Percakapan Semut

619 kali dibaca

Begitu tiba di sarang, teman-temanku langsung menyambutku dengan penuh suka-cita. Tentu saja aku merasa sangat terharu karena ternyata mereka sangat peduli dan mengkhawatirkanku yang telat pulang ke sarang.

Mereka pun langsung memberondongiku dengan dengan pertanyaan.

Advertisements

“Dari mana saja kamu? Sesore ini baru pulang?”

“Iya, ke mana saja kamu, kami semua sangat mengkhawatirkanmu,”

“Iya, kami semua mencemaskanmu,”

“Betul, apalagi sejak kejadian tempo hari itu…,”

“Ya Tuhan, tolong jangan ungkit kejadian itu lagi, aku jadi sedih,”

Mendadak suasana berubah hening. Aku menebak, mereka pasti sedang bersedih dan teringat kejadian tempo hari, ketika salah satu teman kami tak kunjung kembali ke sarang ini. Hingga akhirnya kami mendengar kabar bahwa dia, teman kami itu, tewas mengenaskan akibat tersiram air panas. Ya, air panas. Sangat panas malah, karena baru mendidih di atas kobaran nyala kompor. Dia, teman kami yang bernasib malang itu, terjebak dalam gelas berisi gula dan teh.

Sebenarnya dia sudah berusaha keluar dari gelas kaca itu, tapi rupanya air panas dalam teko itu keburu meluncur ke dalam gelas dan…. ah, kami semua tak bisa membayangkan bila hal mengerikan itu terjadi pada kami.

“Tenang, kawan. Aku baik-baik saja, kok. Aku pulang terlambat justru membawa kabar baik, ah kabar gembira lebih tepatnya,”

Teman-temanku yang semula berwajah murung tiba-tiba berubah cerah sekaligus penasaran.

“Wah, kabar baik?”

“Kabar baik apa, sih?”

“Cepat katakan, jangan membuat kami penasaran!”

“Iya, jangan suka menggantung ucapan!”

Aku tersenyum geli melihat reaksi teman-temanku yang wajahnya tampak lucu kalau sedang merasa penasaran seperti itu. Lantas, aku pun menceritakan semuanya. Ya, semuanya. Tentang pertemuanku dengan perempuan sepuh itu. Usai bercerita, teman-temanku langsung mengerubungiku. Ah, bukan mengerubungi, tapi mereka memelukku. Kami pun saling berpelukan dengan raut penuh kebahagiaan. Sementara dari mulut-mulut kami menggumamkan syukur tiada henti.

***

Dan, di sinilah kami sekarang. Di teras rumah kayu yang sangat sederhana. Rumah yang ditempati oleh seorang perempuan berusia lanjut. Perempuan yang entah mengapa hanya hidup seorang diri tanpa suami, anak, teman atau kerabat.

“Dia tinggal sendirian kah?”

“Setahuku sih memang sendiri, aku nggak begitu tahu soalnya aku juga baru menemukan rumah ini tadi pagi, dan tak ada orang selain dia di rumah ini,” terangku ketika salah satu temanku bertanya perihal perempuan yang sedang duduk di atas amben sambil kedua tangannya sibuk menggelung rambutnya yang warnanya telah memutih semua.

“Eh, makanannya di mana, sih?”

“Iya, mana makanan lezat yang kamu ceritakan itu?”

“Kita sudah sangat lapar,”

“Sabar, tunggu sebentar, hehe,” aku berusaha menenangkan teman-temanku yang sudah tak sabar dan tampak kelaparan.

Kemudian aku pun mengajak teman-temanku merayap ke atas meja yang terbuat dari bambu. Meja yang jaraknya dengan perempuan itu tak begitu jauh. Meja yang di atasnya ada sebuah piring kaca bening berisi potongan roti yang cukup banyak.

“Wah, ini makanan favoritku,”

“Favorit aku juga,”

“Eh, tapi tunggu dulu, gimana kalau nanti perempuan itu memergoki kita,”

“Benar juga, aduh gimana, nih? Aku takut entar dia marah dan nyawa kita terancam,”

Aku tersenyum dan lagi-lagi berusaha menenangkan teman-temanku yang tiba-tiba berubah begitu cemas.

“Tenang, perempuan itu nggak kayak orang-orang yang pernah kita jumpai, kok, dia perempuan baik yang nggak tega menyakiti binatang kecil seperti kita,” aku terdiam sejenak. Kembali teringat beberapa jam yang telah lewat, saat kepergok sedang mencongkel potongan roti dalam piring tersebut.

Waktu itu aku sangat ketakutan dan sudah pasrah dengan apa yang bakal terjadi. Tapi rupanya semua di luar perkiraan. Ternyata aku keliru. Aku mengira perempuan itu sama seperti manusia-manusia kebanyakan yang tega membunuh teman-teman sebangsaku hanya gara-gara ketahuan mengambil sedikit saja makanan milik mereka.

Anehnya, justru perempuan yang jalannya masih tegap tanpa bantuan tongkat itu malah menatapku sambil tersenyum. Alih-alih mengusir atau langsung melenyapkanku, dia malah duduk sambil memandangku dengan wajah berlumur senyum.

“Makanlah sepuasmu, kalau perlu kabari teman-temanmu untuk datang ke sini, aku akan menyediakan makanan untuk kalian setiap hari,” ucap perempuan itu masih dengan rekahan senyum di bibirnya yang sudah mengeriput.

Aku menatap perempuan yang wajahnya seperti mengeluarkan cahaya itu dengan takjub. Selama ini bangsa kami tak pernah bisa memahami bahasa manusia. Tapi entah mengapa, waktu itu aku kok tiba-tiba bisa memahami apa yang perempuan itu ucapkan. Makanya, aku buru-buru pulang ke sarang untuk mengabarkan berita gembira ini.

***

“Ingat, jangan sampai kekenyangan, kita makan sekadarnya saja, yang paling penting kita bawa pulang sebagian roti ini,” aku mengingatkan teman-temanku yang tampak begitu lahap menikmati roti yang tersaji di atas piring. Teman-temanku pun langsung mengangguk setuju.

Ya, selama ini kami memang memiliki kebiasaan yang jarang dilakukan oleh hewan lain. Kami selalu membawa sebagian makanan hasil buruan kami ke sarang, sebagai bekal untuk santapan beberapa hari ke depan. Agar tak setiap hari kami keluar, sebab berada di alam bebas itu sangat rawan bahaya.

Kami telah belajar banyak dari pengalaman teman-teman yang hidupnya begitu singkat akibat terlalu sering berada di luar sarang. Mulai terinjak kaki-kaki manusia, terlindas kendaraan, hingga tersiram air panas seperti yang dialami salah satu teman kami tempo hari.

***

Setelah kami makan roti sekadarnya, kami pun segera bersiap kembali ke sarang. Masing-masing bertugas membawa remahan roti sebagaimana telah aku perintahkan sebelumnya. Namun saat kami baru merayap menuruni piring, tiba-tiba salah satu teman kami yang berada di baris paling belakang terpekik dan membuat kami semua kaget dan menoleh ke arahnya.

“Heh, kamu ini kenapa, sih?” tanyaku dengan raut agak kesal karena telah mengagetkan kami.

“Iya, bikin kaget saja!” sahut temanku yang lain.

Bukannya menjawab, teman kami yang barusan terpekik itu malah menunjuk ke arah sosok yang sedang berjalan ke arah kami.

“Tenang teman-teman, kan sudah aku bilang, perempuan itu nggak sama dengan manusia-manusia lain yang pernah kita temui,” aku berusaha menenangkan kepanikan teman-temanku. Aku berusaha memaklumi. Karena memang selama ini mereka sangat takut dengan makhluk bernama manusia yang kerap bersikap kasar dan sering mencelakakan bangsa kami.

“Oh, rupanya kalian sudah datang, ayo silakan makan rotinya yang banyak, jangan takut dan malu-malu, aku sengaja menyedikan roti ini untuk kalian kok, anggap saja ini sebagai cara sedekahku pada kalian,” perempuan itu tersenyum renyah, memandangi kami satu per satu. Lega. Itulah yang tampak di raut teman-temanku yang semula tampak begitu panik.

“Kamu benar, perempuan tua ini baik banget,”

“Iya, baru kali ini aku menemukan manusia seperti dia,”

“Rasanya aku masih belum percaya ada manusia baik seperti perempuan tua ini,”

“Eh eh, kalian sadar nggak, sih, kenapa kita bisa memahami ucapan perempuan itu?”

Kami semua saling tatap dengan raut penuh tanda tanya.

“Mungkin, karena kebaikan perempuan itu pada kita, sehingga akhirnya kita pun bisa memahami perkataannya,” kataku berusaha menerka-nerka. Dan sepertinya, teman-temanku juga setuju dengan apa yang aku katakan barusan.

Puring Kebumen, 24 Januari 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan