Pegayaman: Jejak Islam di Pulau Dewata

547 kali dibaca

Pulau Bali merupakan salah satu destinasi ternama wisata di Indonesia. Tak hanya di Indonesia, Bali yang dijuluki Pulau Dewata ini juga tersohor di manca negara. Pulau dengan panorama alam, pantai, dan tradisi budaya yang indah ini mengundang kedatangan banyak wisatawan domestik maupun mancanegara.

Bali juga identik denga Hindu karena mayoritas masyarakatnya pemeluk Hindu. Namun siapa sangka, di Pulau Dewata ini terdapat banyak wilayah yang dihuni oleh masyarakat Islam. Dan mereka sudah turun temurun tinggal di sana. Salah satunya adalah desa Islam yang disebut Pegayaman.

Advertisements

Letak Desa Pegayaman

Pegayaman terletak di sisi utara Bali. Secara administrasi Pegayaman, masuk Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Secara geografis, Pegayaman berjarak 70 Km dari Denpasar dan 38 Km dari pusat kota Buleleng.

Di Pegayaman, masyarakat Islam hidup rukun berdampingan dengan masyarakat Hindu yang tinggal di desa sekitarnya. Merela bebas menjalankan kegiatan keagamaan. Penduduk Pegayaman berjumlah 100 keluarga dan hampir semua beragama Islam. Pusat belajar ilmu agama dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Iman.

Asal Islam Pegayaman

Menurut sejarah, Islam berkembang di Pegayaman sejak sekitar tahun 1500 Masehi, berawal dari kunjungan Raja Buleleng, yaitu Anglurah Ki Barak Panji Sakti ke Keraton Mataram. Ketika kembali, Raja Mataram menghadiahi gajah dan mengutus 8 prajurit untuk mengawal sang raja sampai Buleleng. Setelah sampai Buleleng, Raja Panji Sakti menawarkan tanah untuk ditempati para prajurit Mataram tersebut yang kemudian dikenal Pegayaman.

Para prajurit ini akhirnya menikah dengan putri Bali dan melahirkan anak-anak yang kemudian berkembang menjadi penduduk Pegayaman. Masyarakat Pegayaman juga berinteraksi dengan warga Islam dari Bugis yang berlabuh di pesisir Buleleng. Warga Bugis ini kemudian juga menetap di Buleleng. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi warga Pegayaman.

Perayaan Hari Besar Islam

Sebagai mana pemeluk agama Islam pada ummnya, umat Islam Pegayaman juga merayakan hari besar Idul Fitri dan Idul Adha. Saat Ramadan, mereka juga menggelar salat tarawih. Namun, pelaksanaan salat tarawih biasanya dilaksanakan lebih malam dibanding tempat lain, yaitu sekitar jam 23.00 WITA. Adapun, salat Id yang biasanya dilaksanakan sekitar pukul 06.00-07.00 WITA, di Pegayaman dilaksanakan pukul 10.00 WITA.

Perbedaan waktu ini berdasar pertimbangan wilayah Pegayaman yang bergunung dan jarak rumah penduduk ke masjid yang cukup jauh. Warga memerlukan waktu lebih lama untuk sampai ke masjid. Selain itu, salat Idul Fitri dilaksanakan lebih siang dengan pertimbangan memberi waktu lebih kepada warga untuk membayar zakat fitrah mengingat ketentuan zakat fitrah yang dibayarkan sebelum salat Idul Fitri.

Berbeda dengan pemeluk agama Islam di wilayah lain, Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan puncak perayaan keagamaan di Pegayaman. Ketika Maulid Nabi, penduduk Pegayaman yang merantau akan mudik untuk merayakan maulid bersama keluarga.

Akulturasi dan Toleransi

Umat Hindu di sekitar Pegayaman dan umat Islam hidup secara berdampingan. Di desa ini kita akan menemukan Bali dalam versi lain. Bahasa Bali digunakan sebagai bahasa sehari-hari, juga bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan seperti pada saat khotbah Jumat dan tausiah. Tradisi khas Bali masih dapat kita jumpai di Pegayaman. Tradisi Bali yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilaksanakan.

Akulturasi dan interaksi dengan masyarakat Hindu terjalin dengan baik. Di antara kedua pemeluk agama sering melakukan kunjungan dan melestarikan tradisi ngejot, yaitu tradisi memberi makanan pada saat hari raya. Secara tidak tertulis terdapat kesepakatan antara masyarakat Hindu yang disebut nyama Hindu, yang berarti saudara Hindu dan masyarajat Islam yang disebut nyama selam, yang berarti saudara Islam. Isi kesepakatan tersebut adalah ketika msayarakat Hindu memberi makanan kepada masyarakat Islam, dipastikan tidak mengandung babi.

Akulturasi yang lain adalah dalam hal penamaan anak. Jangan heran jika di Pegayaman banyak ditemui orang dengan nama perpaduan antara nama Bali dan Islam. Dalam pemberian nama anak, masyarakat Pegayaman menggunakan penomoran seperti masyarakat Bali pada umumnya, yaitu untuk anak nomor satu Wayan, nomor dua Nengah, nomor tiga Nyoman, dan nomor empat Ketut. Sedang, anak kelima dan seterusnya menggunakan nama Ketut.

Nama Bali tersebut ditambah dengan nama Islami, seperti Fatimah, Abdullah, Muhammad, Aisyah, dan lain sebagainya. Tidak heran jika dijumpai seseorang dengan nama Wayan Fatimah, Ketut Muhammad, dan seterusnya.

Sikap toleransi warga Hindu ditunjukkan ketika perayaan Islam seperti salat Idul Fitri, Idul Adha, atau Maulid Nabi Muhammad SAW. Pecalang atau petugas keamanan desa adat siap mengamankan perayaan hari besar Islam tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan