Pemikiran Muhammad Shahrur tentang Aurat Perempuan

98 views
Tajdid.id
Muhammad Syahrur

Kehadiran Muhammad Shahrur dengan karya-karyanya, terutama al-Kitab wa al-Qur’an, berupaya mengingatkan monopoli pembacaan teks Al-Qur’an yang telah melahirkan turats (tradisi) yang oleh generasi berikutnya selalu diposisikan sebagai sebuah ajaran yang ghayr qabil li al-niqash (tidak dapat diperdebatkan).

Pemahaman teks Al-Qur’an tidak seharusnya terikat dengan penafsiran lama, karena kebenaran penafsiran terhadap Al-Qur’an harus diukur dengan periode sejarah di mana tafsir tersebut ditulis.

Advertisements

Usaha Shahrur untuk membebaskan generasinya dari belenggu penafsiran lama tidak berhenti pada tataran kritik semata, tetapi ia mencoba memaparkan problem-problem yang dipahami pemikiran Arab kontemporer sebagai berikut:

Pertama, keringnya metode penelitian ilmiah yang objektif, khususnya berkaitan dengan kajian teks Al-Qur’an. Kedua, terperangkap dalam subjektivitas kajian-kajiannya yang berangkat dari asumsi yang dianut menuju kesimpulan yang memperkuat asumsi awal. Akibatnya, tidak ada objektivitas dalam kajian tersebut serta tidak menghasilkan sesuatu yang baru.

Ketiga, terabaikannya filsafat humaniora yang berangkat dari pandangan yang salah terhadapnya dengan penilaian bahwa filsafat Yunani (Barat) adalah sesat. Keempat, tidak adanya perangkat epistimologi Islam yang mapan dan valid yang bersumber dari Al-Qur’an, yang berdampak kepada kemandekan berpikir, fanatisme madzab, dan berputar dalam bingkai pemikiran turats (peninggalan ulama terdahulu). Kelima, umat Islam terpenjara oleh krisis fikih. Mereka membutuhkan fikih baru yang kontemporer, bukan hanya kritik terhadap fikih lama tanpa adanya tawaran alternatif baru.

Kritik Shahrur tersebut mirip dengan kritik Muhammad Arkoun. Menurut Arkoun, pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh angan-angan sosial (imaginnaire sociale/al-mikhyal al-ijtima’i) yang menyimpang dan menyeleweng. Angan-angan sosial ini bisa berupa norma, nilai, tujuan, keyakinan, dan pengesahan masyarakat terhadap mekanisme suatu sistem, tradisi, dan ideologi.

Di dunia Islam, hal-hal seperti ini sungguh sulit untuk dihapus karena mempunyai akar sosial yang sangat kuat. Oleh karena itu, syarat utama untuk meluruskan berbagai penyelewangan tersebut, menurut Arkoun, adalah dengan melakukan dekonstruksi episteme atau pembongkaran dogmatisme, dan ortodoksi dalam tubuh umat Islam agar pemikiran Islam bisa mencapai keterbukaan dalam kancah rasionalisme dunia modern.

Arkoun membagi i’tiqad (keyakinan) dalam Islam menjadi dua pereode: pertama, keyakinan sebelum formulasi dogma iman (ma qabla taariikh al-tashakkul al-dughma’i li al-iman); kedua, keyakinan setelah mengguritanya dogma iman dalam tubuh umat Islam (ma ba’da taarikh al-tashakkul al-dughma’i li al-iman). 

Sebelum formulasi dogma keimanan (periode sebelum abad ketiga Hijriyah), pemikiran umat Islam masih terbuka dan bebas dengan berbagai perbedaan. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin untuk didiskusikan dan diperdebatkan, termasuk dalam mengembalikan pemahaman ajaran terhadap nash (amaliyat al-ta’sil). Keadaan ini jauh berbeda dengan pereode setelah terbentuknya dogma iman. Umat Islam terpaksa harus menerima segala realitas keagamaan apa adanya. Teks keagamaan dianggap telah paripurna, dan karenanya, ia dapat memaksa setiap orang agar hanya berpegang kepada teks produk sejarah tersebut.

Salah satu contohnya adalah isu aurat. Menurut Shahrur, aurat berasal dari konsep rasa malu (al-haya’), yaitu tidak adanya kerelaan seseorang untuk memperlihatkan sesuatu, baik yang ada pada dirinya maupun perilakunya. Tingkatan rasa malu ini bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti tradisi. Yang tidak mengalami perubahan (thabit) adalah juyub, sedangkan aurat dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi (hasba al-zaman wa al-makan). Karena itu, pembatasan aurat laki-laki dari pusar hingga lutut merupakan ketentuan yang bersifat relatif. Demikian pula berkaitan dengan bagian-bagian tubuh perempuan—selain juyub yang harus ditutupi selalu bergerak seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Tak hanya itu, menurut Shahrur, tubuh perempuan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, bagian tubuh yang terbuka secara alami (qism zahir bi al-khalq). Dalam surah al-Nur: ayat 31 Allah SWT berfirman:

ولا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلاّ ما ظَهَرَ مِنْهَا

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”

Ayat ini, kata Shahrur, harus dipahami bahwa dalam tubuh perempuan terdapat perhiasan yang tersembunyi (zinah makhfiyyah). Perhiasan yang tampak adalah apa yang secara alami tampak pada tubuh perempuan, yaitu apa yang diperlihatkan oleh Allah dalam penciptaan tubuh perempuan, seperti, kepala, perut, punggung, dua kaki, dan dua tangan, karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang tanpa berpakaian.

Kedua, bagian tubuh yang tidak tampak secara alami (qism ghayr zahir bi al-khalq), yaitu yang disembunyikan oleh Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan. Bagian yang tersembunyi ini disebut al-juyub atau bagian-bagian yang berlubang (bercelah). Kata al-jayb berasal dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan “jibtu al-qamis“, artinya aku melubangi bagian saku baju, atau aku membuat saku pada baju. Kata al-jayb dalam pemahaman Shahrur, adalah bagian terbuka yang memilki dua tingkatan, bukan hanya satu tingkatan, karena pada dasarnya kata ja-ya-ba dalam bahasa Arab memiliki arti dasar “lubang yang terletak pada dua sesuatu” dan juga berarti pengambilan perkataan “soal dan jawab”. Menurut Shahrur, juyub perempuan adalah:

لها طبقتان او طبقتان مع خرق وهي ما بين الثديين وتحت الثديين وتحت الإبطين والفرج والأليتين

“Pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang, yang secara rinci berupa; bagian antara dua payudara, bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan pantat.”

Bagian tubuh perempuan di atas menurut Shahrur disebut juyub yang wajib ditutupi. Berkaitan dengan keharusan menutupi juyub ini , Allah SWT berfirman dalam surah al-Nur: ayat 31: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنّ على جُيُوبِهِنَّ

Menurut Shahrur, kata al-khimar berasal dari khamara yang berarti “tutup”. Minuman keras disebut khamr karena ia menutupi akal. Berpijak pada makna khimr di atas, Shahrur menegaskan bahwa khimar bukan hanya penutup kepala saja, tetapi semua bentuk tutup, baik kepala maupun lainnya.

Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan perempuan yang beriman untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub, yaitu perhiasan yang tersembunyi sacara fisik, dan melarang mereka untuk memperlihatkan bagian tersebut. Larangan menampakkan hiasan (ibda’ al-zinah) hanya berlaku bagi sesuatu yang tersembunyi, dan bagi objek yang berakal.

Bagi Shahrur, kemaluan dan pantat perempuan termasuk dalam kategori juyub yang tidak boleh disaksikan sepasang mata kecuali oleh suaminya. Bagian inilah yang oleh para ahli fikih ditetapkan sebagai aurat berat (awrat mughalazah) bagi budak perempuan ketika berada dihadapan orang lain, dan aurat berat bagi perempuan merdeka ketika berada di hadapan mahramnya saja.

Pemikiran-pemikiran kritis Shahrur tersebut tertuang dalam Al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’asirah, (Damaskus: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’,1990). Buku setebal 819 halaman ini berisi hasil temuannya tentang konsep-konsep dasar agama. Berangkat dari keyakinannya, bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa Arab, ia kemudian memberikan pengertian dan sekaligus perbedaan antara beberapa kosa kata yang selama ini oleh kebanyakan orang dianggap sebagai sinonim.

Tema-tema yang diangkat antara lain: perbedaan al-Kitab, al-Qur’an, dan al-Dzikr, perbedaan antara al-nubuwwah dan al-risalah, perbedaan antara al-inzal dan al-tanzil, mu’jizat al-Qur’an dan al-ta’wil. Dan dalam buku ini ia kemukan nazariyat al-hudud (teori batas) yang kemudian disertai contoh-contoh aplikatif dari teori tersebut dan sekaligus implikasi dari hasil temuannya tentang konsep-konsep dasar agama tersebut.

Penyusunan buku ini berlangsung selama dua puluh tahun (1970 M-1990 M.) dengan melewati tiga tahapan proses. Tahapan pertama, (1970 M.-1980 M.), merupakan masa pengkajian dan peletakan dasar awal metodologi pemahaman terhadap al-dhikr, al-risalah, dan al-nubuwwah serta beberapa kata kunci lain dalam Al-Qur’an. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Shahrur mendapati beberapa hal yang selama ini dia anggap sebagai dasar Islam, namun ternyata bukan, karena ia tidak mampu menampilkan pandangan Islam yang murni dalam menghadapi tantangan abad ke-20.

Menurutnya, hal itu dikarenakan dua hal: Pertama, pengetahuan tentang akidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Mu’tazilah atau Asy’ari. Kedua, pengetahuan tentang fikih yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, ataupun Ja’fari. Menurut Shahrur, apabila penelitian ilmiah dan modern masih terkungkung oleh kedua hal tersebut, maka studi Islam berada pada titik yang rawan.

Tahap kedua terhitung mulai 1980-1986 M. Pada fase ini, Shahrur belajar banyak pada Ja’far Dik al-Bab tentang linguistik, termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan al-Farra’, Abu Ali al-Farisi serta muridnya, Ibn Jinni, dan al-Jurjani. Sejak itu, Shahrur berpendapat bahwa sebuah kata memiliki satu makna, dan bahasa Arab merupakan bahasa yang di dalamnya tidak terdapat sinonim. Selain itu, antara nahu dan balaghah tidak dapat dipisahkan, sehingga menurutnya, selama ini ada kesalahan dalam bahasa Arab di berbagai madrasah dan universitas.

Sedangkan, tahap ketiga mulai 1986-1990 M. Dalam tahap ini, Shahrur mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topik-topik tertentu. Pada 1986-an akhir dan 1987 M, ia menyelesaikan bab pertama dari al-Kitab wa al-Qur’an, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai 1990 M.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan