Perempuan dengan Ransum di Gapura

1,369 kali dibaca

Kabut menyelimuti pagi ini. Matahari seolah tak mau bangun dari peraduannya. Aminah, perempuan dengan kerut-kerut kulit di wajahnya bergegas menyiapkan ransum untuk putri tercinta, Alzia. Zia anak yang diharapkan menjadi cahaya di kesunyian keluarga Aminah. Kelahirannya memecahkan kesunyian keluarga Aminah. Zia semakin cemerlang ketika ia menunjukkan kecerdasannya sewaktu duduk di TK. Ia paling fasih dalam melafalkan al-Fatihah. Setiap pelajaran dimulai dan diakhiri, Zia selalu memimpin doa dengan lantunan merdu yang membuat semua yang mendengarkan terhipnotis.

***

Advertisements

Zia sekarang sudah duduk di madrasah aliyah di Pondok Pesantren Al-Hidayah, pesantren yang sederhana di sebuah desa pinggiran Banyuwangi. Beberapa juara MTQ dan tahfiz 20 juz mampu ditaklukan dengan mudah oleh Zia. Sudah belasan piala terpampang di lemari kecil di ruang tamu sederhana yang berlantaikan semen dan berdinding batu bata. Ketekunan, motivasi, dan semangatnya yang membuat ayat-ayat mudah melekat di kepalanya.

Kebiasaan Aminah mengirimkan ransum masakan sederhana kepada Zia dimulai sejak TK. Sampai sekarang pun kebiasaan itu tetap terjaga dan berketerusan sampai sekarang. Ransum yang berisikan masakan dengan kasih sayang, membuat nasi sayur tewel dengan lauk telur itu selalu dinanti kedatangannya oleh Zia. Masakan tersebut terasa istimewa ketika datang ke mulut Zia dengan suapan tangan Aminah yang mulai keriput. Keriput tersebut bukan hanya tanda ketuaannya, tetapi merupakan sejarah goresan-goresan kasih sayang kepada Zia yang telah diukir di kulitnya.

“Gimana setoranmu, Nak?”

“Alhamdulillah Bu, tinggal beberapa surat lagi. Insyaallah sebelum ujian semester sudah bisa khotmil.”

“Alhamdulillah Nak. Kamulah yang penghibur hati Ibu. Kehidupan Ibu serasa lengkap dengan keberadaanmu.”

“Besok, Ibu ke sini lagi atau tidak? Untuk membawakan ransum dengan masakan Ibu.”

“Insyaallah aku akan menunggumu di Gapura Pondok ini ya. Tetapi jika aku tidak terlihat berarti ada lemburan di sawah membantu bapakmu.”

Zia pun tersenyum, dan satu suapan terakhir dari sendok suapan Aminah. Kecupan bibir Zia ke tangan Aminah ibunya menutup percakapan bahagia keduanya.

***

Cahaya mentari menembus jendela pesawat. Suara deru dan tusukan hidung pesawat memecah lautan awan putih. Pandangan Zia menuju luar jendela pesawat, pikirannya mengembara. Impiannya yang tinggi tergantung di langit besama bulan dan bintang-bintang mampu ia gengam.

Official Aksioma Jawa Timur, Bu Maisaroh dan Zia, telah sampai di Bandara Adi Sucipto. Di tempat kedatangan para penumpang, sejenak Ketua Official memberikan arahan tentang acara hari ini dan besok.

***

Aksioma 2017 resmi dibuka. Riuh suara tiga ribu peserta, ratusan panitia, ratusan official, dan yang ikut memenuhi Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, serempak lenyap. Perhatian mereka terfokus pada sambutan Menteri Agama RI dan Sultan Hamengku Bawana X.

“Bismillahirohmanirohim, semoga aku bisa membawa kebanggaan waktu pulang nanti,” Zia berkata dalam hatinya yang tanpa tersadar tercermin di mulut mungilnya.

Bu Mai melirik Zia. Sebagai guru pembina tahfiz, ia pun ingin mengobarkan api percaya diri dan semangat agar Zia bisa menampilkan performansi emasnya. Zia adalah santri terbaik dalam bidang MTQ dan Tahfiz yang dimiliki Pondok Al-Hidayah. Dalam membimbing dan manapaki langkah aksioma tingkat nasional ini serasa mudah sekali bagi Bu Maisaroh karena Zia terbilang cerdas.

“Jangan minder, kamu adalah santri yang cerdas. Jika kamu minder, maka akan buyar semua hafalanmu.”

“Baik Bu Mai, saya akan selalu mengingat motivasi dan bimbingan yang telah Ibu berikan kepada saya.”

***

Tiga puluh empat peserta dari seluruh provinsi menempati kursi-kursi berwarna coklat dan empuk. Udara sejuk diembuskan lewat mulut AC yang menganyun-ayun di sisi kanan-kiri kursi peserta. Sungguh sangat nyaman ruangan Aksioma Tahfiz ini.

Semua peserta terfokus dengan hafalannya. Seketika, suara moderator lomba mengoyak kesunyian ruangan itu.

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarohkatuh, yang saya hormati Bapak dan Ibu dewan juri serta para peserta Aksioma dan KSM 2017 cabang Tahfiz tingkat Madrasah Aliyah. Marilah kita awali dengan membaca basmallah agar acara lomba ini berjalan dengan lancar dan sesuai harapan.”

“Bismillahirohmanirohim,” serempak suara hadirin tersebut memenuhi ruang lomba.

“Selanjutnya, saya persilakan dewan juri untuk menyampaikan peraturan lomba.”

“Baiklah, saya akan menjelaskan peraturan lomba, yang pertama bel berbunyi tiga kali, tet-tet-tet, menandakan bahwa waktu dimulai. Kemudian bel dua kali, tet-tet, menunjukan ada pertanyaan dari dewan juri. Bel satu kali, tet, menandakan ada kesalahan, peserta bisa mengulang. Dan, bel empat kali, tet-tet-tet-tet, menandakan bahwa waktu berakhir. Peserta bisa meminta mengulang pertanyaan bila kurang jelas. Demikian peraturan saya saya sampaikan, Assalamualaikum warohmatullahi wabarohkatuh,” kata salah satu dewan juri.

“Bailkah, untuk mengekfektifkan waktu, marilah kita mulai. Inilah peserta nomor undian satu mengambil juz 1, 2, dan 28.”

Zia mengamati dengan saksama setiap peserta yang melafalkan. Sambil berpikir, bagaimana agar ia lebih baik dari peserta-peserta yang tampil sebelumnya. Perasaannya melayang, sehingga mengangkat terbang ingatannya akan petuah dari Abah Zunaidi, Kiai Pondok Pesantren Al-Hidayah.

“Aku sudah bangga  memiliki santri sepertimu yang telah membawa nama Al-Hidayah menang sampai provinsi. Pesanku cuma satu, tampilkan kemampuan terbaikmu di Yogyakarta.”

Zia juga terbesit ucapan ibunya, Aminah. “Nak, kamu sudah melampaui cita-cita ibumu, yaitu hanya sekadar hafal al-Quran 30 juz. Ibu sangat bangga kepadamu. Pesanku, selama kamu jauh dari ibu jangan lupa salat dan deres Quran.”

Hangat pelukan Aminah masih terasa sampai sekarang di tubuh Zia. Kehangatan itu mampu menggugurkan rasa grogi dari tubuhnya. Membangunkan api semangat dan hafalannya. Tak terasa waktu berlalu cepat, moderator pun memanggil nomor undian Zia.

“Peserta undian nomor sembilan, dipersilakan.”

Zia melangkah mengayunkan kakinya mendekati kursi panas di depan para juri. Langkah kakinya sangat tegas. Movitasi dari Ibu, Ayah, Bu Mai, dan Abah Zunaidi menguatkan jiwanya.

“Peserta undian nomor sembilan mengambil juz 1, 2, dan 29. Peserta dipersilakan menempati kursi yang disediakan.”

Zia menduduki kursi merah kemudian meraih mikrofon dan mendekatkan ke mulutnya.

Tet-tet-tet-tet,” bunyi bel menandakan juri akan membacakan ayat pada juz pertama.

” اَلْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ.أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم”.

Lantunan ayat tersebut ditujukan kepada Zia sebagai pertanyaan untuk melanjutkannya. Zia pun berpikir sambil mengambil napas. Seketika ingatan Zia pun mampu memanggil ayat berikutnya, surat al-Baqoroh 148.

“أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمۗ”

“وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ ۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ”

Suara Zia begitu merdu, memenuhi ruangan, hingga mampu membius seisi ruangan. Seakan angin pun berhenti berdesir untuk menyimak lantunan ayat suci yang keluar dari bibir mungil Zia. Tiada kesalahan satu pun yang keluar dalam mulut Zia.

***

Senyampang menunggu pengumuman, Zia menyapa teman sebelahnya. Sambil memberikan tangan kanannya Zia mengucap,

“Assalamuaikum, Mbak, Saya Zia. Dari Banyuwangi. Boleh kenal?” sambil melemparkan senyum dengan lesung pipi yang menambah hangat ucapannya.

“Waalaikumsalam. Ria dari Jepara. Suaramu tadi bagus banget, mengapa tidak ikut cabang MTQ?”

“Aku ingin membanggakan orang yang sangat menyayangiku, makanya memilih tahfiz.”

Cita-cita Zia ingin memakaikan mahkota cahaya kelak di akhir zaman. Itulah yang selalu menguatkan langkahnya untuk selalu menyimpam setiap huruf al-Quran di dalam memorinya.

Bunyi mikrofon yang diketuk-ketuk pun menghentikan dengungan percakapkan di ruang kompetisi tahfiz nasional.

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Salam terucap oleh moderator. Seketika semua peserta membalas.

“Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.”

“Sekarang kita telah masuki akhir acara yaitu pengumuman pemenang lomba. Peserta juara tahfiz yang saya panggil harap naik ke panggung. Bedasarkan penilaian para dewan juri maka diputuskan sebagai berikut.”

Sejenak tangan kanan moderator mengambil catatan di saku kiri atas yang diiringi suara degup jantung para peserta Aksioma Tahfiz Putri Tingkat Nasional.

“Juara Harapan 2, Ridha Fauziah, dari Nusa Tengara Timur. Juara Harapan 1, Nafilah Naimatul, dari DKI Jakarta. Berikutnya, juara 1 sampai 3 akan saya bacakan.”

Degup jantung Alzia semakin keras, tangannya pun ikut bergetar. Hatinya berbisik,

“Semoga Allah memberikan yang terbaik bagi saya dan semua orang.”

“Berikutnya Juara 3, Zulfatul Hasanah, dari DIY. Juara 2 Fitrotus Salamah, dari Nangroe Aceh Darusalam. Dan yang kita tunggu-tunggu juara 1, dari Jawa Timur, Alzia Rohmah.”

Serempak tepuk tangan seisi ruang mengiringi langkah Zia ke panggung. Ayunan kakinya serasa menginjak angin yang menuju arah panggung. Atas izin Allah SWT, iringan doa Aminah dan Abah Zunaidi mampu menembus langit yang mewujudkan cita-cita Zia menjadi juara Aksioma Tahfiz Putri Tingkat Nasional di tahun ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan