Optimalisasi Nilai Maqashid As-Syariah dalam Hukum Positif  Indonesia

1,041 kali dibaca

Fenomena abitrase pada masa Ali bin Abi Thalib telah membuka ruang bagi uji konsistensi ajaran Islam yang dibawanya selama ini. Dengan adanya persetujuan Ali terhadap usulan tahkim Muawiyah bin Abu Sufyan, beraneka ragam respons pun bermunculan. Tidak hanya demikian, banyak tafsir dari fenomena itu telah melahirkan aliran teologis yang konservatis, dinamis, netralis, bahkan ekstremis.

Dapat kita lihat bagaimana masalah politis dan gerak sosiologis pada waktu itu sangat sensitif berpengaruh terhadap ranah teologis dan keimanan seseorang, mulai dari  tafkir (kafir mengkafirkan) seperti Khawarij, fanatisme kesukuan seperti Syiah, atau Jabariyah yang konservatis dan Qadariyah yang liberalis.

Advertisements

Polarisasi pemahaman yang dimantik oleh fenomena abitrase di atas telah bermanifesatasi menjadi aliran intensif dalam tubuh Islam. Memurnikan Islam sebagai agama tertutup dan monodoktrinal dari dinamika di luarnya hanya akan mengalienasikan Islam itu sendiri dari peradaban. Islam dari sini dituntut fleksibel dan terbuka mengasosiasikan ajarannya melalui proses interpretasi tekstual Al-Quran dan As-Sunnah.

Suatu pemahaman dikotomi pemurnian antara agama dan filsafat, agama dan politik, atau agama dan keberagaman sekitika perlu dikritisi ulang. Banyak para pemikir Islam yang berpretensi memurnikan agama secara tertutup dari dinamika permasalahan di luarnya. Bahkan diskursus politik ketatanegaraan (siyasah) menjadi wacana kontroversial di kalangan para pemikir muslim. Dikotomisasi antara agama dan politik memantik perspektif beragam mengenai entitas keagamaan dan kepemimpinan Rasulullah sebagai sosok patron umat beragama Islam di dunia.

Pertama, kelompok yang memandang ajaran agama hanya berafiliasi dengan relasi vertikal antara manusia dengan tuhannya. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa Islam sebagai  agama yang komprehensif, mengakomodasi permasalahan di semua lini kehidupan manusia, termasuk politik. Ketiga, risalah keagamaan yang dibawa nabi mengandung prinsip dan nilai politik ketatanegaraan yang perlu ditafsir ulang dalam dinamika perpolitikan kontemporer. Di Indonesia Islam tidak boleh menutup diri dengan politik, hukum, dan negara.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan