Pendidikan Pesantren (3): Sorogan dan Transmisi Keilmuan

2,255 kali dibaca

Model pembelajaran dahulu tidak tersistem secara legal-formal. Pusat pendidikan pun masih berada di surau, langgar, masjid, atau rumah seorang guru. Di mana murid-murid duduk di tikar atau lantai, menghadap sang guru dan belajar mengaji bersama. Menurut beberapa pakar, sistem pembelajaran demikian merupakan embrio berdirinya pesantren di kemudian hari. Berarti, sistem pendidikan pesantren hampir sama dengan sistem pembelajaran nonformal semacam itu, hanya lebih intensif dan terkadang dalam waktu cukup lama.

Pesantren memiliki dua corak pendidikan, dan keduanya kental sebagai tradisi pesantren. Dua corak itu sebagaimana disampaikan di awal tulisan ialah bandongan dan sorogan. Sistem bandongan telah dijelaskan di tulisan sebelumnya. Sedangkan, sistem sorogan memiliki ciri tersendiri, di mana kiai hanya mengajar beberapa santri, sekira 1-10 santri, setiap santri maju satu per satu membacakan kitab yang sedang dikaji di hadapan kiai langsung.

Advertisements

Sistem ini juga diterapkan di pesantren tempat saya menimba ilmu, lebih-lebih untuk mahasiswa semester akhir, yang mana prasyarat kelulusan adalah mampu membaca kitab Fathul Mu’in. Setiap bakda maghrib, kami melakukan sorogan kepada asatiz yang telah ditunjuk oleh pimpinan pesantren untuk mengampu santri-santri mahasiswa semester akhir dalam mendalami kitab tersebut.

Satu-per satu kami membaca maqro’ (teks kitab yang harus dibaca), ustaz akan menyimak dengan saksama. Setiap kata dii’robi (diungkap posisinya sebagai apa dalam struktur kalimat, bila bahasa Indonesia memiliki struktur SPOK, hampir sama dengan bahasa Arab atau kitab kuning), harus dibaca dengan benar. Apabila ada kekeliruan dalam bacaan, ustaz akan membenarkan. Prosesi belajar semacam ini memerlukan waktu yang cukup lama dan ketelatenan serta kesabaran, bahkan mental yang tangguh. Sebab, saat membaca dan diketahui banyak yang salah, tak jarang rasa minder kepada sesama teman muncul, sembari membatin: ternyata aku bodoh, ya.

Sistem pembelajaran sorogan ini penting. Dalam kegiatan ini, seorang santri diuji betul kemampuannya membaca kitab, membaca di sini baru sebatas tepat harakatnya, karena masyhur bahwa kitab yang dibaca kitab gundul, tidak ada harakatnya. Membaca benar belum tentu tahu maksudnya, memahami dengan tepat kandungan makna dari teks yang dibaca. Konteks ini saja, perlu latihan yang serius dan mendalam, bahkan terkadang dituntut untuk mencari perbandingan dengan kitab lain yang masih satu disiplin.

Seorang guru pun harus dengan saksama dan teliti mengamati santri yang sedang membaca kitab di hadapannya itu, harus bisa mengoreksi, membenarkan, baik harakat bacaan maupun makna atau maksud dari teks yang dibaca. Teledor sedikit saja, pemahaman dan bacaannya bisa jauh dari maksud teksnya.

Transmisi keilmuan semacam sorogan ini berfungsi menjaga ketepatan, kebenaran, kesesuaian antara kandungan makna teks dan pemahaman santri. Kesalahan bisa sangat diminimalisir melalui metode pembelajaran dengan sistem sorogan ini.

Pesantren memiliki keyakinan, bahwa pemahaman yang diperoleh haruslah bersambung dari satu kiai atau ulama dengan ulama sebelumnya sampai kepada Rasulullah. Diterapkannya metode bandongan, lebih-lebih sorogan untuk menjaga pemahaman yang telah teruji dan terjaga ketepatannya sebagaimana yang dijelaskan dan dipahami oleh Rasulullah. Inilah yang menjadikan santri sangat berhati-hati dalam memberikan pengetahuan dan ilmunya. Apabila tidak tahu, haruslah jujur tidak tahu, pantangan baginya untuk ngawur menjelaskan suatu persoalan.

Pada suatu kesempatan mengisi pengajian, Gus Baha, ulama muda yang tengah naik daun menekankan pentingnya sorogan. “Saya selalu mengkampanyekan bahwa sorogan itu harus. Keilmuan santri harus terjaga sanadnya sampai ke Rasulullah. Saya sendiri sorogan ke Mbah Mun.” Terang Gus Baha.

Dahulu, tidak ada guru membacakan murid, yang ada murid membacakan guru. Jelas kenangan Imam Syafi’i: “Qoro’tu ‘ala al-Maliki al-Muwathoa.” Saya membaca kitab Muwatho di hadapan Imam Malik. Konsep semacam ini bisa untuk mengetahui apakah murid itu pintar atau bodoh, seorang guru akan mengetahuinya. Apabila bacanya benar, kelak akan disahkan menjadi kiai.

Berbanding terbalik dengan sekarang, ngaji asal ngaji, duduk jauh dari kiai, makna kitab kadang bolong-bolong tetapi masih tetap dipanggil kiai. Padahal gurunya tidak tahu apakah si murid pintar atau bodoh. “Mbah Maimoen Zubair itu tidak berkenan memberi sanad kecuali lewat sorogan,” Ungkap Gus Baha’.

Kita tahu, percaturan keilmuan hari ini makin rumit. Kepakaran dan kredibilitas satu disiplin ilmu mulai buram garis batasnya. Seakan-akan semua pakar dalam segala bidang. Siapa saja berhak ngomong apa saja. Belum lagi perebutan wilayah kekuasaan, selain itu pertentangan antar ideologi atau keyakinan yang saling berebut tempat.

Demi terjaganya pemahaman yang tepat, tidak bias, sampai kepada Rasulullah. Menjaga diri dari sikap menyalahkan sepihak dan secara frontal, kiranya sistem sorogan ini penting untuk tetap dipertahankan, bahkan semestinya disemarakan lagi, sebagaimana ungkap Gus Baha, “Saya kecewa, sekarang ini sudah jarang pesantren yang menerapkan sorogan.”

Saya akan memberi sedikit contoh dengan mengutip sedikit ibaroh atau maqro yang ada di kitab fikih dasar, Fathul Qorib, sebagai gambaran pentingnya pemahaman yang diawasi oleh kiai atau guru. Tertera di awal pembahasan pada tema thaharah, sesuci, air dibagi menjadi empat jenis:

Pertama, air suci yang bisa mensucikan yang lain dan tidak dimakruhkan untuk menggunakannya. Air ini dinamakan air mutlak, umumnya air. ماء طاهر مطهر غير مكروه استعماله

Kedua, air suci yang mensucikan yang lain, tapi dimakruhkan menggunakannya, ماء طاهر مطهر مكروه استعماله , contohnya air yang terkena matahari langsung (ماء المشمس).

Ketiga, air suci yang tidak bisa mensucikan yang lain, ialah air musta’mal, air yang sudah digunakan bersuci, ماء طاهر لنفسه غير مطهر لغيره وهو الماء المستعمل.

Sampai di sini, keterangan tentang apa itu air yang suci tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci atau tidak bisa mensucikan seuatu yang najis, perlu mendapat perhatian lebih, perlu kefokusan untuk mengerti perbedaannya. Awal-awal saya mempelajarinya, saya hampir dibuat bingung, kok ada air suci tapi tidak bisa mensucikan yang lain, lalu kenapa ia tetap air suci? Menjawabnya tidak bisa awuran. Betapa pentingnya sorogan? Sangat penting.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan