Perayaan Tahun Baru Hijriah: dari Ritual ke Hakikat Peribadatan

1,173 kali dibaca

Tanggal 1 Muharram 1444 jatuh hari ini, Sabtu 30 Juli 2022. Riang gembira umat merayakan pergantian tahun menjadi fenomena magis yang begitu memesona. Gegap gempita kegembiraan secara identik mengarak masyarakat dalam suasana perayaan. Semua orang menanggalkan aktivitas rutin keseharian untuk ikut serta menyemarakkan dengan beragam festival, syukuran, dan hajatan.

Gema perayaan saling bersahutan, di timur dan barat, di utara dan selatan. Toa-toa yang memekakkan, pawai obor dan petasan yang silih-ganti bertebaran, suara riak anak kecil dengan permainan, suara tabuh rebana salawatan, dan bisik-gemercik ala ibu-ibu pedesaan menghiasi panorama 1 muharram dalam satu malam. Inilah daya magis Muharram dengan kegembiraan yang barangkali menghiasi umat muslim Indonesia.

Advertisements

Telaah Historis, Sosiologis, dan Teologis

Merayakan pergantian tahun menjadi hal yang wajar. Ritus tahunan ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam. Dalam era dengan doktrinal tunggal modernisme dan gempuran kemajuan digital, perayaan semacam ini masih bergelut dengan ritual umat-umat di seluruh dunia, mewujud menjadi peradaban, di India, China, bahkan Amerika. Terdapat hal renungan eksploratif, baik dalam rajutan historis, nilai sosiologis, dan dasar teologis yang hanya bisa diekspresikan lewat kegembiraan.

Secara historis, hakikat tahun baru Hijriah adalah momentum perubahan. Bisa dilihat bagaimana jasa peradaban dari Rasulullah Saw yang ditandai dengan perjalanan dakwah kenabian ke Madinah. Hijrah Nabi—yang dihubungkan dengan penanggalan Hijriah—memantik perubahan konstruktif secara besar-besaran dalam lintas zaman dan ruang. Fakta itu adalah kebenaran imparsial yang diakui secara aksiomatik tanpa bantahan.

Peradaban masyarakat madani (civil society) pun terbentuk; dari umat yang bergelut dengan konservatisme-mistikal beranjak ke umat yang rasional dan profesional; dari budaya literatur mengingat dan menghafal berubah menjadi umat yang membaca dan menulis secara teks dan kontekstual; era perbudakan oligarki-monarki berubah pada era musyawarah dan demokrasi, dan; budaya matriarki-patriarki dihapuskan dengan konsep kesetaraan gender (Nasaruddin Umar, 2018: 09).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan