Pembuka Jendela Dunia Pesantren

843 kali dibaca

Diterbitkan pertama kali pada 1974, otobiografi KH Saifuddin Zuhri yang berjudul Guruku Orang-orang dari Pesantren ini menjadi salah satu buku paling popular tentang kepesantrenan. Hingga mengalami cetak ulang beberapa kali, buku ini telah menjadi pembuka jendela dunia pesantren —baik bagi mereka yang berada di luar maupun di dalamnya.

Kiai Saifuddin Zuhri sendiri dikenal sebagai ulama dan politikus dari lingkungan nahdliyin. Kiai Saifuddin Zuhri lahir di Sukoraja, Banyumas, Jawa Tengah pada 1 Oktober 1919 dan wafat di Jakarta pada 25 Februari 1986.

Advertisements

Ia memulai pendidikannya di madrasah dan pesantren. Namun, ia juga dikenal sebagai seorang otodidak di sejumlah bidang keilmuan. Ia yang banyak mempelajari dan mendalamai berbagai disiplin ilmu, pada 1964 diangkat menjadi guru besar dalam bidang dakwah oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sebagai tokoh politik Indonesia, ia pernah menjabat ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan menjadi anggota DPR/MPR. Sebagai santri pejuang, Kiai Saifuddin Zuhri pernah menjadi pimimpin Pemuda Ansor  Jawa Tengah Selatan, Komandan Hizbullahdi Magelang, dan anggota KNIP di Yogyakarta. Sebagai ulama, ia pernah menjadi Sekretarus Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Menteri Agama RI (1962-1967), Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Dakwahm serta Mustasyar PBNU.

Sebagai santri yang gandrung akan ilmu dan gemar menulis, Kiai Saifuddin Zuhri pernah menjadi wartawan di berbagai koran dan majalah, bahkan wartawan Antara. Pengalamannya sebagai wartawan itulah salah satu pendorong Kiai Saifuddin Zuhri menulis buku otobiografi. Menariknya, buku itu ditulis dalam bentuk novel.

Otobiografi ini akhirnya menjadi pembuka jendela dunia pesantren. Di zamannya, ketika terbit untuk kali pertama pada 1974, masih terjadi salah kaprah dari masyarakat umum dalam  melihat keberadaan pesantren dan santri. Hadirnya buku ini memberikan perspektif yang sebenarnya tentang keberadaan pesantren dan kaum santri.

Tulisan ini bukanlah sekadar suara yang didengungkan oleh Kiai Syaifuddin Zuhri, melainkan menjadi suara umum kehidupan kalangan pesantren di tahun-tahun 1960-an dan 1970-an. Beruntunglah Kiai Saifuddin Zuhri sempat menulis buku otobiografi.

Kenapa? Karena buku ini mampu mengungkap dan melestarikan khazanah keilmuan bagi kalangan pesantren maupun nonpesantren. Ia juga membuka lebar-lebar informasi secara lengkap mulai dari seluk beluk kehidupan pesantren hingga keberadaannya saat kini.

Seperti yang kita tahu selama ini, terutama pada tahun-tahun 1970-an, para peneliti Barat menilai pesantren sebagai sarang kejumudan, bahkan dunia pesantren sudah dipandang kolot dan terbelakang. Namun, dengan buku otobiografinya, Kiai Saifuddin Zuhri mampu membalikkan padangan tersebut. Dengan buku ini Kiai Saifuddin Zuhri mengungkap dengan jelas bahwa pesantren dan dunianya bukan sekadar kajian halal-haram, melainkan juga sebagai nation bulding dalam membangun kemerdekaan.

Jika ada pandangan bahwa dunia pesantren tak memiliki inovasi dan kreativitas, karena bias modernisme, itulah salah satu pemikiran yang salah kaprah dalam menafsiri dunia pesantren. Seakan-akan kalangan peneliti menilai pesantren hanyalah sebelah mata, tidak secara utuh, komprehensif. Maka, melalui karya inilah, Kiai Syaifuddin bisa mengharapkan bagi masyarakat luas untuk mengetahui tentang pentingnya peranan pesantren dalam merebut kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, serta mengembangkan nasionalisme.

Kiai Saifuddin menulis karya berbentuk otobiografi ini karena bebeberapa alasan. Yang pertama, saat itu masih sangat sedikit buku-buku tentang pesantren yang ditulis oleh kalangan santri. Selain itu, penulisan buku ini dapat menggugah semangat penulisan terutama di kalangan pesantrenan.

Yang menarik, meskipun otobiografi, buku ini menjadikan Kiai Saifuddin Zuhri sebagai tokoh termasuk sentral didalamnya. Justru, dunia pesantrenlah yang mengemuka, yang menjadi “tokoh” atau cerita utama dalam novel ini.

Hal ini sesuai dengan sifat kesantriannya yang menghindari snobisme atau kelatahan yang kerap  muncul dalam penulisan biografi atau otobiografi. Benar, buku novel ini justru menampilkan mozaik dan pernak-pernik dunia pesantren yang sering diartikan secara salah serta penilaian negatif. Dengan demikian, buku ini mengisi kekosongan dari kajian-kajian terdahulu tentang pesantren yang masih belum secara utuh.

Sebagai otobiografi dalam genre novel, buku ini disajikan secara menarik melalui pemberian pada tiap-tiap babnya, seperti Di Ambang Pintu Pesantren, Madrasahku Cuma Langgar, Tokoh-Tokoh Pengabdi Tanpa Pamrih, Apresiasi Terhadapa Rasa Seni, Memasuki Persiapan Pengabdi, Masih Belajar Lagi Sebelum Terjun Ke Medan Pengabdian, Menjadi Guru, Tamatnya Zaman Penjajahan, Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung, dan Merdeka Berarti 1000 Perjuangan.

Penulis mengajak pembaca untuk menyelami buku ini, karena dari sajian kata-katanya sangat terpadu  antar kalimat dan begitu  Nampak koherensinya antar-paragraf,  bahkan pula dari sisi kandungan isinya begitu menyentuh hati. Misal, pada judul “Di Ambang Pintu Pesantren”, Kiai Saifuddin Zuhri menyajikannya tidak hanya dengan sebuah narasi cerita, namun juga menyelipkan qaul ulama jika dirasa perlu; la ya’rif al-‘Ulama illa al-‘Ulama, tak ada yang mengerti ulama kecuali ulama. (Hal: 14).

Melalui buku ini, kita bisa melihat bagaimana para santri zaman dulu memiliki semangat demikian tinggi dalam berliterasi.

Data Buku

Judul Buku                  : Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis                        : KH. Saifuddin Zuhri
Penerbit                      : Pustaka Sastra
Cetakan                      : III, September 2008
Tebal Halaman           : v-xii + 446 Halaman

Multi-Page

One Reply to “Pembuka Jendela Dunia Pesantren”

Tinggalkan Balasan