Panggung Sosial

810 kali dibaca

Baru-baru ini, sejumlah warga nahdliyin di berbagai daerah melaporkan seseorang ke pihak kepolisian. Seseorang ini diduga telah melakukan penghinaan terhadap kehormatan Nahdlatul Ulama (NU). Seseorang ini bernama Sugik Nur Rahardja —entah siapa yang memberikannya julukan Gus Nur.

Kisah Sugik Nur ini berawal saat sumpah serapahnya diunggah di kanal Youtube milik Refly Harun, seseorang yang bergelar doktor, seseorang yang telah menggenggam puncak gelar akademis, seseorang yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara.

Advertisements

Andai Sugik Nur “bernyanyi” hanya di kamar mandi, dan hanya kuping dia sendiri yang mendengarnya, orang ramai tak akan pernah peduli. Tapi ketika “sumpah serapah” itu dilempar ke ruang publik, melalui kanal Youtube Refly Harun, persoalannya menjadi lain. Selalu ada risiko hukum jika segala sesuatu berada di ranah publik. Mungkin mereka lupa, atau tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu bahwa ruang publik harus tetap “suci” dan “disucikan”.

Kenapa? Karena ruang publik itu milik bersama, dan di ruang publik itulah kita merasa bersama. Karena itu harus dijaga.

Kasus Sugik Nur- Refly Harun ini bukan yang pertama. Sebelumnya sudah cukup banyak, publikasi melalui berbagai saluran platform media berujung pada perkara hukum. Sebelum ini, misalnya, yang cukup menyita perhatian publik di tengah pandemi, adalah hasil wawancara penyanyi Andji dengan Hadi Pranoto yang juga diunggah melalui kanal Youtube. Unggahan mereka dianggap sebagai pembohongan publik.

Kasus Sugik Nur-Refly Harun dan Hadi Pranoto-Andji ini menggambarkan betapa di era digital ini, di zaman diakuinya citizen journalism ini, semua orang dan setiap orang bisa menjadi wartawan atau melakukan pekerjaan jurnalistik, dan menyiarkannya atau menyebarluaskannya ke publik. Tapi kita sering alpa bahwa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah sendiri, aturan-aturan tertentu, sedemikian rupa justru untuk melindungi ruang publik itu sendiri. Jika kaidah dan aturannya dilanggar, maka yang terjadi justru perusakan ruang publik, perusakan sendi-sendi kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam kasus ini, Refly Harun dan Andji, dan masih banyak lagi yang lain, memang bukan wartawan atau jurnalis. Mereka adalah pesohor yang hanya melakukan bagian kecil dari pekerjaan jurnalistik, dan produknya, yang mereka sebar luaskan melalui berbagai platform media (sosial), juga tak sepenuhnya bisa disebut produk jurnalistik.

Andai yang mereka lakukan memenuhi kaidah-kaidah dan standar kerja jurnalistik, ruang publik tak akan gaduh dibuatnya. Nyaris tak ada celah untuk masuknya perkara hukum.

Sekarang kita andaikan mereka ini adalah wartawan atau jurnalis profesional. Sebagai jurnalis, mereka memang diharuskan untuk melakukan wawancara dengan nara sumber. Salah satunya untuk menggali informasi sebanyak mungkin. Tapi menentukan siapa orang yang harus diwawancarai adalah perkara tersendiri. Sebab, nara sumber haruslah orang yang tepat dan kompeten terhadap masalahnya. Tidak bisa sembarang orang atau orang sembarangan dijadikan nara sumber. Soal ini saja diperlukan adanya riset untuk mengetahui track record seorang nara sumber. Bagaimana bisa seorang Sugik Nur dijadikan nara sumber tentang NU? Bagaimana mungkin seorang Hadi Pranoto dijadikan nara sumber tentang mikrobiologi?

Itu baru soal menentukan nara sumber yang tepat. Belum lagi bagaimana wawancara dilakukan dan bagaimana mengolah hasilnya. Yang perlu diingat dalam hal ini adalah bahwa wartawan atau jurnalis bukanlah seorang penyidik atau interogator. Ia memang memiliki hak bertanya, tapi tidak memiliki wewenang untuk memaksa orang menjawab pertanyaannya. Tak bisa seorang jurnalis tersinggung atau marah-marah karena nara sumbernya tak mau bicara atau tak mau dijadikan nara sumber. Orang memang dilarang menghalang-halangi kerja jurnalistik, tapi tak dilarang tutup mulut. Yang bisa dilakukan jurnalis hanyalah mempersuasi agar nara sumber mau bicara.

Salah satu tugas jurnalis adalah menyaring dan mengolah hasil wawancara jika ternyata si nara sumber terlalu banyak bicara —lebih-lebih jika isinya melebar ke mana-mana. Seringkali, berdasar pengalaman para jurnalis, hasil wawancara yang berjam-jam lamanya, dengan hasil transkip yang berlembar-lembar banyaknya, oleh editornya ternyata hanya dikutip satu dua kalimat dalam sebuah berita. Sisanya dianggap sampah. Ini menandakan bahwa tidak semua omongan yang keluar dari mulut nara sumber layak dikonsumsi publik, atau memiliki korelasi signifikan dengan masalahnya.

Jika saja Refly Harun dan Andji, dan masih banyak lagi yang lain, menggunakan standar ini, tidak semua omongan Sugik Nur atau Hadi Pranoto diunggah ke kanal Youtube untuk disebarluaskan ke ruang publik. Atau, bisa jadi, Sugik Nur atau Hadi Pranoto dan sembarang orang malah tidak pernah dijadikan nara sumber.

Tapi hari-hari ini menjaga ruang publik tetap “suci” dan “disucikan” sepertinya memang bukan menjadi urusan mereka. Hari-hari ini ruang publik telah berubah menjadi panggung sosial, tempat semua orang berhasrat menjadi pesohor, tempat para pesohor mendulang keuntungan. Juga tempat orang jual tampang.

Tak ada yang salah dengan menjadikan ruang publik sebagai panggung sosial, sepanjang dilakukan dengan profesional.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan