Pandemi dan Demokrasi

731 kali dibaca

Berbicara mengenai pandemi, maka jiwa manusia dan keberlangsungan kehidupan adalah taruhannya. Penyebaran virusnya sangat mengancam, tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan berakhirnya. Yang ada hanya spekulasi-spekulasi dari para pengamat dan ahli.

Jika menilik catatan merebaknya pandemi-pandemi sebelum Covid-19, waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada titik reda dan sepenuhnya dapat ditangkal adalah tahunan. Tentunya hal ini diikuti dengan faktor-faktor pendukung dan pelemah. Seperti vaksin untuk daya tangkal virus, tingkat kepatuhan masyarakat pada protokol kesehatan, atau cepat lambatnya penularan dan persebaran dari sebuah virus. Dan semua upaya-upaya induk dalam penanganan pandemi berangkat dari sebuah kebijakan negara yang diketok untuk ditaati bersama.

Advertisements

Usaha yang dilakukan oleh sebuah negara atau pemerintahan dalam menangani pandemi tentu extra ordinary. Kiranya tidak ada negara terdampak pandemi yang leha-leha. Pasti setiap negara akan berupaya semaksimal mungkin untuk menagani pandemi. Misalnya lewat regulasi, anggaran khusus penanganan pandemi, kerja sama dengan stakeholders kesehatan, maupun aksi dan kolaborasi besar lainya. Yang pada dasarnya segala upaya difokuskan untuk mengamankan kehidupan bersama, kestabilan negara, dan jalannya pemerintahan dengan segala bidangya. Karena, keberhasilan menangani pandemi tidak lain berhubungan dengan keselamatan dan keberlanjutan dari sebuah negara dan seisinya itu sendiri.

Paparan di atas setidaknya menggambarkan tidak adanya negara terdampak pandemi yang baik-baik saja. Pandemi yang “brutal” dan ganas menyerang tidak mengenal waktu, tempat, dan situasi apa. Sehingga, respons yang diberikan harus mengimbangi dan bahkan melebihi kebrutalan dari pandemi itu sendiri. Terlebih pandemi Covid-19 ini penyebaranya lebih cepat dari pandemi-pandemi sebelumnya.

Mengutip pernyataan WHO, “Penularan Covid-19 tidak ditularkan hanya melalui droplet atau titik air berisi virus dari batuk dan bersin, tetapi dapat bertahan di udara hingga 8 jam, sehingga penyebaranya juga bisa melaui kontak badan, pernapasan, dan aktivitas lainya.” Hal ini menunjukkan bahwa potensi terbesar dari seseorang dapat terinfeksi Covid-19 adalah ketika beraktivitas di luar ruangan dan berkerumun.

Pemerintah merespons hal ini dengan kebijakan, bahwa aktivutas di segala sektor harus dikurangi intensitasnya, selain bidang esensial dan kritikal tidak boleh ada kegiatan secara langsung. Bentuknya dapat ditilik seperti PSBB, PPKM, PJJ, pengurangan hingga penutupan aktivitas ekonomi dan sosial. Hal ini tak lain dalam rangka menjaga keselamatan bersama.

Namun di sisi lain, hal ini menjadi sangat berat ketika ditabrakkan dengan kondisi masyarakat kecil. Banyak masyarakat kehilangan mata pencaharian, pendapatan, juga ketentraman hidupnya. Akhirnya ada sebagian masyarakat kecil yang bergejolak, menyuarakan kondisi mereka. Pemerintah pun juga tidak lepas tangan begitu saja. Ada program-program bantuan yang diberikan terhadap masyarakat kecil terdampak, baik bantuan sosial-tunai, subsidi listrik, intensif perbankan-usaha, dan lainya. Tetapi harus diakui, hal ini tidak sepenuhnya menopang, bahwa masyarakat kecil terdampak sedikit banyak masih tertatih-tertatih.

Pandemi yang Ditunggangi

Respons tanggap pandemi Covid-19 oleh sebuah negara atau pemerintahan dalam tujuan besarnya adalah mengamankan kehidupan bersama. Namun yang perlu kita ketahui, bahwa setiap negara memiliki stabilitas keadaan tersendiri. Cara-cara dan peraturan yang diterapkan mungkin sama, tetapi problematik lapangan, variatif tantangan, hingga hegemoni pemerintahan setiap negara berbeda-beda.

Hal ini dapat dipengaruhi oleh model pemerintahan, suasana politik, kualitas dan kuantitas masyarakat, dan secara khusus adalah ideologi suatu negara yang dijadikan landasan hidup suatu negara. Sehingga dari perbedaan tersebut akan memunculkan pendekatan dan suasana berbeda dalam penganan pandemi.

Penanganan Covid-19 di Indonesia jika dibincang tentunya akan banyak sisi. Pendekatan dan problematik tiap daerah berbeda-beda. Terlebih lagi dalam ruang demokrasi, hegemoni menimpang tiap “sisi publik” penanganan pandemi. Indonesia dalam konteks negara demokrasi, Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara, tentu menjadi dasar dari setiap gerak juga suara bersama. Baik itu regulasi dan kebijakan pemerintah, maupun masukan dan kritik dari masyarakat.

Artinya, baik dari pihak pemerintah atau pihak masyarakat tidak ada yang boleh melanggar nilai-nilai demokrasi dan Pancasila yang luhur, terlebih dalam masa pandemi Covid-19. Semua pihak diminta satu gerak dan satu suara dalam penanganan Covid-19. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan terselubung dalam setiap upaya.

Tetapi, apakah fakta lapangan megenai penanganan pandemi Covid-19 selama satu tahun lebih sesuai dengan harapan? Cendekiawan Islah Bahrawi, Direktur Jaringan Moderat Inodonesia (organisasi), mengatakan, “Demokrasi memberikan ruang kebebasan yang nyaman. Tetapi ketika kebebasan tersebut dipahami dengan kebablasan, maka manusianya akan berada pada titik primitif yang menyalahi nilai-nilai kemanusaian.” Dan, realita yang kita tahu bersama, bahwa selalu ada oknum-oknum yang memanfaatkan ruang demokrasi dengan berusaha mengambil untung atau menjalankan tujuan pribadi dari situasi yang ada.

Hal tersebut bisa saja terjadi karena ruang yang begitu luas yang diberikan oleh demokrasi kita. Berbeda lagi dengan model ruang demokrasi di beberapa negara, sebut saja RRC dan Korea Utara. Siapa saja yang melanggar atau tidak sesuai dengan aturan akan langsung “dieksekusi” tanpa pernyataan dan pembelaan. Dan demokrasi memberikan seperangkat keleluasaan dan kesempatan yang lebih panjang. Akhirnya oknum-oknum yang memanfaatkan kondisi ini bertebaran di mana-mana, mulai dari birokrat, politisi, hingga rakyat itu sendiri.

Dalam bahasa penulis, “pandemi yang ditunggangi” ini seakan-akan menjadi momentum yang berkelanjutan. Meskipun bentuknya berbeda-beda. Di awal pandemi, di mana semua masyarakat panik dan ribut masalah masker, ada saja oknum-oknum yang menimbun masker, dan dijual lagi dengan harga yang tinggi. Lalu setelah ditemukanya alat tes Covid-19 (Rapid, Swab, dan PCR Test), ada oknum yang memanfaatkan dengan menjual surat hasil tes Covid-19 palsu. Atau berita yang paling menggemparkan dan melukai hati masyarakat: Menteri Sosial korupsi dana bansos dengan pejabat-pejabat utama Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan RI. Dan yang baru saja ramai diberitakan, usulan salah satu petinggi partai untuk membuat rumah sakit khusus pejabat atau pungli jasa kubur jenazah Covid-19. Mudahnya, masyarakat yang terdampak sudah “jatuh dan diinjak-injak juga”. Padahal hari ini Indonesia dilanda ledakan Covid-19 varian baru yang per 10 Juli kasus kematianya menembus 1.000 jiwa.

Dapat kita pahami bahwa masih ada oknum-oknum yang tega berbuat seperti itu. Dan pertanyaan yang muncul: di mana hati nuraninya? Masyarakat sendiri masih tertatih-tatih dalam mewujudkan ketentraman dan keamanan pribadi, tetapi malah ada oknum-oknum yang mendapat kepercayaan sosial-masyarakat tidak memanfaatkan dengan fokus mencurahkan segala kemampuan untuk kepentingan bersama. Itu hanya kasus-kasus yang tersorot lini masa.

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, dalam penelitianya yang berjudul “Pandemic Covid-19 and The and The Challage for Democracy: Indonesia Case” menunjukkan data dari Economy Intellegent Unit mengenai stagnasi dan potensi menurunnya demokrasi dalam masa pandemi. Dan oknum-oknum dalam gambaran kasus di atas adalah salah satu bentuk dari penurunan demokrasi kita.

Itulah fenomena menunggangi pandemi dengan memanfaatkan keleluasaan demokrasi guna kepentingan-kepentingan pribadi. Tetapi sebagai pembanding, kita masih beruntung, bahwa lebih banyak pihak yang memberikan kontribusi positif dan mencurahkan segala kemampuan guna menyelamatkan kehidupan bersama.

Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan