendekati mereka.

“Koran-koran… ‘Kepala desa dan perangkat desa Sukodono diduga korupsi penjualan tanah warganya’. Koran-koran… ‘Kepala desa Sukodono dan perangkat desa diduga korupsi penjualan tanah warganya’.”

Semua warga terkejut mendengar berita itu. Warga tak menyangka kades yang memediasi aspirasi warga yang sawahnya dibeli murah ternyata korupsi.

“Koran Mas,” kata Bu Yuli.

Bersama ibu-ibu yang sedang berbelanja, Bu Yuli membaca berita tersebut. Dalam koran lokal itu, diberitakan bahwa Bu Kades menerima suap dari PT Swadesi Pangan atas pembelian tanah warga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan