Pandemi dan Sikap Santri

970 kali dibaca

Sejauh ini pandemi masih belum jelas kapan akan berakhir. Berbagai program untuk menanggulangi wabah dan dampak sosialnya juga sudah diupayakan oleh pemegang kebijakan. Perkara maksimal atau tidak, perlu kita maklumi. Sebab, masyarakat Indonesia memang sangat beragam, multikultur, dan bermacam-macam kecenderungannya. Jadi, wajar jika di masa pandemi ini banyak yang mengeluhkan kondisi ekonomi, pun kesehatan.

Pandemi yang berkepanjangan jelas akan mendorong terjadinya perubahan yang mempengaruhi cara berpikir dan bersikap banyak orang. Perubahan yang disebabkan pandemi ini juga akan membawa dampak bagi kehidupan sosial kemasyarakatan yang pada umumnya akan bermuara pada dua hal, yaitu masalah ekonomi dan kesehatan.

Advertisements

Melihat dari rekam sejarahnya, kalangan santri dan pesantren lazimnya mampu merespons dan menjadi penopang yang konsistensi atas terjadinya perubahan-perubahan sosial yang tak diduga-duga. Apalagi, selama di dalam pondok pesantren, santri sudah biasa dididik untuk hidup mandiri. Situasi yang serba tak pasti seperti pandemi saat ini bagi santri akan dianggap wajar dan sebagai bagian dari ikhtiar untuk meningkatkan kemandiriannya.

Seperti halnya kondisi saat ini, Covid-19 memang belum diketahui kapan akan berhenti dan hilang dari peredarannya. Namun, bagi seorang santri kondisi ini adalah kondisi yang perlu dilihat dan didekati dengan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan kultur santri. Kedua, pendekatan budaya atau tradisi sosial yang diwariskan secara turun termurun. Ketiga, pendekatan keberagamaan atau spiritualitas.

Pendekatan kultur santri dapat dipahami dengan kondisi dan penempaan-penempaan yang sudah dilalui di pesantren. Penempaan itu menjadi satu sumbangan yang luar biasa untuk perkembangan mental. Di mana mental untuk bersikap mandiri dan tidak gampang kagetan merupakan modal tersendiri bagi santri dalam menghadapi tantangan. Secara kultul, santri memiliki mental kemandirian yang dihasilkan dari penempaan-penempaan selama di pesantren itu.

Artinya, seorang santri tidak seharusnya bergantung pada siapa pun, justru turut mewarnai dan menjadi sumber inspirasi bagi lingkungan dalam menghadapi ragam kondisi dan perubahan-perubahan yang terjadi.

Pendekatana budaya atau tradisi sosial yang sudah berlangsung secara turun temurun dapat dimaknai dengan pendekatan almukhafadhoh al qadimi shalih, wal akhdu bil jadidil aslah. Akulturasi budaya yang diwariskan oleh leluhur dan dikembangkan oleh Wali Songo, misalnya, adalah modal untuk menghadapi gerak dan perubahan sosial.

Dengan pendekatan itulah, santri menjadi sangat fleksibel geraknya, mampu berbaur dengan siapa pun, mampu menjadi barometer gerakan untuk menemukan solusi atas problematika yang terjadi. Sehingga, walaupun santri selalu sarungan, bukan berarti tertutup dengan kebudayaan lama warisan leluhur. Bisa jadi dengan keterbukaan inilah, seorang santri menjadi ruang bagi kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu, menjaga lebih sulit daripada menciptakan. Seperti halnya menjaga warisan budaya kita.

Terakhir adalah pendekatan keberagamaan atau spiritualitas. Untuk menghadapi kondisi sosial yang selalu berubah dan berkembang, setiap santri memiliki modal penataan spiritualitasnya. Dengan artian, spiritualitas adalah kepekaan dalam beragama. Jika kemanusiaan yang menjadi fondasi utama dalam menjalankan agamanya, maka nilai-nilainya akan dipraktikkan dalam kehidupan sosial keberagamaannya.

Satu contoh, misalnya, adanya pagebluk atau wabah seperti kondisi saat ini, sikap santri seharusnya bukan turut serta menyalah-nyalahkan berbagai pihak, melainkan memantapkan keberagamaan lingkungan sekitarnya dengan berdoa bersama, ruwat desa, dan memberi pemahaman bahwa Tuhan tidak akan memberi ujian yang berat, yang tidak sanggup ditanggung oleh manusianya.

Artinya, sikap membesarkan hati masyarakat perlu dipupuk dan menjadi bagian dari gerak spiritualitas santri. Sehingga bukan saling todong, saling tuduh dan saling menyalahkan ini dan itu, melainkan saling menguatkan dan menyadarkan posisi setiap manusia, khususnya di mata Tuhannya.

Kemandirian inilah yang kemudian menjadi kembang mekar dan semerbak di masyarakat, bukan menjadi benalu atau pagar makan tanaman. Di mana sangat merugikan banyak pihak dan tidak memberi kedamaian dan ketenangan dalam hati setiap masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan