Perspektif Pendidikan Murtadho Muthohhari

946 kali dibaca

Pendidikan seringkali menjadi sebab perbedaan pandangan dalam merumuskan sebuah paradigma universal. Latar belakang sosial masyarakat, budaya, dan politik menjadi aspek yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan. Kendati demikian, pendidikan tetap saja mempunyai orientasi mulia, mengantarkan manusia menjadi pribadi yang baik, bermoral dan menjunjung tinggi moralitas tanpa kompromi sedikit pun.

Konsekuensi logisnya, tidak banyak yang mampu bertahan pada jalan idealisme pendidikan. Pragmatisme berpikir, nilai proyek menggiurkan, serta banyaknya praktisi pendidikan terlibat aktif dalam penyusunan satuan pendidikan menjadi lengkap atas semrawutnya dunia pendidikan secara universal maupun parsial sehingga timbulnya pola pikir yang tidak utuh dalam merumuskan pendidikan.

Advertisements

Pendidikan dengan konsepsi yang sudah dicetuskan oleh pakar, idealnya mampu mengantarkan manusia menjadi pribadi yang mampu menginternalisasi nilai-nilai pendidikan yang sudah mengakar dengan sederhana. Di sisi lain, pendidikan juga menjadi media sebuah bangsa untuk mewujudkan negara yang bermartabat, dimulai dengan aaspek pendidikan baik pendidikan umum maupun Islam.

Tidak berlebihan jika aspek pendidikan menjadi salah satu fokus persoalan berbagai kalangan baik akademisi maupun lainnya. Pendidikan Islam bisa dikatakan kehilangan arah destinasinya sehingga program pengembangan pendidikan Islam seringkali jalan di tempat. Persoalan demi persoalan terkait pendidikan pada umumnya menjadi pekerjaan rumah bagi kalangan akademisi muslim di belantika tanah air bahkan dunia dalam memberikan solusi humanis bagaimana idealnya pendidikan Islam di zaman now.

Banyaknya pertengkaran antarsekolah, susahnya akses mendapatkan sekolah, mahalnya biaya registrasi, minimnya insfrastruktur sekolah, minimnya kualitas sumber daya manusia, serta seringnya mengalami pergantian kurikulum pendidikan nasional menjadi alasan klasik-argumentatif kenapa sampai saat ini pendidikan Islam di Indonesia tidak cepat berkembang. Perkembangan institusi pendidikan akan sangat terasa dinamis ketika melihat beberapa sekolah yang berani melakukan pengembangan secara massif. Tentunya, biaya pendidikan secara otomatis menjadi hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dengan demikian, tidak salah ketika banyak pemikir Islam maupu non-Islam memberikan perhatian lebih  terhadap aspek pendidikan. Dimulai dari orientasi pendidikan Islam, rekontruksi pendidikan Islam melalui sistem, stigma negatif atas output pendidikan Islam hingga landasan teologis pendidikan Islam. Salah satu pemikir yang ikut andil dalam perbincangan persoalan pendidikan adalah Murtadho Muthahhari, pemikir berkebangsaan Iran yang berideologi Syiah.

Dalam pandangan Murtadho Muthahhari, seperti dikutip oleh Muhajir dalam Filsafat Pendidikan Islam Syiah, bahwa tujuan pendidikan yang sangat substantif adalah membentuk, membangun, dan mengembangkan kepribadian manusia dengan cara memaksimalkan eksistensi akal dan berpikir. Dalam tujuan konteks pendidikan, menurut al-Attas, sudah berorientasi pada dua hal, yaitu individu dan kemasyarakatan.

Namun demikian, kalau kita cermati rumusan tujuan pendidikan yang dilontarkan oleh Murtadho Muthahhari tidak senormatif itu. Rumusan tujuan pendidikan Murtadho Muthahhari jauh berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Imam al Ghazali, yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai kedekatan diri kepada Allah swt dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

Selanjutnya, Mahmud sulthoh menambahkan bahwa tujuan pendidikan Islam idealnya harus memenuhi beberapa poin. Di antaranya kejelasan, keumuman, universal, integral, rasional, aktual, ideal dan mencakup jangkuan untuk masa yang akan datang. Konesekuensi logisnya dari eksistensi beberapa poin tersebut adalah mampu mengintegrasikan antara ranah kognitif (fikriyah ma’rifiyah), ranah afektif (khuluqiyah), ranah psikomotorik (jihadiyah), ranah spiritual (ruhiyah), dan ranah sosial keagamaan (ijtimaiyah).

Masih dalam keterangan yang sama, Murtadho Muthahhari mengatakan bahwa pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk pengembangan kelompok dan individu. Oleh karena itu, Islam sangat menjunjung tinggi individu maupun masyarakat yang harus dijaga dan dihormati. Salah satu cara untuk menghormati manusia secara kaffah adalah dengan institusi pendidikan. Konsepsi tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani yang membagi tujuan pendidikan menjadi tiga.

Pertama, tujan individu, yaitu orientasi yang berkaitan dengan kepribadian individu dan pelajaran yang dipelajarinya. Tujuan ini meliputi pertumbuhan kepribadian, aktivitas, serta perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pendidikan.

Kedua, tujuan sosial, yaitu berkaitan dengan kehidupan sosial anak didik secara keseluruhan. Titik tekan dari tujuan tersebut adalah memperkaya pengalaman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Ketiga, tujuan professional, yaitu tujuan pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu, seni , profesi, dan berbagai aktivitas di antara aktivitas dalam masyarakat.

Masih dalam keterangan Muhajir, Murtadho Muthahhari menjelaskan bahwa secara umum proses pendidikan sangat berbeda dengan proses industri (shina’ah). Secara definitif, industri mengandung pengertian merangkai, mencampur, atau mengurai sesuatu dalam suatu sistem pengolahan supaya menjadi sebuah produk tertentu.

Sedangkan, pendidik identik dengan proses pengembangan yang bertujuan agar membangkitkan sekaligus mengaktifkan potensi-potensi (al-malakat al-kaminah) yang terkandung dalam diri manusia. Pengembangan yang dimaksud adalah menguak potensi-potensi dalam diri suatu makhluk.

Dari sini jelas kemudian bahwa pendidikan harus sesuai dengan fitrah dan tabiat sesuatu yang hendak dididik dan harus diarahkan untuk membangkitkan potensi-potensi positif yang dimiliki oleh anak didik. Dari sini tampak bahwa Murtadho Muthahhari tidak terkungkung oleh dogma agama di dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan Islam.

Nah, apa pun kondisinya, kita harus optimistis memandang, menyoroti, serta memberikan otokritik kepada stakeholder pendidikan. Landasan teologis tentang arah pendidikan secara universal tidak menjadi persoalan yang serius. Melainkan, disorientasi dalam membawa pendidikan menuju manusia unggul, beradab, serta menjunjung tinggi harkat martabat manusia tidak bisa ditawar tawar. Lebih-lebih dibarter dengan dolar maupun kepentingan perut sekalipun. Semoga, pendidikan di Indonesia memberikan output yang nyata atas persoalan dekadensi moral generasi Indonesia saat ini. Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan