Pentingnya Literasi dalam Islam

1,575 kali dibaca

Menurut Abaidin Nata, Al-Qur’an adalah sumber utama rujukan umat Islam. Sumber di sini bisa dimaknai sebagai tempat yang darinya diperoleh bahan yang diperlukan untuk membuat sesuatu. Ajaran Islam ibarat sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan lain sebagainya (Kencana, 2011).

Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengurai pendidikan tauhid pada ayat literasi dalam Al-Qur’an. Ditarik lebih dalam, maka pembahasan dalam tulisan ini akan mencakup pada keilmuan tafsir yang bercorak tarbawi (pendidikan) dan juga sufisme.

Advertisements

Yang dipahami secara kalayak umum pengertian literasi sendiri adalah literacy yang diambil dari serapan bahasa Inggris yang berarti sarana untuk sumber belajar. Dan pada sarana ini, merujuk pada kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, juga memecahahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan literasi merupakan keterampilan penting yang sebenarnya harus dimiliki seseorang. Sebagian besar pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi mereka masing-masing. Karenanya kemampuan ini merupakan langkah awal yang sangat penting dalam proses pembelajaran yang produktif. Dan dengan kemampuan literasi yang baik itu pula, seseorang itu mempunyai daya serap yang baik terhadap inforasi yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan gagasan-gagasan dan juga sebuah karya.

Dalam sejerahnya, Al-Qur’an sendiri sudah menyinggung literasi pada awal turunya wahyu pertama yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Kata iqra’ dalam surat tersebut  kalau kita translit dalam bahasa Indonesia mempunyai makna perintah membaca. Hal itu menjadi awal emberio lahirnya sebuah kebiasaan seseorang khususnya umat Islam dalam berliterasi.

Secara gamplang memang kita sudah bisa menebak bagaimana pentingnya literasi dalam Islam melalui perantara Al-Qur’an. Tetapi meskipun begitu, kita tidak boleh secara gampang mengartikan sesuatu yang ada di Al-Qur’an dengan pemaknaan pribadi. Kita masih membutuhkan mufassir (ulama yang menafsiri Al-Qur’an). Ibarat tradisi minum orang Jawa yang mengumpamakan hal ini, seperti ketika seseorang yang minum minuman yang masih panas, lalu seseorang tersebut menuangkan minuman tersebut pada sebuah lepek (alas cangkir) untuk menyeduh minuman tersebut agar tidak terlalu panas untuk dikonsumsi.

Menurut Quraish Shihab (Lentera Hati, 2005) dalam tafsir Al-Mishbah, kata iqra’ pada surat Al-‘Alaq terambil dari kata qara’a yang pada mulanya menghimpun. Tapi realisasi arti dari kata itu beraneka ragam. Antara lain: menyampaikan, menalaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya, yang semuanya bermuara pada makan menghimpun.

Dan juga Qurish Shihab menambahi penjelasannya mengutip perkataan Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir) yang menulis pada bukunya, Al-Qur’an fi Syahr al-Qur’an bahwa: “Dengan kalimat iqra’ bismi Rabbik, Al-Qur’an tidak sekadar memerintahkan membaca, tapi ‘membaca’ adalah lambang dari segala pengertian dan semangatnya ingin menyatakan ‘Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanu.’ Demikian juga apabila Anda berhenti melakukan aktifitas, maka hendaklah hal tersebut berarti jadikanlah seluruh hidupmu, wujudmu, dalam cara tujuannya, kesemuannya demi karena Allah.”

Sedangkan dalam penafsiran Ibnu katsir (Dar Tahyyibah, 1999) pada surah Al-Alaq ayat 1-5 ini, mencakup tentang pembahasan kemurahan Allah Ta’ala dalam mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Seperti tentang penciptaan manusia melalui segumpal darah. Dan juga Ibnu Katsir menyinggu tentang masalah keilmuan, bahwa terkadang ilmu berada di dalam akal fikiran, lisan dan juga terkadang dalam tulisan. Secara akal, lisan, dan tulisan mengharuskan perolehan ilmu, dan tidaklah sebaliknya.

Pendidikan Tauhid dalam Ayat Literasi

Dari penafsiran kedua ulama di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa makna ayat literasi pada surat Al-‘Alaq ini mempunyai makna bahwa membaca sebagai aktivitas belajar yang seyogyanya berangkat dari kemurahan Allah yang telah menciptakan segala sesuatu termasuk ilmu itu sendiri. Dengan demikian, belajar mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi untuk memperkuatnya. Penguasaan ilmu sebagai modal yang dapat menambah dan memperkokoh keimanan seseoarang.

Ketahuidan yang dijadikan prinsip utama dalam belajar lebih jaug menggambarkan  keikhlasan dan tujuan pencarian ilmu. Ikhlas dalam belajar bersih dari tujuan dan kepndtingan duniawi. Al-Zarnuji menegaskan belajar tidak boleh diniatkan untuk mencari kemegahan duniawi dan popularitas. Tetapi belajar, diniatkan untuk dimaksudkan untuk mencari rida Allah, menghilangkan kebodohan dirinya, dan atau menghidupkan api Islam. Sebab agama tidak hidup tanpa ilmu (Maktabah Immaratullah, t. th).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan