Panggil Aku Gus Parit (3)

2,672 kali dibaca

Kampus sebagai saksi kami melaksanakan kewajiban. Kewajiban menuntut ilmu seperti yang tertuang dalam agama dan kewajiban taat mengikuti perintah orang tua. Kewajiban formalitas karena ikut-ikutan kuliah, takut lulus SMA bergelar “pengangguran”, ini menjadi tujuan utamaku. Kuliah adalah simbol prestisius bagi keluarga, apalagi yang masih dalam perkampungan, tentu menaikkan kasta di mata bunga desa idaman dan calon besan, apalagi dalam undangan pernikahan titel akan ditulis lengkap. Demikian Gus Parit temanku mengemukakan tujuannya. Kuliah berdasarkan innamal a’malu binniyat. Betul?

Faisal adalah aku, dan Gus Parit adalah karibku. Sahabat kental, lebih dari sedarah sepersusuan. Mafhum, kami dibesarkan tak pernah dipisah. Beda warna, beda rupa, dan beda rasa bukan aral untuk menjadi kombinasi, graffiti, atau mural kehidupan. Aku senang keseriusan, maka Gus Parit datang dengan joke-nya yang menyantaikan. Aku dalam kepanikan, maka Gus Parit bersedia menjadi Anton Chekov dengan mengatakan klimaks tragedi adalah komedi.

Advertisements

Berpikir adalah bagianku dan tertawa menjadi miliknya. Tertekan menjadi gaya hidupku, maka Gus Parit melawan dengan skeptismenya. Jika Gus Parit berpikir, maka Tuhan pun akan tertawa, karena pandanganku Gus Parit “tak pantas” berpikir. Berpikir baginya adalah tawa, bagaimana cara tertawa dan menertawakan akan membuat ringan, menjadi berani, dan melengkapi. Gus Parit menjadi shotgun yang menembaki subversifku yang kian terjebak tegang dalam rintihan elegi kemanusiaan.

Siang ini, aku, Gus Parit, juga teman sekelas menikmati lantunan mata kuliah agama dengan dosen favorit kami, Bapak Tulus Sukoco. Di akhir kuliahnya, beliau berpesan, “Saya yakin semuanya di sini adalah orang berilmu, tidak peduli ilmu banyak atau sedikit, yang penting harus mengamalkannya. Beramal ilmu, harta, tenaga, dan pikiran tentu saja harus dengan keikhlasan, kalau tidak tentu akan sia-sia. Sederhana saja, belajar ikhlas dengan melakukan dan melupakan. Itu pesan saya, terima kasih,” bergegas mengucap salam dan meninggalkan kelas. Tiba-tiba riuh kelas terdengar.

“Bau apa ini?”

“Uh, bau asem, kecut, anyir, mirip rebusan kaus kaki.”

“Kentut ini. Hooeii, siapa yang kentut ini?”

“Buang gas sembarangan, nggak tahu etika, nggak pernah makan tembok kampus.”

“Bilang dong kalau mau kentut, agar kami bisa persiapan.”

“Kentut apa ini? Silent but deadly. Diam tapi mematikan, senjata biologis ampuh.”

Begitu rupa cuitan, umpatan, makian yang keluar dari teman sekelas. Aku curiga karena di sampingku Gus Parit cekikikan. Dengan santai ia berkata, “Ini logika sederhana, Sal, tentang ilmu ikhlas tadi. Kentut saja dan lupakan. Biar orang ramai gaduh mencari. Jika aku mengaku, maka aib namanya. Kentut seikhlasnya dan silakan nikmati bau sepuasnya.”

Aku tertawa kemudian bergegas meninggalkan kelas bersama Parit, karena memang baunya mampu membuat hidung pengar dan perut mual. Aku dan Gus Parit berjalan ke masjid kampus untuk melaksanakan salat Jumat. Seperti biasa, sebelum muadzin dan khatib berdiri melaksanakan rukun Jumat, ada pengumuman dari pihak kampus. “Akan kami bacakan beberapa nama donatur yang menyumbangkan uang untuk korban bencana.” Lalu diumumkanlah nama-nama mahasisiwa penyumbang dengan besaran sumbangannya. “Hamba Allah, seratus ribu,” menjadi kalimat yang terakhir dari pihak publikasi.

Gus Parit kemudian menyenggolku, “Hamba Allah itu aku!” diiringi senyum bangga. Aku terpana, bukan karena amal yang diakuinya sebagai bentuk ketidakikhlasan menurutku, tapi lebih dari pikiran bagaimana seorang Gus Parit mampu menyumbang seratus ribu. Kiriman sering telat. Makan mi menjadi rutinitas. Utang di warung kopi tak terhitung berapa gelas. Dan jelas aku tahu, bagaimana kondisi perekonomian keluarganya. Gus Parit kok sok banget, sok-sokan amal, sok-sokan memaksa nyumbang. Padahal kehidupan kosnya morat-marit.

Dalam hati, aku tidak terima. Aku masih ingat kata guru ngajiku. Kalau harta lihat ke bawah, tapi kalau amal ibadah lihatlah ke atas. Maka, Jumat depan aku harus beramal lebih dari Gus Parit yang “Hamba Allah” disebutkan tadi. Tapi, paling tidak samalah, karena aku juga harus makan. Kompetisi dimulai.

Salat Jumat berikutnya, tekadku menyaingi si Hamba Allah menggebu. Ketika disebutkan namaku oleh takmir bagian publikasi, “Saudara Faisal dengan donasi sebesar dua ratus ribu.” Aku tersenyum melihat Gus Parit di sampingku. Rasakan, dikira apa kamu saja yang mampu beramal. Aku juga mampu.

Kemudian, takmir melanjutkan lagi, “Hamba Allah, dengan donasi tiga ratus ribu rupiah.” Gus Parit melihatku tanpa berkata. Matanya berbinar dengan kedua alis yang diangkat dibarengi senyum kecil yang tak manis. Senyumannya terkesan meremehkanku. Tatapannya seolah berkata, “Kalah kau! kamu dua ratus, aku si Hamba Allah tiga ratus,” semakin dongkol aku dibuatnya.

Demi prestise, aku bertekad akan beramal lebih dari “Hamba Allah”. Maka, aku merelakan sarapan pecel pagiku, demi makan siang saja agar tahan sampai sore. Malamnya aku makan mi rebus yang sengaja kubuat pedas, agar kenyangnya terasa sampai pagi. Terhitung seminggu aku melakukan ritual tersebut. Dan kukumpulkan uang jajanku demi donasi untuk Jumat berikutnya. “Awas kau ya, si Hamba Allah!”

Jumat yang kunanti tiba, senyum kemenangan sebentar lagi akan mengukir wajahku. Dan kemuraman akan tampak di wajah Gus Parit. The Champ is me.

Takmir masjid kampus mulai membacakan, ini adalah momen yang kutunggu selama seminggu. Tunggu kamu si Hamba Allah, “Saudara Faisal dengan donasi tiga ratus lima puluh ribu rupiah.”

“Ha-ha-ha,” aku tertawa dalam hati. Pasti ini yang disebutkan terakhir, tidak ada lagi “Hamba Allah” yang menyaingiku. Tapi, “Hamba Allah dengan donasi lima ratus ribu rupiah.” Demi Allah! Aku terhenyak. Bagaimana mungkin Gus Parit mampu. Karena aku tahu, sebulan ia dikirim hanya lima ratus ribu. “Apa yang Parit pikirkan? Mau makan apa kamu sebulan, Rit! Ngutang lagi! Ikut makan denganku, jangan mimpi uang sakuku nge-pres.” Jengkel aku melihat Gus Parit. Ia tidak menyenggolku, tidak juga menatapku, tapi menunduk, seperti tidak terjadi apa-apa. Bagiku, sikapnya itu adalah sebuah keangkuhan. Memaksa melebihi amalku, kompetisi donasi, tanpa memikirkan imbas setelahnya.

Tidak kuat menahan jengkelku, setelah Jumatan selesai, aku seret keluar masjid. Aku interogasi darimana ia mendapatkan uang banyak itu. Total tiga kali Jumatan sudah delapan ratus ribu. Uang dari mana. Judi online? Ini tidak bisa diterima. Uang haram tetap haram meski dipakai amal.

“Rit! Kamu dari mana mendapatkan uang itu untuk beramal?” tanyaku

Gus Parit terkejut, “Amal apa, Sal? Aku tidak ngamal. Jika iya, aku hanya memasukkan dua sampai lima ribu ke kotak amal. Bukan yang disebutkan takmir tadi.”

Aku kaget, “Lah! Katanya kemarin Hamba Allah itu kamu. Kamu bilang sendiri waktu itu.”

“Ha-ha-ha.Ya semua hamba Allah, Sal. Aku, kamu, mereka, semuanya hamba Allah. Hamba siapa lagi?”

Aku semakin tidak mengerti, “Jadi yang disebutkan tiga kali selama Jumatan sebagai hamba Allah itu bukan kamu?”

“Jelas bukanlah! Hamba-hamba Allah yang lainnya, yang dermawan. Aku? Duit darimana, Sal? Utangku di warung masih banyak, kiriman juga pas-pasan.”

“Lalu, maksud kamu menatapku Jumat kemarin dan menunduk tadi apa, Rit?” aku semakin lemah.

“Aku menatapmu karena kagum. Kamu anak kos bisa menyisakan uang jajan untuk menyumbang. Aku menunduk karena aku malu, Sal. Amal saja belum bagaimana meraih ikhlas.”

Bagai ikan yang kaget ketika di daratan. Klepek-klepek. Rasa kompetisi donasiku, perjuanganku menyisihkan demi menyumbang lebih besar dari si Hamba Allah, senyum kemenangan yang ingin aku sunggingkan karena merasa mengalahkan Gus Parit alias Hamba Allah, yang ternyata… Ah!

Uangku, perjuanganku, senyum kemenanganku, sirna, muksa, dan takbir, tahmid, tahlil, istighfar, istighasah, hawqalah… kurapal campur aduk bergantian. Bergelut antara penyesalan dan takut akan ketidakikhlasan, maka akan menjadi kesia-siaan. Kutatap wajah Gus Parit yang tampak tak berdosa. Kupaksa tersenyum meski asem, pahit, kecut, getir, semua rasa.

“Hebat kamu, Sal. Sekarang tiba waktunya kamu kentut. Lakukan dan lupakan! InsyaAllah ikhlas kamu dapatkan,” Gus Parit menasihati di tengah pergumulan realisme, skeptisme, nihilisme, dan positivisme. Takbir, tahmid, tahlil, istighfar, istighasah, hawqalah.. .campur aduk kurapal lagi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan