Pengujung Ramadan

1,935 kali dibaca

Di senja pengujung bulan terindah, di antara kumandang takbir kebesaran Tuhan, kami duduk berdua di bawah kursi kami yang sudah reot. Kursi kami yang sudah tak layak kusebut sebagai tempat duduk. Kursi yang kini usianya mencapai dua puluh tiga tahun. Bukan kami tak mampu mengganti, hanya kami tak pernah terpikir akan mengganti. Siapa yang akan singgah kemari di hari yang dibilang sebagai hari kemenangan itu? Siapa yang hendak mengunjungi kami untuk sekadar bertukar salam? Kami ini hina. Mereka yang menginjak rumah kami mungkin akan sekadar berbasa-basi.

Malam ini, malam kemarin, dan kemarinnya lagi kami biasa menghabiskan senja pengakhiran Bulan Terkasih Kami di samping kursi reot ini, sambil menghayati apa-apa yang telah kami alami, menyusun serpihan-serpihan kami yang terkadang kupikir tidak akan pernah rapi.

Advertisements

Dulu. Dulu sekali. Orang-orang yang mengaku kerabat bermartabat itu berkunjung ke gubuk kami berbondong-bondong untuk mendapat belas kasih kami. Ah, itu dulu. Dulu sekali. Waktu gubuk kami masih berlantai marmer dan beratap emas. Ah, itu dulu. Dulu sekali. Bahkan kenangan itu sudah hampir terhapus dari memori usangku. Itu dulu sekali sebelum takdir ini menghampiri kami. Sebelum kursi ini menjadi reot. Sebelum lantai kami menjadi penuh debu. Sebelum atap kami roboh oleh kesengsaraan.

Kami masih di samping kursi reot kami. Tertatih membaca takbir. Air mata kami menetes. Nelangsa menerjang. Mengiris-iris hampir membunuh. Dia lupa bagaimana rasanya dipanggil “Tante”. Dia lupa rasanya dipanggil “Mbakyu”. Dia lupa rasanya dipanggil “Adik”. Apalagi aku. Aku bahkan tak mengenal satu per satu wajah kerabatku. Kami ini bukan siapa-siapa dalam jajaran kerabat yang katanya bermartabat. Kami ini seperti benalu, mungkin mereka pikir begitu. Lagi nelangsa menyayat kami.

Kami saling pandang. Matanya sembab. Dia memelukku, berusaha menguatkan, meski aku tahu, sakitnya pasti lebih bertubi-tubi dalam dibanding aku.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan