Optimalisasi Nilai Maqashid As-Syariah dalam Hukum Positif  Indonesia

1,073 kali dibaca

Fenomena abitrase pada masa Ali bin Abi Thalib telah membuka ruang bagi uji konsistensi ajaran Islam yang dibawanya selama ini. Dengan adanya persetujuan Ali terhadap usulan tahkim Muawiyah bin Abu Sufyan, beraneka ragam respons pun bermunculan. Tidak hanya demikian, banyak tafsir dari fenomena itu telah melahirkan aliran teologis yang konservatis, dinamis, netralis, bahkan ekstremis.

Dapat kita lihat bagaimana masalah politis dan gerak sosiologis pada waktu itu sangat sensitif berpengaruh terhadap ranah teologis dan keimanan seseorang, mulai dari  tafkir (kafir mengkafirkan) seperti Khawarij, fanatisme kesukuan seperti Syiah, atau Jabariyah yang konservatis dan Qadariyah yang liberalis.

Advertisements

Polarisasi pemahaman yang dimantik oleh fenomena abitrase di atas telah bermanifesatasi menjadi aliran intensif dalam tubuh Islam. Memurnikan Islam sebagai agama tertutup dan monodoktrinal dari dinamika di luarnya hanya akan mengalienasikan Islam itu sendiri dari peradaban. Islam dari sini dituntut fleksibel dan terbuka mengasosiasikan ajarannya melalui proses interpretasi tekstual Al-Quran dan As-Sunnah.

Suatu pemahaman dikotomi pemurnian antara agama dan filsafat, agama dan politik, atau agama dan keberagaman sekitika perlu dikritisi ulang. Banyak para pemikir Islam yang berpretensi memurnikan agama secara tertutup dari dinamika permasalahan di luarnya. Bahkan diskursus politik ketatanegaraan (siyasah) menjadi wacana kontroversial di kalangan para pemikir muslim. Dikotomisasi antara agama dan politik memantik perspektif beragam mengenai entitas keagamaan dan kepemimpinan Rasulullah sebagai sosok patron umat beragama Islam di dunia.

Pertama, kelompok yang memandang ajaran agama hanya berafiliasi dengan relasi vertikal antara manusia dengan tuhannya. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa Islam sebagai  agama yang komprehensif, mengakomodasi permasalahan di semua lini kehidupan manusia, termasuk politik. Ketiga, risalah keagamaan yang dibawa nabi mengandung prinsip dan nilai politik ketatanegaraan yang perlu ditafsir ulang dalam dinamika perpolitikan kontemporer. Di Indonesia Islam tidak boleh menutup diri dengan politik, hukum, dan negara.

Sekarang yang menjadi isu krusial adalah gerakan masif mahasiswa syariah seluruh Indonesia yang tergabung dalam aliansi Dema Fakultas Syariah se-Indonesia, yang lahir pada 10 April kemarin, menunjukkan Islam yang komprehensif dan terbuka. Konsolidasi nasional yang melibatkan puluhan Perguruan Tingggi Keagamaan Islam (PTKI) seluruh Indonesia diadakan di UIN Sunan Kalijaga untuk  mengemban misi peradaban Islam melalui gerakan sosial ketatanegaraan. Misinya secara garis besar adalah, optimalisasi hukum syariah dalam mengawal hukum posistif di Indonesia. Mentransformasi nilai syariah dalam hukum legal-formal merupakan dakwah kontekstual yang relevan dengan permaslaahan saat ini.

Secara eksplisit, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa hukum bisa diidentifikasi sebagai hukum syariah jika bersumber dari Al-Quran dan Sunah. Hukum positif sendiri yang berlaku di Indonesia merupakan hasil kodifikasi dari hukum agama, hukum adat (custom), dan hukum eropa kontinental (civil law). Agama hanya menjadi bagian dari ketiga elemen hukum Indonesia dengan tiga agama besar yang ikut mereduksi hukum di masa lalu, yakni Islam, Buddha, dan Hindu.

Tidak dapat dimungkiri, persentase agama dan karakteristik lokal hanya sebagian kecil memberikan sumbangsi terhadap hukum positif di Indonesia. Keberadaan hukum yang sudah tertulis dan dikodifikasikan saat ini masih murni bersumber dari bekas jajahan kolonial negara Eropa. Satu fakta bahwa keterikatan kontintalitas tidak pernah usang dan berakhir. Agama dan karakteristik lokal hanya perwujudan dari keseimbangan hukum antara “apa yang terjadi” (das sein) dan “apa yang seharusnya” (das sollen) yang mempengaruhi sebagian kecilnya saja.

Adanya konsolidasi mahasiswa dengan misi syariah menjadi gerakan yang tepat dalam mewujudkan prinsip keislaman yang universal dan komprehensif dalam menjawab semua persoalan (syumuliyah,) utamanya isu duel aliran dan radikalisme yang mengecam negara persatuan. Islam tidak boleh hanya berjibaku dengan persoalan dalam ranah keilamannya sendiri. Ada kekuasaan legal-formal yang keberadaannya mengikat kehidupan berbangsa, yakni negara, hukum, dan kebijakannya.

Syariah diamanahkan langsung dari langit, keteladanan Rasulullah dan hasil interpretasi para mujtahid melalui dua sumber ajaran tersebut. Syariah mengandung nilai kebajikan yang konseptual dan fungsional. Kompleksitas permasalahan yang kini kita hadapi bersama adalah bagaimana mengasosiasi nilai tersebut dalam ruang kemajemukan dengan satu dasar kebangsaan. Dengan keberagaman itu, bagaimana kemudian transformasi nilai syariah dapat diterapkan?

Muhammad Nasir, seorang pemikir Islam, berpendapat bahwa negara Indonesia telah menjalankan syariah dengan politik garam yang dalam artian, entitas dari pada nilai tersebut tidak tampak dalam tatanan hukum kita. Di sini sebenarnya syariah dalam konteks keindonesiaan bukan lagi dalam arti hukum atau aturan yang berkutat dengan sanksi-sanksi, melainkan suatu nilai substansial untuk membina persatuan dan kemanusiaan dalam tatanan yang majemuk.

Tantangan syariah di Indonesia saat ini datang bertubi-tubi, mencoba merobohkan sistem persatuan yang dibangun sejak dulu. Tantangannya bukan hanya seputar radikalisme dan terorisme yang tidak dapat menerima perbedaan. Tapi dalam tubuh Indonesia sendiri terdapat aliran yang kecam-mengecam. Seperti respons kontroversial publik terhadap ungkapan Menteri Agama atau pernyataan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dianggap melecehkan salah satu organisasi menjadi memedi internal dalam tubuh kebhinekaan kita sendiri.

Di sinilah kemudian syariah dengan politik garam tadi perlu dioptimalisasikan kembali dalam isu sentral saat ini. Syariah yang tidak cenderung memaksakan kehendak dan menggunakan jalan kekerasan, melainkan Islam yang fitrah dan dinamis dalam ruang lokal keindonesiaan. Sebab Indonesia sudah menerapkan syariah Islam yang keberadaannya tidak perlu diformalisasikan, cukup nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ditransformasikan saja secara optimal dalam hukum positif yang saat ini berlaku di Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan