Pantulan Kebhinekaan di Desa (4): Belajar dari “Slametan”

2,237 kali dibaca

Salah satu tradisi yang bisa dijadikan guru darimana kita belajar menata kehidupan majemuk adalah Slametan yang sangat popular terutama di kalangan masyarakat perdesaan. Meskipun tidak sama persis, ia mirip dengan kenduri tetapi beda konseptual dengan sedekah.

Cliford Geertz melukiskan, dan kita sendiri mungkin sering terlibat di dalamnya, bahwa Slametan atau kenduren mempunyai pola yang tetap; sekelompok orang yang berkumpul di sebuah rumah (hampir selalu di ruang tengah dan atau depan/ruan tamu), duduk bersila melingkar saling berhadapan dengan sajian di tengah. Mereka terdiri dari para tetangga, handai-taulan, teman sekerja, dan sanak keluarga yang seluruhnya laki-laki. Orang-orang yang berbeda itu datang dan berkerumun di suatu tempat untuk merajut “consensus”, paling tidak itulah yang tampak dari luar.

Advertisements

Tak ada perbedaan mencolok dari mereka; petani, buruh, pegawai, pejabat, pemimpin organisasi, politisi, pedagang, pengusaha, santri, abangan, tua, dan muda. Mereka mempunyai hak dan pengakuan yang sama. Jika seorang modin, juru doa, atau kiai mempunyai berkat yang berbeda, atau bahkan di sebagian tempat masih ditambah dengan amplop berisi uang, itu karena ia pemimpin upacara dan doa, bukan karena status sosial-kultural tertentu.

“Dalam setiap Slametan setiap orang diperlakukan sama. Hasilnya adalah tak seorang pun merasa berbeda dari yang lain, tak seorang pun merasa lebih dari yang lain, dan tak seorang pun mempunyai keinginan memencilkan diri dari yang lain,” ungkap Geertz dalam Santri, Abangan, dan Priyayi

Lebih lanjut, dengan singkat tetapi menarik, Andrew Betty (dalam Variasi Agama di Jawa) melukiskan bahwa Slametan adalah “totalitas”, kerumunan ritual, yang terjadi dengan tetap menyepakati untuk berbeda.

“Totalitas”-nya mempesona, meski sebagai peristiwa komunal, ia tak juga mampu mendefinisikan komunitas secara tegas. Di dalam Slametan semua orang sepakat dengannya, tetapi tidak ada jaminan sedikitpun bahwa setiap orang setuju bagian-bagian tertentu darinya.

Dengan demikian, sebenarnya Slemetan lebih pas dikatakan sebagai komunalitas yang terdiri dari individu-individu yang bukan saja berbeda pandangan dan orientasinya, tetapi, dan ini yang penting, tetap berada dalam keber-beda-annya.

Saya, dalam konteks ini, sama sekali tak tertarik untuk mendiskusikan apakah Slametan merupakan inti atau pusat dari agama Jawa (Geertz) atau bukan sama sekali (Betty). Yang ingin saya tekankan dari Slametan adalah sebagai kerumunan dan makna yang bisa diproduksi darinya. Sebagai kerumunan, Slametan adalah bahasa argumen, bukan koor harmoni.

Di dalam Slametan, konsensus dapat terbangun, tetapi setiap individu tidak hanyut sama sekali. Kebersamaannya terjaga, tetapi representasi individu tetap mungkin dan dihargai. Bukankah kerumunan semacam itulah yang sebenarnya lebih mirip dengan kehidupan bersama, kehidupan masyarakat, dan juga kehidupan berbangsa.

Seperti halnya Slametan, kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan berbangsa terdiri dari individu dan kelompok yang berbeda (dari segi pekerjaan, taraf hidup, pendidikan, jenis kelamin, etnis, ras, agama, kepentingan, orientasi, pemikiran, dan lain-lain). Mereka berkerumun di suatu wilayah tertentu (Indonesia, misalnya) – dan pada masa tertentu pula – untuk merajut kebersamaan (konsensus) dan, sebutlah, demi tujuan besar yang diakui bersama. Kebersamaan mereka bukanlah suara koor harmoni, di mana individu maupun kelompok tenggelam di dalamnya.

Apakah ketika kita menyebut bangsa Indonesia berarti kejawaan, kebugisan, kemaduraan, kesundaan, keminangan, keacehan, kebatakan, serta-merta menjadi sirna dan tenggelam di dalamnya?

Juga seperti di dalam Slametan, setiap individu maupun kelompok dalam kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan berbangsa harus tetap diakui dan dihargai. Dalam kebersamaan dan kerumunan ini representasi dan hak-hak setiap individu maupun kelompok harus mendapatkan pengakuan dan penghargaan, betapa pun adanya, baik representasi maupun hak-hak dalam berpolitik, berekonomi, beragama, dan berbudaya. Dengan demikian, di dalam kebersamaan ini, ruang publik atau kebijakan publik harus tetap terbuka dan dapat diakses oleh setiap individu maupun kelompok yang tergabung ke dalamnya.

Jika di dalam Slametan, representasi dan hak setiap individu diakui, dihargai, dan ruang publik dapat diakses oleh siapa pun, mengapa dalam kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat, dan berbangsa Indonesia, dominasi, pengisapan, marjinalisasi, jurang kaya-miskin, dan monopoli ruang publik masih merajalela? Jika dalam Slametan kita dapat berkerumun (saling bertatap muka, saling menyapa dan berpeluk mesra) dengan semangat berbeda, mengapa dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita takut, kemudian mengingkari, perbedaan? Jangan-jangan hanya konstruksi dan imajinasi kita yang tersesat. Kita harus belajar dari Slametan!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan