Panggil Aku Gus Parit (4)

1,614 kali dibaca

Faizal dan Gus Parit sudah lulus. Keduanya telah bergelar sarjana pendidikan. Dan, kehidupan tetap harus berjalan. Tugas berikutnya adalah mencari pekerjaan. Tidak mudah! Lamaran dan daftar riwayat hidup dikirimkan beratus-ratus lembar, tak juga kunjung ada balasan. Bergelar S1, namun pengangguran, kiranya tidak hanya mereka berdua di negeri ini. Jutaan!

Selalu kalah pada iklan lowongan, dengan tulisan “diutamakan berpengalaman”, bahkan jika ada tulisan “berpenampilan menarik”, Gus Parit mengurungkan melanjutkan membaca iklannya, karena merasa tidak memiliki keduanya.

Advertisements

Faizal dan Gus Parit merasa terbebani. Dua pemuda, sehat walafiat, waras dan cerdas, lulus perkuliahan, tetapi menganggur.

Seperti pagi ini, Gus Parit diceramahi ibunya, “Oalah Rit..Rit! Mbok ya keluar sana, cari kerja yang benar, menghasilkan duit. Biar berguna ilmu kuliahmu itu!”

Gus Parit mendengus kesal, siapa yang tidak ingin kerja? Siapa yang tidak ingin menghasilkan duit? Maka, dijawablah sekenanya, “Kerja apa to Bu? Anakmu ini sudah berusaha. Zaman sekarang sulit cari kerja. Sarjana seperti aku ini banyak yang nganggur. Pinter tapi kalau nggak ada relasi atau orang dalam, ya sama saja bohong.”

Ibu Gus Parit menambahi ceramahnya, “Rit! Pekerjaan itu banyak. Nggak harus sesuai bidang. Nggak usah gengsi. Sana, buruh tandur, nguli bangunan, berkebun, beternak, atau apalah, yang penting tidak nganggur Rit!”

“Sarjana ko ngarit, angon sapi! Emoh! Tunggu saja Mak! Sebentar lagi anakmu yang guanteng ini pasti diterima kerja.”

“Ganteng sekandang kambing itu! Rit, dulu, ada bapakmu yang bisa nguliahkan kamu. Sekarang, bapakmu sudah meninggal, ganti kamu sekarang yang jadi tulang punggung keluarga. Kerja Rit, kamu harus kerja! Emak dan dua adikmu ini butuh makan.”

Saking jengkelnya, Gus Parit menyahut, “Kalau tidak ada yang dimakan, ya puasa, Mak!”

“Puasa itu ibadah, Rit. La kalau puasa kita ini karena keadaan, karena memang nggak ada yang dimakan.”

“Wah, berarti kita ampuh, Mak! Sudah dhuafa, puasa lagi. Bisa dobel itu pahalanya.”

“Nggak lucu, Rit! Pokoknya kerja, kamu harus kerja, panas kuping emakmu ini dengar omongan tetangga. Sarjana ko kerjanya mancing, nganggur lagi!”

“Wes-wes, Mak! Tak mancing dulu wes, mau nyepi di kali, cari inspirasi, timbang di rumah, sumpek!”

Gus Parit bergegas melangkah pergi, meninggalkan emaknya dengan wajah yang kecewa. Emak sebenarnya hanya ingin Parit bisa dapat kerja, apa pun! Agar tidak dihina tetangga-tetangganya yang “maha benar”.

Singgahlah Gus Parit di rumah Faizal. Dua sahabat karib yang sama-sama pengangguran. Mereka beradu pandang, tersenyum, seolah berkata, “Nasib kita sama, Bro!”

Gus Parit memulai obrolan, “Sal, bikinkan kopi dong..ngelu kepalaku.”

Faizal yang lagi rebahan di kursi tamu sambil melihat TV, malas menjawab, “Buat sendiri sana! Ko seperti tamu saja! Sekalian bikin dua, untuk aku, juraganmu, ha-ha-ha-ha.”

Gus Parit melengos pergi ke dapur, timbul pikiran iseng. Digantinya gula jatah kopi Faizal dengan garam, tiga sendok. Ia tertawa geli membayangkan bagaimana reaksi sahabatnya nanti setelah meminumnya.

“Ini kopinya juragan, silakan diminum, monggo, mumpung masih panas,” Gus Parit sambil meletakkan gelas kopi di dekat Faizal.

“Terima kasih, suwun yo le, Ndoromu ini akan segera menaikkan gajimu,” jawab Faizal sambil terkekeh.

Dengan hati-hati, Faizal mengambil gelas kopi, meniupnya perlahan, dan menyeruputnya dalam-dalam. Suuuurrrrrpppp… Faizal meringis keasinan sampai terbatuk-batuk. Tambah jengkel lagi melihat Gus Parit tertawa sambil memegangi perutnya.

“Cuma garam itu, Sal! Untung bukan kucampurkan sianida, bisa koit kamu. Ha-ha-ha-ha.”

Faizal yang dikerjai, tersenyum asin. “Awas kamu, Rit. Tunggu saja balasanku,” dengan muka dan tatapan mata dendam, persis di sinetron pemeran antagonis kepada tokoh yang dianiaya.

Gus Parit selesai ngopi, undur diri, “Sal! Aku mau mancing dulu. Kamu ikut apa nggak. Pusing di rumah, dimarahi mak terus.”

Faizal enggan, “Males aku mancing. Lain kali saja. Tak nikmati rebahan ini.”

“Iya wes, aku tak ke kali  dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Rit! ”

Setelah Gus Parit pergi, Faizal melihat ada orang asing di depan rumahnya tampak kebingungan. Faizal bergegas mendekatinya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak? Kok sepertinya kebingungan,” tanya Faizal.

“Iya mas. Ini saya nyari orang. Katanya di kampung ini ada orang pintar? Untuk menyembuhkan anak juragan saya, mas. Sakitnya aneh,” jawab orang tersebut.

Faizal tersenyum licik, ini untuk saatnya membalas Gus Parit. “Oya ada Pak. Memang benar di kampung ini ada orang pintar. Bisa menyembuhkan segala penyakit. Mari mampir sebentar, saya tunjukkan nanti.”

Sebenarnya Faizal tahu, yang dimaksud orang pintar di kampungnya adalah Mbah Kromo, yang sering dimintai jampi-jampi untuk menyembuhkan segala penyakit. Tapi, Faizal berpikiran lain.

Faizal mengajak orang asing tadi singgah sebentar di teras rumahnya untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang orang pintar yang dimaksud. Dirasakan sudah selesai dengan “petunjuk”, Faizal mempersilakan orang asing tersebut untuk mencari orang pintar yang dimaksud.

Di tempat lain, Gus Parit beranjak dari kali tempatnya memancing. Segera ia pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah segera ia makan dan kembali mendengar ceramah emaknya. Tetap dengan topik “KERJA!”.

Tidak berapa lama, terdengar pintu di ketuk. Emak Gus Parit segera membuka pintu.

“Assalamualaikum, bu! Saya mencari Gus Parit. Berdasarkan informasi, rumahnya di sini,” tamu tersebut menjelaskan maksud bertamunya.

“Waalaikumsalam… Iya, anak saya Parit, tapi tidak ada Gusnya, hanya Paa.. riiit,” jawab emak.

“Silakan duduk, Pak! Rit.., sini ada yang mencarimu,” emak memanggil Gus Parit.

Si tamu mencoba menjelaskan, “Saya ke sini berdasarkan info dari seorang anak muda. Jadi begini, anak juragan saya sakit aneh. Gagu, tiba-tiba bisu. Nah, saya dengar di kampung ini ada orang pintar dan namanya Gus Parit.”

Emak dan Gus Parit terkejut. Gus Parit mencoba mengelak, “Bapak ini aneh-aneh saja. Potongan seperti Rafi Ahmad gini mana ada potongan dukun. Ya pantesnya jadi artis.”

Si tamu tidak tampak terkejut, “Lo benar. Kata pemuda tadi, Gus Parit tidak akan mudah mengaku kalau sebenarnya dia dukun. Gus Parit ini senang pergi ke kali to…?”

“Iya, saya senang ke kali. Tapi bukan untuk nyepi, ke kali untuk mancing.”

Si tamu tersenyum, “La benar lagi to. Kata pemuda tadi Gus Parit senang pergi ke kali. Sunan Jogokali. Jadi, Gus Parit ini dukun kan? Orang pinter bisa menyembuhkan segala macam penyakit?”

Gus Parit menyeringai, “Ko ngeyel, saya ini bukan dukun, Pak!”

Si tamu tidak juga tampak marah, malah sumringah, “La..benar apa kata pemuda tadi, Gus Parit akan marah kalau dipaksa ngaku dukun. “Baik gini saja,” sambil menyerahkan uang 20 ribu, “Gus Parit dukun kan?”

“Bukan, Pak! Saya bukan dukun. Dibilangi kok ngeyel saja lo!”

Si tamu merogoh lagi lembar 50 ribu, “Sekarang dukun ya, dukun saja deh….”

Ibu Gus Parit mulai terpancing melihat uang tersebut, tapi Gus Parit tetap bersikukuh, “Bukan! Sekali lagi bukan dukun. Saya bukan dukun!”

Jurus terakhir, si tamu merogoh uang 100 ribuan, “Dengan ini, pasti mau jadi dukun?”

Belum sempat Gus Parit menjawab, emak langsung merebut lembar 100 ribu tadi, “Sudah Rit, dukun saja. Lumayan ini 100 ribu, dapat uang. Demi mak dan dua adikmu Rit!”

Gus Parit terdiam tidak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya lemas, membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Firasat buruk.

Si tamu menjelaskan lebih lanjut, bahwa Gus Parit diminta sesegera mungkin ke rumah majikannya untuk menyembuhkan anaknya yang tiba-tiba bisu. Padahal anak majikannya tersebut, rencananya akan ke luar negeri, jadi TKW.

Selesai menyampaikan maksud kedatangannya, tamu pun pamit. Emak pun pamit ke Gus Parit untuk pergi ke toko membeli makanan. Tinggal Gus Parit sendiri memutar otak karena harus segera menyusul ke majikan si tamu tadi, berdasarkan alamat yang diberikan.

Ketemu. Gus Parit dengan ragu mengetuk pintu si empu rumah majikan yang dimaksud si tamu tadi. Ternyata, kedatangan Gus Parit telah dinanti-nanti. Tampak suami istri sumringah melihat kedatangan Gus Parit, “Monggo monggo. Sekarang dukun sudah regenerasi ya. Biasanya tua-tua, sepuh-sepuh, sekarang sampeyan yang masih muda sudah bisa menjadi dukun,” sapa juaragan laki-laki, Pak Parto.

Gus Parit tersenyum pahit, dengan berlagak sok dukun ia duduk dan memerhatikan sekitar ruang tamu, lalu memegang tangan si majikan, “Wah, ini sepertinya terkena vertigo. Eh sebentar, emmmm, ada migrainnya. Dalam dunia perdukunan ini dinamakan vertigren. Separo vertigo separo migraine. Jadi vertigren,” celoteh Gus Parit sambil manggut-manggut.

Bu Parto yang dipegangi tangannya oleh Gus Parit terpaku, “Wah, hebat sampeyan mas dukun. Bisa mengecek hanya dengan menyentuh tangan.”

“Ooo… sayaaa. Vertigren ini awalnya adalah sakit kepala. Setelah mengalami reaksi kimia yang disebabkan bakteri tomcat mengakibatkan interaksi komplikasi oleh ion lactobasilus dan bakteri anoda dan katoda, kemudian sakitnya akan berkontraksi ke seluruh anatomi tubuh,” jelas Gus Parit.

Pak Parto yang sedari tadi diam terpana mencoba menimpali, “Hebat mas dukun ini! Sampai ludahku menetes mendengar penjelasan sampeyan. Tapi itu yang dipegang tangan istriku mas dukun. Bukan anakku yang sakit”

Gus Parit salah tingkah, “Waduh, sudah telanjur kubocorkan kejadian ilmiahnya tadi. Lalu mana yang sakit? Bawa sini…”

Pak Parto kemudian masuk ke sebuah kamar dan kembali dengan anak perempuannya. Kira-kira beda 5 tahunan dengan Gus Parit. Anak perempuan dewasa yang bisu, bertingkah seperti anak kecil, pandangannya kosong, dan entah dengan siapa, ia seperti berkomunikasi dengan makhluk dari dunia lain.

Gus Parit terheran karena belum pernah melihat sakit aneh seperti yang dilihatnya sekarang, “Baiklah! Setelah ini saya akan mengobatinya. Tapi ada syaratnya. Kalian harus pergi dari sini. Tidak boleh melihat saya mengobati. Bagaimana?”

Pak dan Bu Parto mengiyakan. Keduanya segera pergi meninggalkan Gus Parit dan anak perempuannya. Gus Parit melihat keadaan sekitar ruangan. Clinguk sana, clinguk sini. Memastikan keadaan aman. Tidak ada orang di sekitarnya.

Merasa aman, Gus Parit memandangi anak perempuan juragan tadi, dan tiba-tiba, “Ampun, ampun, saya ini sebenarnya bukan dukun. Saya mahasiswa pengangguran. Yang terpaksa mengaku dukun. Katakan ada apa? Bagaimana saya bisa mengobati? Kalau saya tidak bisa mengobati ndoro, saya bisa urusan polisi karena pasal penipuan.”

Anak perempuan juragan tadi diam mendengar Gus Parit memohon ampun. Tersenyum. Memastikan keadaan juga aman dan berkatalah ia, “Ha-ha-ha…, saya sebenarnya tidak sakit mas dukun. Badan saya sehat, tapi jiwa saya yang sakit. Karena orang tua saya melarang kuliah. Mereka menyuruh saya pergi saja ke luar negeri, jadi TKW. Meski sebenarnya orang tua saya mampu menguliahkan saya.”

Gus Parit tersenyum lega, selega-leganya, “Ooo, baiklah kalau begitu ndoro. Begini saja, kita kong kalikong saja.”

Gus Parit dan anak perempuan yang ternyata bernama Ita, berbisik-bisik berdiskusi untuk menentukan selanjutnya. Setelah selesai, Ita berlari ke sana ke mari sambil menjerit histeris.

Gus Parit berteriak memanggil juragan, “Pak Parto! Bu Parto! Kesini cepat bawakan air putih.”

Tergopoh kedua orang tua Ita mendekati Gus Parit sambil membawakan segelas air putih. Diserahkan kepada Gus Parit, yang terlihat komat-kamit. Lalu, Gus Parit berteriak, “Hadiirrr! Tunjukkan eksistensi kalian!”

Ita yang semula histeris, kemudian tenang. Gus Parit segera meminumkan air putih yang sudah dijampi-jampi tadi. Setelah meminumnya, Ita membuka mata dan tersenyum, “Alhamdulillah. Pak, Bu..Ini Ita sudah sembuh.”

Pak Parto dan istri kegirangan, “Gusti Allah, matur suwun. Kamu sudah sehat, nduk! Kabar baik ini, kamu besok tak daftarkan ke PJTKI, untuk segera bisa diurus agar cepat jadi TKW, kerja ke luar negeri, dapat duit banyak. Ya kan bune?”

Ita yang semula sudah tenang, bertingkah lagi, ia ke sana ke mari, berteriak tidak jelas.

Bu Parto bingung, “Gimana ini mas dukun, ko masih kumat belum waras?”

Gus Parit tersenyum, “Ini sebenarnya akar permasalahannya. Ita, anak ibu mengalami tekanan mental, fungsi-fungsi saraf motoriknya terganggu. Mengakibatkan asam lambung meningkat, terjadi penyumbatan di prostat, sehingga aliran haemoglobin dan trombosit tidak lancar.”

“Lalu, bagaimana agar Ita bisa sembuh mas dukun?”

“Gampang, tenangkan pikirannya, jernihkan hatinya, muluskan cita-citanya. Akan saya coba untuk menyembuhkan terakhir kalinya. Ingat! ini yang terakhir lo, tidak bisa diulang lagi. Kalau gagal bisa cacat mental permanen ini.”

Segera Gus Parit mengambil sikap, diletakkan tangan di dahi Ita dan meminumkan sisa air putih tadi. Ita kembali tenang dan tersenyum kembali.

Bu Parto pun lega, “Sudahlah pak ne, biarkan Ita lanjutkan sekolahnya. Kita tidak usah memaksanya jadi TKW.” Pak Parto pun mengiyakan. Tampaknya masalah Gus Parit juga sudah selesai.

Selesai dengan kejadian tersebut, Gus Parit sumringah, karena segepok uang dalam ampok di genggaman. Siap diberikan kepada ibunya. Ia berjanji setelah ini akan mengajak Faizal bekerja apa saja. Tidak mengapa tidak sesuai bidang. Asalkan tidak diam, yang penting produktif, halal, dan menghasilkan. Kuliah untuk mencari ilmu, status sosial, bukan ijazah, popularitas, apalagi kerja, keduanya adalah bonus, hadiah, dengan meluruskan niat. Wallahualambisshawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan