“Peradaban Sarung”: Menafsir Ulang Sarung Santri

3,607 kali dibaca

Sebelum belajar tentang Tuhan dan agama,

Terlebih dahulu belajarlah tentang manusia

Advertisements

Sehingga jika suatu saat nanti Anda membela Tuhan dan agama

Anda tidak lupa bahwa Anda adalah manusia. (Ach Dhofir Zuhry)

Kali ini, saya ingin sedikit mengupas buku Best Seller tahun 2019. Buku berjudul Peradaban Sarung; Veni, Vidi, Santri adalah salah satu karya Ach Dhofir Zuhry, pendiri Sekolah Tinggi Filsafat al Farabiy Kepanjen, Malang, Jawa Timur sekaligus Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah. Buku tersebut adalah serial karya terbaru berbarengan dengan buku Kondom Gergaji yang sama-sama diterbitkan oleh Gramedia Pustaka serta disebarkan seluruh wilayah Indonesia.

Tak ayal, buku yang mengupas tentang santri-dunia santri termanifestasikan dengan kalimat peradaban sarung, menggetarkan para santri di Indonesia mulai dari Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, hingga Sulawesi. Di berbagai wilayah tersebut, penulis mencoba mengurai benang kusut stigma negatif kaum sarungan, salah satunya adalah terbelakang dan bodoh.

Faktanya, buku peradaban sarung membuat banyak kalangan merasa shock. Apa sebab? Santri dan pesantren dinarasikan secara apik tanpa meninggalkan esensi seorang santri. Tidak heran jka Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zaeland, Gus Nadirsyah Hosen Ph.D, angkat bicara menyikapi buku yang ditulis ilmuwan Kepanjen ini. Dalam pengantarnya, Gus Nadir menjelaskan dengan indah bahwa khazanah pesantren adalah cakrawala tak berujung, lautan tak bertepi, sumur tanpa dasar yang takkan pernah habis dikaji-diarungi khususnya di Nusantara ini. Kitab kuning warisan ulama klasik dari berbagai penjuru dunia, sekian disiplin intelektual dan khazanah spiritual dengan berbagai mazhab dan mantra, menyatu dan beradu dengan kearifan maupun tradisi khas Indonesia di wadah yang bernama pesantren. Tidak berlebihan jika Gus Nadir selanjutnya menyebut kekhasan Islam Indonesia adalah pesantren. Bukan yang lainnya. Sampai di sini, paham, kan?

Pesantren-santri dan sarung adalah “paket hemat” sekaligus aset berharga yang dimiliki bangsa Indonesia. Saya yakin bahwa istilah pesantren maupun esensi pesantren sangat jauh berbeda dengan pesantren di negara lain. Pesantren dengan ramuan budaya lokal serta sentuhan para kanjeng sunan mampu mewarnai perjalanan bangsa Indonesia bahkan para santri to yang berdiri di garis terdepan merebut, mengisi, dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Tidak berlebihan jika buku tersebut adalah buku menarik yang mengupas santri secara ontologis, epistemelogis, dan aksiologis.

Santri dengan kemandirian, kematangan menjalani aksentuasi kehidupan, konsep beragama, pemahaman multikulturalisme, semangat kebangsaan dan semangat egaliter, menduduki peringkat pertama dalam menjaga kerukunan umat beragama. Santri dengan segala variasi sarungnya, mampu berbicara fasih tentang kurikulum pendidikan pesantren, perkembangan wawasan dunia global mengacu pada bab-bab kitab kuning, dan yang paling penting dan tidak boleh diremehkan, santri merupakan benteng pertahanan terkahir dan paling kokoh yang dimiliki bangsa Indonesia sejak prakemerdekaan.

Sekali lagi, menjadi santri adalah pilihan logis meskipun acapkali dipandang sebelah mata. Lantas, apakah santri bisa maju, melek teknologi, memegang prinsip idealisme menghadapi zaman yang sangat cepat berubahnya? Pertanyaan kampungan tersebut jika ditujukan kepada santri, maka santri otomatis menyetir pendapat pakar Gramatika asal Mesir, Syaikh Syarafudin Yahya al Imritiy, Idhil Fata Hasba’tiqodihi Rufi*Wa Kullu Ma Lam Ya’taqid Lam Yantafi’. Jika diartikan bebas begini: keyakinan seorang pemuda harus tinggi, jika tidak, maka apa pun yang dicita-citakan akan sia-sia saja, tidak terlaksana.

Di sisi lain, sifat egaliter santri tercermin dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai ketaatan kepada kiai, sifat jujur dalam berbagai hal, serta semangat tolabul ilmi sangat diutamakan. Bagaimana santri memberikan porsi lebih dengan taat kepada pengasuh seperti pesan Abuya Sayyid Maliki, Wabil Ilmi Irtafa’, Wabil Khidmati Intafa’(dengan belajar ilmu, maka santri akan diangkat derajatnya, dan dengan mengabdi kepada kiai/guru, maka santri tersebut ilmunya bermanfaat). Tak sampai di situ saja, santri dengan kejujurannya menjadi kunci integritas di masa depan. Gus Ach Dhofir memberikan warning tentang betapa kompleksnya sifat jujur dengan narasi serta kontekstualisasi yang sangat baik:

Jujur dalam berpikir, bertutur, dan berperilaku sangat tidak gampang. Jujur dalam beragama dan bernegara juga rumit. Jujur dalam menjadi manusia dan memanusiakan manusia kerap sekali mengalami benturan. (hlm, 112)

Senada dengan itu, Gus Ach Dhofir juga sedikit banyak memberikan gambaran tentang esai agama dan keislaman. Buku tersebut tidak melulu membahas pesantren-santri dan kiai an sich. Melainkan, mengupas bagaimana se, kita seharusnya beragama dan mengamalkan nilai agama dengan bijaksana, relasi sistem pendidikan pesantren dengan satuan kurikulum kehidupan dengan ujian tanpa henti bahkan tidak akan pernah berhenti, menjadi santri Indonesia sekaligus tali temalinya dengan perjuangan para santri dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan, mahalnya sebuah kemanusiaan yang semakin tergerus atasnama pembangunan, industrialisasi, modernitas, serta masih banyak lagi tali temali santri dengan aspek kehidupan sekarang.

Walhasil, di akhir catatan ini, saya sepakat dengan apa yang diteriakkan oleh Gus Ach Dhofir, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat al Farabi Kepanjen Malang, dalam menyikapi modernitasnya. “Teknologi modern adalah teknologi layar media elektronik dan cetak, internet, komputer, tablet, dan segala gawai modernitas yang berperan mahapenting dan mahasegala-galanya. Kehadirannya mampu memutarbalikkan norma, etika dan institusi nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun oleh kiai kampung bertahun-tahun lamanya”.

Tak sampai di situ saja, yang membuat saya shock serta tidak percaya dengan media, mengapa indikator ustadz, dai, kiai, dan ulama pun ditentukan oleh selera pasar dan media? Kenapa para santri yang bertahun-tahun lamanya mendalami agama tidak dihargai? Apakah karena sangat berhati-hati, argumentative, dan fasih berbicara dalil al-Quran Hadist sehingga susah ditipu, dikadalin, dan diatur pemahaman agamanya? Wallahu a’lam

Penulis                         : Ach Dhofir Zuhry

Judul buku                  : Perdaban sarung; Veni, vidi, Santri.

Tahun                          : 2018

Penerbit                       : PT Gramedia

Tebal                           : 255 Halaman

Multi-Page

Tinggalkan Balasan