Penertiban Toa demi Citra Masjid

1,939 kali dibaca

Masih segar ingatan kita mengenai tragedi yang menimpa Meiliana, warga Tanjungbalai, Sumatera Utara, tahun 2016 yang rumahnya dirusak sekelompok orang gara-gara mengeluhkan suara azan yang terlalu kencang. Tak hanya rumahnya yang dirusak, Meiliana juga dihukum 18 bulan penjara.

Sebagaimana dikutip detik.com (22/8/2018), kronologinya adalah pada Juli 2016, Meiliana datang ke Kasini alias Kak Uo di kiosnya, Jalan Karya Lingkungan Kelurahan Tanjungbalai. Ia meminta tolong untuk disampaikan ke Uak agar mengecilkan suara toa masjid sebab mengganggu ketenangan Meiliana.

Advertisements

Besoknya, Kak Uo datang ke adiknya yang bernama Hermayanti sembari berujar bahwa orang China (Meiliana) itu, meminta untuk mengecilkan volume pengeras suara di masjid. Kak Uo dan adiknya saling lempar untuk menyampaikan ke bapak mereka dengan alasan malas dan takut.

Besoknya lagi, Kasidik datang ke kios Kak Uo. Kedatangannya untuk memperjelas apakah ada orang China datang ke kios dan meminta suara toa masjid dikecilkan. Kak Uo bicara apa adanya dan menyampaikan pula alasan Meiliana; bising dan mengganggu telinga.

Akhirnya, 29 Juli 2016 pukul 10.00 WIB, Kasidik mendatangi Sayuti, Ketua BKM Masjid Al-Maksum di Jalan Bahagia, Kecamatan Tanjungbalai Selatan. Kasidik memberitahu Sayuti tentang Meiliana yang meminta agar volume speaker masjid dikecilkan. Sebagai tanggapan, Sayuti akan segera datang ke masjid dan berembuk dengan pengurus yang lain.

Setelah Maghrib, datang rombongan ke rumah Meiliana. Meiliana menemui rombongan tersebut. Saat sebagian rombongan tersebut menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu guna memperjelas permintaan Meiliana. Meiliana pun mengiyakan, berikut ia menyertakan pula alasannya.

Setelah rombongan itu kembali ke masjid untuk salat Isya, Lian Tui, suami Meiliana, datang ke masjid untuk meminta maaf. Masyarakat jadi ramai. Lalu, pada pukul 21.00 WIB, masyarakat mulai gaduh. Mereka berkumpul di kantor kelurahan. Dan tepat pukul 23.00 WIB, masyarakat semakin ramai sembari berteriak “Bakar, bakar!” dan “Allahu Akbar….”. Masyarakat pun tidak bisa dikendalikan. Mereka melempari dan merusak rumah Meiliana. Tak hanya itu, wihara yang ada di kota tersebut juga ikut menjadi objek kemarahan warga.

Pada 2 Desember 2016, Haris Tua membuat laporan ke kepolisian untuk mengusut kasus tersebut. Dan pada 19 Desember 2016, MUI Kota Tanjungbalai memutuskan bahwa ucapan atau ujar yang disampaikan oleh Saudari Meiliana atas suara azan yang berasal dari Masjid Al-Maksum merupakan perendahan dan penistaan terhadap agama Islam. MUI merekomendasikan kepada pihak kepolisian untuk segera menindaklanjuti proses penegakan hukum terhadap Meiliana.

Lalu, pada 23 Januari 2017, perusak dan pembakar wihara dihukum 1 bulan 15 hari penjara, dan Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus 2018 menjatuhkan hukuman kepada Meiliana dengan 18 bulan penjara.

Tentunya kita dapat mengambil pelajaran dari prahara Meiliana di Tanjungbalai ini. Perihal terganggunya kenyamanan masyarakat akan suara toa masjid yang keras, saya kira tak hanya dialami oleh Meiliana. Meiliana lain di daerah kita tentunya juga merasa terganggu dengan kencangnya suara toa di menara masjid. Hanya, mereka tak berani menyampaikan, karena khawatir akan menerima kelakuan sama seperti Meiliana. Diam sambil menguatkan diri dengan bersabar merupakan jalan yang mereka pilih demi mencari aman. Minoritas mengalah dari mayoritas.

Maka, surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia untuk menertibkan pengeras suara di masjid-masjid dan musala-musala, saya pikir merupakan langkah yang tepat. Indonesia sebagai negara yang memayungi semua agama yang diakui, harus bisa saling menghormati. Sebab, kita sejatinya ingin hidup rukun, damai dan tetap selalu berdampingan.

Namun, kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini, kebijakan Menteri Agama dipelintir serta digoreng sedemikian rupa. Awalnya, mereka mengamuk sebab Menteri Agama melarang mengumandangkan azan. Setelah tahu bahwa bukan melarang azan, tetapi mengatur volume pengeras suara, mereka mengamuk lagi dengan menganggap itu bagian dari syiar sambil mencari kesempatan memprovokasi umat. Ketika diberi tahu bahwa sebenarnya pengaturan volume ini sudah ada sejak tahun 1978, mereka mencari celah lain dan kebetulan mendapati potongan video. Akhirnya, mereka lantang bersuara bahwa bukan itu yang dipermasalahkan, namun membandingkan antara suara azan dengan gonggongan anjing. Dan seterusnya, mereka tidak pernah lelah mengusik ketenangan. Ujung-ujungnya, mereka menghendaki penjeratan, pelengseran, lalu pergantian.

Akhir kata, kita berharap, keluarnya surat edaran penertiban pengeras suara ini, mampu mengembalikan citra masjid yang terendahkan akibat penggunaan pengeras suara yang serampangan, menjadi tempat ibadah yang damai, dan penuh aura ukhrawi yang menenangkan.

Wallahu a’lam bishawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan