Perjalanan Apel Merah

1,443 kali dibaca

Satu buah apel merah, bagi Klara, bagaikan seluruh perhiasan dunia.

Klara pernah tak mau makan selama seminggu hanya karena apel merahnya jatuh saat ia dan ibunya bersepeda melewati jembatan gantung. Ibunya yang kewalahan menyuruh Klara makan, pun akhirnya berkata dengan nada meninggi, “Bukan kamu saja yang kehilangan apel itu, Ra. Ibu juga. Kamu jangan merasa susah sendiri!”

Advertisements

Klara pun mengunci mulutnya. Nasi olehan saat beli di angkringan pun ia jejal-jejalkan ke mulutnya secara paksa. Rasa-rasanya mau muntah.

Dan sekarang, seseorang di depan Klara memandang pada mata cemerlangnya tanpa berkedip, dan berkata, “Berikanlah apelmu itu padaku!”

***

Demi menghindari orang-orang rumahnya yang juga sama-sama suka apel, Klara sering pergi mencari tempat aman nyaman dan sekaligus menyenangkan. Malioboro menjadi opsi yang pertama-tama menyelinap ke alam pikirnya. Segera opsi itu dipilihnya. Klara mengamati orang yang tiba-tiba saja menghampirinya di tempat duduk trotoar Malioboro, tepat pada saat apelnya akan ia gigit dengan gigi kelincinya. Ah, Klara memanglah perempuan yang cantik. Ia memiliki mata cemerlang seperti seekor kucing. Memiliki dua gigi utama yang ukurannya sedikit lebih lebar dari barisan gigi lainnya, seperti gigi kelinci, yang membuatnya menarik.

“Apakah kau anak yang baik? Aku lapar, Nak!” kata laki-laki di depannya. Meski berdiri, laki-laki itu tidak tampak tinggi. Sebab, ia sudah bungkuk.

***

Pada hari-hari ketika rezeki terasa lancar, membeli lima buah apel merah masih bisa diusahakan, meskipun itu artinya Klara sekeluarga harus menekan anggaran untuk konsumsi nasi. Akhir-akhir ini dagangan sedang kurang laris, sehingga bapak dan ibu Klara selama dua minggu terakhir hanya membeli empat apel merah. Klara bilang kalau ia akan makan dua apel bertiga: bersama kedua adiknya. Bapak dan ibu Klara mengacak rambut anak perempuannya itu sambil berkata, “Kamu memang anak yang baik hati, Nak.”

Selepas mengatakan itu, mereka berdua masing-masing makan apel merah sebesar kepalan tangan. Sebungkus nasi yang dibeli dari angkringan sudah menunggu untuk jadi santapan berikutnya. Sebungkus nasi itu dimakan berdua, bersama dua potong mendoan setengah gosong yang diberi oleh penjual di angkringan karena gosongnya itu. Klara bilang ke ayah-ibunya, “Klara makannya di luar aja ya, Pak, Buk. Sambil main sama adik…”

“Iya. Bagus. Dijaga adik-adinya ya, Ra…” pesan ibu.

Klara mengangguk.

Di luar, Klara hanya memandangi kedua adiknya memakan buah apel merah segar. Sesekali ia tersenyum karena dua wajah anak kecil itu menenangkan hatinya. Namun demikian, tetap saja perasaan yang lain menyelinap juga ke dalam rongga hening hatinya. Klara ingin makan apel merah, bukan hanya sepotong atau separo, tapi utuh satu buah. Ia ingin sesekali makan buah apel merah terbaik tanpa berbagi bahkan kepada kedua orang tua dan adik-adiknya. Selama 20 tahun hidup di dunia, ia sangat ingin paling tidak sekali saja merasai kenikmatan semacam itu, semacam kenikmatan surgawi.

***

Saat duduk termenung di dudukan besi alun-alun utara, Klara melihat seorang bocah laki-laki berjalan di tengah tanah lapang alun-alun. Bocah itu berjalan pelan sambil menendang-nendang tanah, kadang rumput pula. Klara pun turun dan menghampiri bocah itu. Ia lekas bertanya, “Apakah kamu sedang bersedih?”

Bocah itu menggeleng. Mereka berdua berjalan bersisian. Klara mengikuti ke arah mana bocah itu melangkah.

“Lalu kenapa kamu kelihatan gelisah?”

“Aku tidak gelisah…”

“Lalu? Oh ya, siapa namamu?”

“Siaman,” jawab bocah itu.

“Siaman.” Klara mengulang nama si bocah.

“Aku Klara.”

“Senang kenal denganmu. Tapi aku harus pergi.”

Belum sempat Klara menanyakan alasan, Siaman sudah buru-buru berlari ke arah masjid. Karena merasa tak punya hak apa-apa untuk ikut campur urusan Siaman, Klara hanya menanggapi kejadian itu dengan embusan napas seperti ketika orang sedang sangat lelah menjalani hidup di dunia ini. Lalu ia kembali duduk di tempat semula ia duduk.

Sepuluh menit kemudian, Siaman tiba-tiba duduk di sebelahnya. Klara yang terkejut bertanya sejak kapan ia di sana, tapi bocah itu tidak menjawab. Setelah coba mengamati, Klara merasakan ada suatu perbedaan pada Siaman. Bocah itu tampak lebih sumringah, sama sekali lain dari sepuluh menit yang lalu. Apa yang terjadi pada Siaman? Klara bertanya-tanya.

“Dari mana kau tadi?”

“Panggilan Tuhan.”

“Emm. Kamu kelihatan lebih semangat sekarang!”

“Tentu,” sahut Siaman. “Tadinya aku amat sedih karena teman-temanku menolak ajakanku makan di angkringan. Mereka pikir, makan di angkringan itu merendahkan diri mereka. Mereka pikir, orang kaya harus makan di rumah makan, di kafe, di warung makan besar dan bergengsi.”

Klara terperangah mendengar semua perkataan Siaman. Dalam taksirannya, bocah itu baru berumur sekitar 12 tahunan, atau paling mentok 15-an tahun. Tapi, apa yang dikatakannya tadi itu tampak menggambarkan suatu kematangan berpikir.

“Dan sekarang aku senang. Sebab, ada kamu.”

“Aku?” Klara kebingungan.

“Iya. Di duniaku, orang-orang tidak saling peduli. Saat duduk berhadap-hadapan sekalipun, kami tidak saling mengerti kalau salah satu di antara kami mungkin sedang mengalami suatu masalah yang pelik. Kami hanya peduli untuk membuat diri kami senang. Wajah-wajah yang sedih tidak terbaca oleh mata kami.”

“Aku tak mengerti,” kata Klara.

“Kau orang yang peduli.”

***

Siaman dan Klara makan di angkirngan alun-alun utara. Siaman yang mentraktir. Meski jadi tak enak hati, Klara menerima tawaran baik Siaman. Setelah makan sampai kenyang, mereka berdua ngobrol-ngobrol. Di tengah obrolan itulah, Siaman menemukan suatu gurat yang kurang pas di wajah Klara. Seharusnya Klara bisa tampak lebih cantik dari itu. Guratan yang kurang pas itulah yang mengganggu pancaran kecantikan wajah Klara. Setelah menghabiskan es jeruknya, Siaman berkata, “Sebaiknya kau ceritakan masalahmu, Ra. Kau bisa lebih cantik dari yang sekarang terlihat.”

“Apa aku terlihat punya masalah?” tanya Klara.

“Ya. Aku melihat itu.”

“Ah. Kau juga orang yang peduli.”

***

Klara kagum dengan kebaikan Siaman. Bocah itu dengan enteng meloloskan uang ratusan ribu dari dompetnya setelah mendengar cerita singkatnya. Ada lima lembar. “Belilah apel merah sepuasmu.”

Klara menggeleng. “Tidak!”

“Ayo. Terimalah.”

Klara menggeleng lagi. Siaman lantas menarik tangan Klara dan meletakkan uang lima ratus ribu itu ke telapak tangannya. Klara coba memberontak. Jari-jari tangan kanan Klara dipaksa oleh Siaman agar menggenggam uang itu.

“Baik. Kuterima. Tapi tidak semua…” ujar Klara.

“Kenapa?”

“Aku cuma butuh sebuah saja.”

Siaman kalah.

***

Klara mulai mempertimbangkan niatnya makan apel merah segar di tangannya. Berikan? Makan? Berikan? Makan? Dua pilihan yang berdesak-desakan minta unjuk diri. Sementara itu, laki-laki bungkuk di depannya masih setia menunggu. Napasnya sedikit terengah-engah.

Dan, Klara mengulurkan apelnya.

“Ya Tuhan!” kata laki-laki bungkuk itu sambil menerima apel merah segar. “Ratusan orang kumintai, Nak. Sungguh. Baru kau yang mau peduli. Terima kasih sudah peduli. Terima kasih.”

“Kau orang yang peduli.” Ucapan Siaman menggema. Tiba-tiba saja Klara terpikirkan ini. Setelah menerima uang dari Siaman, ia gegas pergi membeli apel merah segar, tanpa pamit pada Siaman. Hanya sebuah apel saja dibelinya. Setelah itu, ia pun memilih Malioboro sebagai tempat terjun ke kolam kenikmatan surgawi: kenikmatan apel merah. Klara lupa memastikan, di mana malaikat yang telah membantunya sampai ke pintu kenikmatan ini. Di manakah Siaman? Tiba-tiba saja Klara merasa sendirian. Padahal, Malioboro ramai sesak oleh manusia. Hanya saja, mungkin, hanya Siaman yang peduli.

Yogyakarta, 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan