PERAHU KERTAS DARI TUHAN

1,879 kali dibaca

DI TELINGAMU BUNGA MELATI
~Hana

Di telingamu, Bunga Melati
Telah membasahi halaman diksi
Apabila hujan rela membumi
Barangkali tetesnya tumbuh merekah menjadi puisi

Advertisements

Di telingamu, Bunga Melati
Membuat iri sepasang Burung Kutilang
Yang mulai pulas di dasar malam
Berselimut rasa sayang

Di telingamu, Bunga Melati
Merayu mata menjadi nelangsa
Di sepanjang bibir Selat Malaka
Telah kelu kuucap kata-kata.

Prenduan, 19:40.

PERAHU KERTAS DARI TUHAN

Tuhan,
Ingin kugulung usia
Di mana waktu belum mengenal segala
Hanya bisa bermain suka, tak juga duka
Layaknya perahu yang pernah engkau buat selepas senja

Barangkali tanah bertanya,
“Di manakah air
Untuk melayarkan perahu Tuhan hingga ke hilir?”

Aku gusar, mengamati awan
Yang menghujani telaga tanpa hulu
Lalu berkata,
“Akulah Tuhanmu”.

Prenduan, 19:40.

MEMBISU RINDU

Kamu mencintai rindu
Yang menggugurkan harapan di kening waktu
Seketika itu aku adalah tanju
Dibisukan luka dari janji paling semu

Hanya denging Merpati
Menggema menjadi pasrah paling duri
Barangkali bersetia hinggap di ranting hati
Sedangkan malam-malam sebisu sunyi

Apakah rindu ini menandakan kekurangan?
Antara suram dalam jalan kenangan
Adapun di pinggirannya gemetar kelopak bunga
Yang siap dirundu pilu, terkulai di pundak senja

Maka adakah air mata yang benar-benar jatuh
Di pipi fajar sebelum subuh
Sehingga paruh musim sudi berbincang
Dalam menimang kelu rindu di ufuk bayang.

Prenduan, 19:40.

KEPADA HANA

Tiada yang lebih runcing
Dari silau perih dadaku
Membiarkan beribu-ribu keping
Saat kupungut air mata di sela hening

Dahulu mimpiku, juga mimpi kita
Sedekat ilalang di punggung rembulan
Yang memecah antara raung dan ruang
Mengusir segala kepengapan

Tapi, senja yang engkau sebut sebagai rindu
Kini telah pupus dan kelu
Dibiarkannya separo jingga yang pudar merona
Pada jiwa-jiwa duri sebelum fana.

Prenduan, 19:40.

GELANG PENUH KENANG

Wajah kita masih terarsir di langit-langit
Yang pernah kita sebut dalam buku rindu
Menikam segala kekhawatiran
Dari segelintir harap dan penyesalan

Dan engkau selipkan gelang
Antara kertas hampir lusuh sangat kukenang
Meniti riuh dan ruap berkumandang
Kuhirup kuat-kuat aroma kasih kita, melekat sempurna

Sementara takdir bercerita
Dari kepala, ke kedua telinga
Sebaiknya kita menanam luka pada waktu masing-masing
Agar isyarat gelang tak mudah tertiup angin.

Prenduan, 19:40.

ilustrasi: pixabay.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan