Pembawa Kebahagiaan

1,194 kali dibaca

Sandik bersyukur di masa menginjak dewasa ini ia menemukan banyak kebahagiaan. Ia tak pernah menyesal punya kenangan buruk, telantar beberapa bulan di sebuah pasar. Karena, berkat masa sulit itu, ia bisa menemukan jalan untuk menghargai sebuah kehidupan serta menemukan keluarga-keluarga yang sangat menyayanginya.

*

Advertisements

“Nanti waktu di pasar jangan jauh-jauh dariku,” perintah ini berkali-kali terucap dari mulut Toyo. Sementara Sandik mengangguk setelah mendengar perintah kakaknya itu.

“Kamu ngantuk, San?” Mendengar pertanyaan kakaknya, Sandik hanya menggeleng.

“Kalau kamu ngantuk sebaiknya pulang, tunggu saja di rumah bersama Tari. Kamu ingin apa? Nanti aku bawakan.”

“Aku ingin ikut kakak.”

Walaupun mengantuk, Sandik ingin mengikuti Toyo ke Pasar Sukomoro. Ia ingin membantu kakaknya memungut sayur yang tercecer dari mobil bak. Ia berharap dengan membantu kakaknya, akan mendapatkan uang untuk membeli gulali.

“Kamu duduk di sini dulu, jangan ke mana-mana! Aku mau mencari kresek dulu untuk wadah sayur.”

“Iya,” jawab Sandik.

Karena sangat mengantuk, Sandik merebahkan tubuhnya di lincak yang ia duduki. Tak lama berselang, Toyo datang.

“San… San…”

Toyo mendudukkan Sandik sambil menggoyangkan badannya. Karena Sandik sangat lelap, ia tak mampu membuka matanya.

“Buka matamu, San!”

“Heem…” jawab Sandik tanpa membuka matanya.

“Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu aku sampai datang.”

“Heem…”

Terlihat mobil bak pengangkut sayur mulai berdatangan, Toyo bergegas mendatanginya. Ia meninggalkan Sandik yang tertidur di lincak depan warung kopi. Beberapa menit kemudian, pemilik warung datang.

“Woi, bangun! Warung sebentar lagi buka. Kamu cari tempat lain sana!”

Merasa tak digubris, si pemilik warung akhirnya menciprati Sandik dengan dengan air. Semakin tidak digubris, semakin banyak air yang dicipratkan kepada Sandik. Karena semakin basah, akhirnya Sandik terbangun. Dalam terkantuk-kantuk, Sandik memangil kakaknya.

“Kak… Kakak… di mana kamu?”

Berulang kali Sandik memanggil, tetapi Toyo tak juga membalas. Ia mencoba mengelilingi parkiran mobil bak namun tak kunjung bertemu. Sesampainya di ujung parkiran, Sandik melihat ada mobil bak bertenda yang sudah kosong. Rasa kantuk yang semakin hebat memaksa Sandik membaringkan tubuhnya di sebuah mobil bak bertenda di depannya.

Terlihat si sopir mobil bak bertenda berjalan mendekati mobil yang ditiduri Sandik. Sesampai di depan pintu mobil, ia membuka kemudian memasukinya. Si sopir yang tak tahu jika ada Sandik yang tertidur di bak mobilnya, menstarter mobilnya untuk segera pulang. Belum sampai masuk ke rumah, bos si sopir meminta untuk segera mengambil beberapa bal pakaian di Pasar Turi.

*

Saat si sopir hendak menaikkan beberapa bal pakaian ke mobilnya, ia melihat Sandik sedang pulas tidur di bak mobil. Akibat terlalu lelah, ia emosi hingga memukul Sandik yang sedang pulas.

“Bangun! Ini bukan tempat tidur.”

Sandik yang tertidur, terkejut. Ia terbangun kemudian berlari. Dirasa sudah jauh dari si sopir, Sandik mencoba kembali ke lincak dengan berlari ke sana-kemari. Setelah ia kelelahan, ia baru tersadar bahwa ia tidak berada di pasar dekat rumahnya.

“Kak… kakak…. Ibu… ibu… Bu…” Sambil menahan isak tangis Sandik terus berjuang mencari.

Melihat Sandik terus memanggil, beberapa orang yang berniat membantu Sandik, tetapi malah membuatnya ketakukan.

Seharian Sandik berkeliling Pasar Turi. Rasa haus bercampur lapar memaksa Sandik menyerah. Sore itu, ia memutuskan duduk di teras toko. Angin yang bertiup menaburkan aroma sate yang sedang dibakar. Perut Sandi terasa semakin disiksa. Ia hanya bisa menunggu belas kasihan penjual sate memberikan makan gratis atau nasi sisa pembeli. Hari-hari dilalui Sandik dengan meminta belas kasihan para pedagang makanan yang baik hati.

Hingga pada suatu sore, Sandik memandang seorang paro baya yang sedang menyantap nasi sate dengan sayur karena menahan lapar yang teramat sangat. Ia berimajinasi sedang memakan sate. Imajinya terlalu dalam sehingga tak terasa ia mengikuti tingkah orang paruh baya yang sedang menyendok nasi, menggigit setusuk sate, kemudian mengunyahnya. Orang tersebut menyadari Sandik dalam kelaparan, memesankan Sandik sebungkus nasi sate. Setelah matang, ia  melangkah mendekati Sandik.

“Kamu lapar?” tanya orang tersebut. “Ini makanlah.”

“Terima kasih, Paman.” Sandik membuka bungkusan dengan tergesa.

“Aku Ibad, siapa namamu?”

“Sandik.”

“Mana orang tuamu?”

“Aku hilang.”

“Apa maksudmu?”

Sandik mencoba bercerita, tetapi karena mulutnya penuh dengan nasi sate, omongannya menjadi tidak jelas.

“Kamu selesaikan dulu saja makanmu baru bercerita.”

Usai makan, Sandik bercerita kejadian yang dialaminya. Tetapi sayangnya, karena usainya belum ada empat tahun, Sandik tidak bisa menjelaskan dengan detail nama keluarga dan alamatnya. Ia hanya tahu nama orang tuanya itu “ibu” dan nama saudaranya “adik” dan “kakak”. Waktu di tanya alamat rumahnya, Sandik tidak bisa menyebutkan dengan rinci. Sandik hanya mampu menceritakan jika rumahnya dekat pasar yang ada klenteng dan cerobong asap pabrik gula. Di depan rumahnya terdapat toko milik Lik Lah.

Saat Ibad melaporkan telah menemukan Sandik yang telantar kepada polisi, polisi menyarankan agar Ibad merawatnya dahulu sampai polisi menemukan alamat orang tua Sandik. Sudah berkali-kali Ibad datang ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan pencarian orang tua Sandik, tapi tiada hasil. Menurut para polisi, mereka kesulitan menemukan orang tua Sandik karena Sandik tidak bisa memberikan informasi dengan detail.

*

Ibad dan Alya tidak pernah membedakan Sandik dengan  Amalia, anaknya sendiri. Kasih sayang mereka menjadikan Sandik tumbuh menjadi anak yang pandai dan berakhlak. Mereka memilih memondokkannya di Pesantren Al-Hikmah sampai lulus kuliah.

Saat Sandik menjalani tahap akhir tes untuk menjadi karyawan PLN,  ia mampu menjawab pertanyaan tanpa kesulitan yang berarti.

“Pengumuman kelulusan akan dikirimkan melalui surat panggilan. Silakan meninggalkan ruangan,” kata panitia seleksi kepada semua peserta. Tiga hari kemudian, Sandik menerima surat penempatan kerja di Kota Madiun. Ketika Sandik menceritakan isi surat tersebut, keluarganya menyambut dengan suka cita.

“Aku sanggat bangga kepadamu, Nak. Satu pesan Paman, jangan meninggalkan salat,” nasihat Ibad kepada Sandik.

“Bibi pesan, di mana pun kamu berada, kamu harus berbuat baik kepada siapa pun,” tambah Alya.

“Iya, Paman-Bibi, saya insyaallah akan melaksankan semua nasihat yang pernah Paman dan Bibi berikan seumur hidup saya. Saya berterima kasih, berkat kasih sayang Paman dan Bibi saya bisa menjadi seperti ini.”

“Jika libur jangan ya, Nak?”

“Insyaallah, Paman.”

Entah mengapa, Ibad berfirasat  akan kehilangan Sandik untuk selamanya. Tak terasa air mata Ibad jatuh membasahi pipi.

“Mengapa kamu menangis, Yah?”

“Aku berfirasat kalau Sandik akan pergi lama. Mungkin tak akan kembali lagi.”

“Ayah jangan berpikiran buruk seperti itu. Tidak baik. Sebaiknya kita selalu berhusnudzon serta mendoakan Sandik semoga selalu mendapatkan yang terbaik dan selalu dalam lindungan Allah.”

“Aaamiiin. Di setiap selesai salat aku selalu mendoakan kita semua agar selalu dalam lindungan Allah dan bahagia dunia-akhirat,” tanggap Ibad.

“Kakak, anak yang saleh. Insyaallah Allah selalu menyanginya,” kata Amalia menenangkan Ayahnya.

Bagi Ibad, Amalia dan Sandik adalah kebahagiaannya. Sikap mereka yang saleh membuat kehidupan kerluarga Ibad bahagia. Di masa tuanya ini, ia berharap mereka selalu ada di dekatnya.

*

Ketika memelihat keluar jendela, Sandik melihat Pasar Sukomoro yang berdekatan dengan cerobong asap menjulang tinggi dan klenteng, membuat ingatannya yang tertidur bangkit. Ia ingat, semasa kecil bersama kakaknya sering memungut sayur di sebuah pasar di dekat klenteng. Ketika hendak menyeberang jalan, pasti terlihat sebuah cerobong asap pabrik gula peninggalan Belanda.

Ingatan masa kecilnya yang selama ini terpendam dalam pikirannya kini bangkit kembali memaksanya untuk kembali mencari keberadaan keluarganya. Sontak ia meminta sopir bus untuk menurunkannya seketika.

Langkah kakinya membimbingnya untuk pergi ke sebuah jalan yang berada di selatan Pasar Sukomoro. Setelah beberapa meter, ia  memasuki gang sempit yang diyakininya untuk jalan menuju rumah keluarganya dulu. Matanya menatap dengan saksama agar bisa mengenali rumah yang ditinggali ibu, kakak, dan adiknya. Semua rumah di gang itu banyak perubahan. Beberapa langkah kemudian ia sampai ke sebuah toko yang diyakininya toko milik Lik Lah. Kemudian ia melihat di depan toko itu terdapat rumah kosong tidak terurus.

“Assalamualaikum,” Sandik mengucap salam kepada pemilik toko.

“Waalaikumsalam,” jawab pemilik toko.

“Permisi saya ingin tanya, Mas Toyo dan Dik Tari yang tinggal di depan situ sekarang ke mana?”

“Toyo? Anda siapa ya?”

“Saya Sandik. Dulu pemilik toko ini Lik Lah ‘kan?”

“Iya benar, saya anaknya. Kamu Sandik yang hilang dulu? Adiknya Mas Toyo?”

“Iya benar.”

“Aku Jalil, temanmu bermain dulu, San.”

Jalil terkejut melihat Sandik yang tiba-tiba pulang untuk menemui keluarganya. Ia tak pernah menyangka teman masa kecilnya yang dianggap sudah hilang yang tak mungkin kembali itu ternyata datang untuk mencari keluarganya.

Jalil menceritakan bahwa Toyo sudah meninggal beberapa hari setelah ia hilang. Siang-malam Toyo mencari Sandik, mungkin karena Toyo kelelahan menyebabkan kakaknya menyeberang jalan tak berhati-hati hinga tertabrak bus.

“Rumah ibumu sekarang pindah. Mari kuantar ke rumah ibumu.”

“Mohon maaf aku merepotimu, Lil.”

Di sepanjang perjalanan Jalil bercerita tentang kondisi keluarga Sandik setelah ia hilang. Setelah sampai di sebuah rumah kecil, Jalil berkata, “Sekarang keluargamu tinggal di sini. Itu adikmu.”  Tangan jalil menunjuk ke gadis yang sedang menjemur pakaian.

Dengan nada haru Sandik mengucap, “Assalamuaikum, Dik.”

“Waalaikumsalam,” jawab Tari. Ia menatap sebuah paras seolah pernah ia kenal.

“Di mana Ibu sekarang?”

Jalil hendak mengatakan kepada Tari bahwa yang datang tersebut Sandik, kakaknya, yang dulu hilang. Tetapi tepukan tangan Sandik ke pundaknya mengisaratkan bahwa Jalil tidak boleh berkata apa pun.

“Ibu ada di dalam.”

“Bolehkah aku menemuinya?” Rasa pernah dekat itu membuat Tari yakin bahwa pria yang bercakap kepadanya adalah Sandik.

“Tentu, mari ikut ke dalam.”

“Siapa, Sar?” tanya Suryati. Belum sempat menjawab, Sandik sudah berada di depannya.

“Saya Ibu. Putra Ibu, Sandik.”

Tangisan bahagia memenuhi rumah itu. Suryati tak menyangka anaknya yang dianggap telah mati kini hidup kembali.

*

Beberapa tahun kemudian, Sandik memutuskan untuk mutasi tempat kerja ke Surabaya. Keputusan itu dibuat agar ia bisa dekat dengan tempat tinggal Ibad dan Alya. Ia juga memboyong ibu serta adiknya untuk hidup bersamanya di Surabaya.

“Aku bangga kepadamu, Nak. Inilah harapanku, menjadikan kamu penebar kebahagian kepada semua orang,” kata Ibad kepada Sandik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan