Gus Yaqut dan Regulasinya

836 kali dibaca

Niat baik Kementrian Agama (Kemenag) untuk mengintensifkan ihwal moderasi beragama di Indonesia bernasib tidak mujur. Meski sebelumnya sempat mendapat apresiasi dan sanjungan dari beberapa pihak dan organsisasi publik, ekspresi kekecewaan tak terhindarkan tatkala landasan filosofis peraturan No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara Masjid dan Musala terus digali kemunculannya.

Beberapa pihak menilai ungkapan Gus Yaqut cenderung negatif dan desktruktif. Media dengan narasumber mereka masing-masing telah ramai menjastis Gus Yaqut bersalah karena tarikan narasi konklutif yang muncul dari pernyataan itu adalah “menyamakan azan dengan suara anjing”. Bahkan, terdapat pihak yang telah membawa ungkapan itu ke meja hijau dengan delik sosial yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Advertisements

Suatu aturan yang orientasinya dimaksudkan untuk merekatkan ulang persatuan, setelah bangsa dicekoki dengan beragam isu krusial, menjadi polemik keagamaan menggantikan isu yang baru saja berlalu. Secara implisit, Kemenag dengan peraturannya itu ingin menciptakan harmoni sosial di tengah corak kehidupan bangsa yang beragam.

Kemenag tidak ingin Islam sebagai agama dominan di Indonesia dengan alat syiar berupa toa (pengeras suara) dalam realitasnya dapat mengganggu keharmonisan hidup berdampingan. Sehingga muncul empati dan toleransi antarumat beragama di mana pengeras suara bisa digunakan secara bijak tanpa berlebihan.

Harmoni Kota dan Desa

SE No 05 tahun 2022, suatu aturan yang mungkin relevan dengan lingkungan perkotaan yang plural tapi kurang pas dengan karakter kultur perdesaan. Sentralitas kota sebagai pusat pemerintahan, ekonomi dan pendidikan telah mengakibatkan urban besar-besaran yang tidak mungkin memungkiri nominasi keberagaman. Sehingga kehadiran peraturan Kemenag adalah langkah reflektif dalam mengeksplor kondisi heterogen itu. Di desa sebaliknya, harmoni sosial tercipta secara alamiah tanpa benturan keyakinan karena impact kondisi kultur keagamaan masyarakat desa yang homogen dan kental dengan kearifan lokal.

Pada faktanya, toa adalah denyut keagamaan masyarakat desa. Ritus keagamaan dengan penegeras suara menunjukkan geliat Islam tetap eksistensif berafiliasi dengan kehidupan sosial di desa. Karena tidak jarang agama teralienasi dari kehidupan penganutnya karena dinafikkan dari kepentingan dan percaturan duniawi umatnya sendiri. Toa menunjukkan aktivitas keagamaan masyarakat tetap hidup, bagaimana shalawatan, sorogan (pengajian), yasinan, tadarusan (baca Al-Quran secara bergiliran) terus bergema saling sahut antara masjid yang satu dan lainnya menciptakan nada harmoni bagi pendengarnya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan