Perempuan Berkuda di Panggung Sejarah

1,752 kali dibaca

Ada informasi menarik tentang peran perempuan pesantren di panggung politik nasional saat saya mengikuti acara haul ke-11 Nyai Hj Umrah Mahfudlah tadi malam. Informasi ini disampaikan olek putri almarhumah, Duta Besar Safiratul Machrusah (Rosa), yang mengutip langsung cerita almarhumah saat melakukan penelitian untuk tesisnya di The Australian National University, Canberra, Australia.  Menurut cerita Rosa, Bu Nyai Umrah adalah salah satu tokoh kunci kemenangan Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Tengah pada Pemilu 1955.

Dikisahkan Rosa, menjelang Pemilu 1955, Umrah mendapat tantangan dari kakeknya, KH Wahab Chasbullah, untuk menjadi juru kampanye (jurkam) di wilayah Jawa Tengah. Saat itu, Umrah masih berusia belasan tahun, (sekitar 18 tahun). Tawaran dari sang kekak ini langsung diterimanya. Meski, sebelumnya dia telah malang-melintang menjaadi aktivis organisasi, namun menjadi juru kampanye merupakan pengalaman baru bagi Umrah.

Advertisements

Sejak menerima tawaran menjadi jurkam, Umrah langsung melaksanakan tugas keliling Jawa Tengah, melakukan kampanye untuk Partai NU. Dia mengunjungi hampir semua kota di Jawa Tengah. Tak hanya di wilayah perkotaan, Umrah muda kampanye sampai ke pelosok desa. Karena keterbatasan sarana transportasi, tidak jarang Umrah naik kuda untuk bisa menjangkau daerah pedalaman. Bahkan, sering juga menyeberangi sungai dengan berkuda. Info ini sangat menarik untuk melacak jejak kesetaraan jender di Indonesia.

Sebelumnya memang sudah ada beberapa perempuan yang aktif di gerakan nasional dan partai politik, seperi Siti Sundari Sudirman, perempuan yang aktif di gerakan kebangsaan. Dia menjadi perempuan yang memperjuangkan nasib kaumnya dengan berpidato di depan umum pada Kongres Perempuan Indonesia Pertama, 22 Desember 1928.Dalam pidatonya, Sundari membahas nasib perempuan dalam perkawinan. Dia mendorong perempuan untuk belajar, meningkatkan kepandaian diri, dan berani menyampaikan pendapat. Sri Oemijati, adik dr Soetomo, yang mengenyam pendidikan Eropa dan pernah menjadi anggota parlemen di era 1930an. Setelah itu ada Maria Ulfah, perempuan pertama Nusatara lulusan Hukum Universitas Leiden yang menjadi anggota BPUPKI, bersama dengan Siti Sukaptinah, guru di Taman Siswa dan aktif dalam organisasi Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA).

Meski sebelumnya sudah ada anggota parlemen perempuan, namun Umrah bisa dikatakan perempuan pertama di dunia politik dari kalangan pesantren. Yang menarik, peran Umrah di dunia politik bukan hanya menjadi pelengkap, tetapi justru berada pada peran yang sangat strategis dan vital, karena menjadi kunci kemenangan partai. Hal ini bisa dilihat dari sambutan masyarkat yang hadir saat Umrah berkampanye.

Ada kisah menarik saat Umrah muda melakukan kampanye. Saat itu dia ditantang oleh seorang tokoh PKI untuk datang dan berkamanye di suatu daerah yang menjadi basis merah. Sang tokoh tersebut berjanji, kalau Umrah berani datang ke daerah tersebut dan berhasil menghijaukannya, maka dia beserta seluruh anak buahnya akan memilih partai NU. Tantangan ini diterima Umrah. Tanpa ada keraguan sedikitpun dia datang dan berkampanye di daerah yang disebut oleh sang tokoh PKI. Di luar dugaan, ternyata Umrah mendapat sambutan yang sangat dan meriah. Dia mampu  menarik hati rakyat dan berhasil menghijaukan daerah basis PKI tersebut. Atas kejadian ini, akhirnya sang tokoh PKI menepati janji, dia beserta para pendukungnya memilih partai NU pada Pemilu 1955. Ceritera Rosa ini diperkuat oleh Nyai Hj Mubasyiroh Syaemuri, teman seperjuangan Umrah.

Jejak sejarah Nyai Umrah ini sebenarnya menarik untuk dikaji, karena termasuk pioneer dalam mendobrak tradisi pesantren. Dia termasuk perempuan pertama yang menempuh pendidikan di luar kota. Pada akhir dekade 1940an dia meninggalkan komunitas pesantren Tambak Beras Jombang untuk menempuh pendidikan Sekolah Guru Agama (SGA) di Solo. Di kota ini dia mulai merintis karier menjadi seorang aktivis organisasi. Bakat berorganisasi ini terus dia pupuk sehingga pada 1955 dia mendirikan organisasi IPPNU, Ikatan Pelajar Putri NU. Setelah itu dia aktif di berbagai organisasi kewanitaan baik yang berada di bawah NU maupun yang di luar NU.

Pengalaman bergorganisasi dan berpolitik ini menjadikan Umrah sebagai tokoh penengah saat terjadi konflik di PPP DPW Yogyakarta pada 1975. Diceritakan oleh Rosa, proses pengangkatan Umrah sebagai Ketua DPW PPPP karena ada perselisihan. Saat itu dia didatangi utusan dari DPP, Darussamin, dan diminta menjadi Ketua DPW PPP untuk meredakan perselisihan. Atas permintaan ini Umrah menyanggupi asal mendapat restu dari Kiai Ali Maksum Krapyak. Kiai Ali setuju dan mendukung pemilihan Umrah menjadi Ketua DPW PPPP Yogyakarta. Sejak saat itu dia menjadi Ketua DPW PPP Yogyakarta selama dua periode.

Proses pengangkatan Umrah menjadi Ketua DPW PPP ini mengingatkan saya pada sosok Kalinyamat yang menjadi penengah saat terjadi konflik Kesultanan Demak. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, pada akhir kekuasaan Sultan Trenggono terjadi konflik antara Pangeraan Sedo Lepen dengan Sunan Prowato. Anak Pangeran sedo Lepen, Ahrio Penangsan dendam atas peristiwa ini, sehingga membunuh suami Ratu Kalinyamat. Dalam suasana seperti ini, Kalinyamat hadir di tengah pusaran konflik untuk mengendalikan dan menyelesaikan konflik demi menjaga eksistensi Demak agar jangan sampai pecah. Menurut penelitian Anas Sofiana (2017), Ratu Kalinyamat berhasil menjalankan tugas mengatasi konflik Kerajaan Demak.

Meski dengan intensitas dan skala yang berbeda, keduanya menunjukkan peran perempuan di pusaran konflik politik. Keduanya menunjukkan perempuan tidak hanya menjadi pemicu konflik, sebagaimana yang dikonstruksi oleh kaum misoginis selama ini. Keduanya membuktikan bahwa perempuan Nusantara memiliki peran dalam menyelesaikan konflik politik, termasuk perempuan dari kalangan pesantren.

Menyimak paparan sejaraah dari para sahabat dan Mbak Rosa serta putra putri Bu Nyai Umrah Mahfudlah pada malam itu, saya membayangkan bahwa perempuan penunggang kuda memang ada dan nyata, bukan sekadar mitos. Selain Nyi Ageng Serang yang lahir dari kalangan punggawa kerajaan, ternyata ada juga perempuan penunggang kuda yang tampil di pentas sejarah politik Indonesia yang berasal dari kalangan pesantren, yaitu Bu Nyai Hj Umrah Mahfudlah Tholhah Mansur. Perjalanan sejarah beliau layak diungkap untuk menjadi sumber isnpirasi generasi muda saat ini. Laha al-faatehah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan