Pandemi dalam Teori Subsistensi

1,518 kali dibaca

Beberapa hari terakhir, di WA saya mulai muncul pesan-pesan yang berisi ketukan hati untuk peduli. Banyak teman-teman yang mulai menulis pesan darurat dengan berbagai bahasa, misalnya: “salam mas, sudah tidak ada apa-apa di rumah, mohon bantuan S.O.S”; “paceklik pandemic, ladang konser diserang hama Covid-19, gak jadi panen, semoga segera ada subsidi”; “Lebaran tidak sampai masuk dirumah kita tahun ini, terhalang Corona, sudah perlu bantuan untuk bertahan”. Ada juga yang menulis; “Si fulan teman kita sudah beberapa hari “puasa lepas” karena di rumah sudah tidak ada apa-apa lagi”; Ada yang pakai kata-kata sindiran: “sekarang saatnya fakir miskin dan anak telantar dipelihara temannya”. Dan beberapa kalimat dengan redaksi yang beragam namun isinya sama.

Saya sendiri juga mengalami nasib yang sama dengan mereka, karena sama-sama mengais rezeki dari event kesenian dan pertunjukan. Tapi saya juga tahu, ketika beberapa teman japri ke saya, artinya mereka masih menganggap saya masih berada dalam kondisi yang lebih baik dari mereka. Atau paling tidak, mereka menganggap saya sebagai orang yang bisa menampung keluhan  mereka dan menyalurkan ke pihak lain. Syukur Alhamdulillah….

Advertisements

Saya tahu persis, teman-teman yang menulis pesan itu adalah orang-orang yang berintegritas dan memiliki marwah tinggi. Mereka tidak terbiasa meminta dan membebani pihak lain. Mereka sangat tahan menerima berbagai terpaan hidup dan bertahan dalam kesulitan. Mereka orang-orang kreatif yang selalu memiliki jalan keluar menghadapi kesulitan melalui kreativitasnya. Jika mereka sampai mengirim pesan seperti itu, berarti kondisinya memang sudah benar-benar SOS. Dan saya yakin mereka mengirim pesan ini juga tidak ke setiap orang. Artinya, pesan seperti ini hanya diberikan pada teman-teman dekat yang mereka percaya.

Sejak wabah pandemi Covid-19 menyebar ke Indonesia, sudah lebih sebulan teman-teman seniman, kru, dan EO berhenti beraktivitas total. Para pekerja yang hanya mengandalkan pendapatan dari pelaksanaan event benar-benar tidak ada pemasukan. Nasib mereka ini sama dengan para buruh harian lepas yang hanya mengandalkan pekerjaan secara insidental.

Bagi para seniman besar, para artis dan pengusaha hiburan, mungkin dampak pandemi ini tidak sampai menganggu kondisi perut. Meski semua event macet dan usaha berhenti, mereka masih punya aset atau tabungan yang bisa menopang hidup di masa kritis pandemi ini. Tapi bagi pekerja seni harian yang hanya mengandalkan event untuk bertahan hidup, maka kondisi seperti sekarang benar-benar menyulitkan. Mereka ini tidak memiliki tabungan dan aset yang bisa menopang kehidupan di masa sulit, sehingga ketika krisis ini muncul maka tidak saja mengancam roda ekonomi mereka, tapi langsung pada daya hidup mereka..

Situasi seperti ini mengingatkan saya pada teori subsistensi yang dikemukakan oleh James T Scott. Melalui bukunya Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (1994), Scott menjelaskan, bahwa sikap kritis dan pelawanan petani merupakan bentuk dari pilihan terakhir untuk bertahan hidup. Menurut Scott, meluasnya peran negara yang berkolaborasi dengan kapitalisme telah menyebabkan terjadinya transformasi desa yang membuat petani tersingkir sehingga menempatkan petani pada posisi tepat di garis deprivasi, ambang batas hidup atau mati. Ibaratnya, kehidupan petani seperti terendam di air yang sudah mau masuk lubang hidung. Jika airnya bergelombang sedikit saja, maka akan masuk ke dalam hidung yang menyebabkan kematian.

Dalam kondisi demikian, pilihan hanya dua: mati tenggelam atau bangkit melawan. Hasil penelitian Scott menunjukkan bahwa berbagai perlawanan petani terhadap negara merupakan upaya mepertahankan kehidupan. Oleh Scott ini disebut sebagai moralitas mengutamakan “dahulukan selamat” dan menjauhkan garis bahaya. Moralitas mendahulukan keselamatan inilah yang dijadikan kunci oleh pendekatan ekonomi moral dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani. Artinya, gerakan perlawanan petani merupakan tindakan subsistens (bertahana hidup) dengan menjauh dari garis deprivasi.

Upaya kaum tani dalam mempertahankan kehidupan melalui gerakan moral “mendahulukan selamat” ini dilakukan dengan cara-cara yang khas kaum lemah seperti; menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif (Scott, 1985:141).

Jika para petani melakukan perlawanan dan protes pada negara untuk menjauh dari garis deprivasi yang mengancam hidupnya, maka para pekerja seni yang sekarang juga berada di garis deprivasi untuk melakukan gerakan moral kebudayaan melalui tindakan mengetuk hati sesama teman. Mereka tidak bisa melakukan gerakan seperti petani, karena lawan yang dihadapi berbeda. Dalam kasus petani, lawan mereka adalah jelas, negara yang berkolaborasi dengan pemilik modal yang membuat kebijakan merugikan petani. Yang dihadapi para seniman pekerja seni sekarang adalah adalah wabah yang mengancam semua golongan lapisan sosial.

Dalam konteks ini, para seniman dan pekerja seni lainnya yang sudah berada di garis derivasi, bisa mengambil spirit dari teori subsisten ini, yaitu melakukan gerakan moral untuk mendahulukan keselamatan dan menjauhkan diri dari garis bahaya (garis deprivasi). Prinsip mendahulukan keselamaan merupakan sumber kekuatan yang memungkinkan teman-teman seniman dan pekerja seni lainnya bisa bertahan dalam menghadapi krisis di tengah pandemi.

Upaya teman-teman mengetuk hati sesama kolega melalui pesan WA merupakan bentuk “subsistensimereka untuk menjauh dari garis bahaya demi mendahulukan selamat. Dan ini merupakan langkah yang baik daripada mereka melakukan protes secara anarkhi yang justru bisa memperkeruh suasana, atau bertahan dalam kesulitan demi menjaga marwah sehingga tenggelam dalam gelombang krisis.

Jika para petani menempuh jalan perlawanan sebagai strategi menjauh dari garis deprivasi dan mengutamakan keselamatan untuk bertahan hidup, para seniman menggunakan kekuatan kultural dan moral untuk menjauh dari garis bahaya. Mereka menjadikan solidaritas, empati, dan peduli sebagai titik pijak untuk bertahan dan menghindari garis deprivasi yang sudah berada di lubang hidung. Inilah saatnya kekuatan kultual menjadi sabuk pengaman (safety belt) dalam menghadapi krisis di tengah pandemi ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan