Nyai Rahmatun Nur (3): Perjuangan Menjadi Penulis

820 kali dibaca

Tak hanya berceramah di atas mimbar, Nyai Rahmatun Nur ternyata mempunyai bakat menulis. Ia kemudian banyak menulis buku atau kitab dengan cara “paling tradisional”: menulis buku dengan tangan, bukan mesin tik atau bahkan komputer. Yang menarik, suaminyalah, Kiai Ali Wafa, yang menjadi juru tulisnya, yang memang dikenal menguasai seni kaligrafi.

Bersama pasangan hidupnya tersebut, berbekal buku tulis serta pena (ball point), serta pensil, mereka berdua tekun menulis. Nyai Rahmatun yang mendiktekan gagasannya dalam kalimat,  Kiai Ali Wafa yang menuliskannya baris demi baris.

Advertisements

Tentu saja, karena di zaman itu di desanya belum ada mesin fotokopi, setiap judul buku atau kitab karya Nyai Rahmatun hanya ada satu eksemplar. Untuk menggandakannya, mau tak mau Kiai Ali Wafa harus menulis ulang. Dengan cara itu, buku karya Nyai Rahmatun bisa diperbanyak untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat. Begitulah perjuangan Nyai Rahmatun untuk bisa melahirkan sebuah buku: cukup banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiran.

Baru pada 1990-an terdapat satu toko penyedia mesin fotokopi di sekitar pesantren di Guluk-Guluk dan satu lagi di Kecamatan Ganding. Maka, semakin mudah bagi Nyai Rahmatun untuk menyebarkan gagasannya melalui buku —meskipun masih dalam bentuk fotokopian dari tulisan tangan.

Namun, karena jasa fotokopi bukan hal yang gratis, ditambah lagi semakin banyak kitab yang harus dibagikan kepada jamaahnya sebagai materi pengajian, dan permintaan yang semakin bertambah, maka pembagian kitab-kitab tersebut tidak lagi digratiskan lagi. Namun, jamaah diberi kebebasan untuk membayarnya kapan saja sebagai biaya fotokopi.

Di antara karya tulis Nyai Rahmatun yang sampai saat ini terus diperbaharui adalah kitab Adzkaarus Shalah, yang memuat bacaan-bacaan salat fardhu dan sunah, doa-doa dan zikir-zikir setelah salat wajib dan sunah, serta zikir-zikir yang secara umum bisa dibaca di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, masih ada puluhan macam selawat Nabi juga terdapat di dalamnya. Zikir-zikir dan bacaan-bacaan selawat tersebut, setelah diteliti oleh beberapa ahli agama, bukanlah amalan-bacaan yang sembarangan, tetapi sanadnya jelas bersumber dari Al-Quran dan hadis-hadis Nabi serta dari ulama-ulama salaf yang sufi, faqih, dan kompeten di bidang ilmu agama.

Karya tulis beliau berikutnya adalah Aqaaidul Khamsiin, yang berisi tentang tauhid yang mencakup sifat-sifat dan nama-nama Allah, nama-nama para Nabi dan Rasul dan risalah-risalah mereka, nama-nama para malaikat dan tugas-tugasnya, kisah-kisah seputar alam mahsyar, alam kubur, alam mizan, hisab, hari kiamat, neraka, surge, dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan keimanan.

Berikutnya adalah kitab Suratul Kahfi dan maknanya dalam bahasa Madura, Suurotu Yaa siin dan maknanya dalam bahasa Madura, dan Suuratu Maryam dan maknanya dalam bahasa Madura. Ketiga kitab tersebut ditulis atas rekomendasi dan izin kakaknya, KH Syamsul Arifin Nur, sebagai guru tafsirnya. Dalam mengajarkan kitab-kitab tersebut Nyai Rahmatun memang sengaja tidak menyertakan ke dalam tulisannya tersebut tafsir dan penjelasannya, karena kehati-hatiannya dalam menafsirkan suatu surat atau ayat Al-Quran.

Oleh karena itu, dalam setiap kesempatannya pengajian, biasanya Nyai Rahmatun selalu berkonsultasi terlebih dahulu kepada gurunya tersebut, sambil membaca kitab-kitab tafsir lainnya yang tentunya berbeda-beda.

Karena kegemarannya membaca dan menulis, maka konon setiap alumni yang bekerja di Arab Saudi menelepon dan menawarinya untuk dikirimi sesuatu. Biasanya Nyai Rahmatun minta dikirimi kitab.

Ada beberap kitab kiriman santrinya yang sampai saat ini masih terpelihara, di antaranya Ihya Ulumuddin juz 1-3, kitab Al-Ummu juz 1-5, dan beberapa kitab tafsir, tasawuf, dan fiqih. Dan hingga pada usia di atas setengah abad, Nyai Rahmatun tidak segan-segan belajar dan mengaji kitab-kitab tersebut kepada menantu-menantunya yang pernah ada, di antaranya lulusan Pesantren Sidogiri dan pesantren-pesantren besar lainnya, dengan penuh sifat wara dan rendah hati.

Karya tulis beliau berikutnya adalah Kitabul Fiqhi. Kitab tersebut didaur ulang oleh penerusnya menjadi dua versi. Ada versi Arab dan ada versi Latin. Hal itu untuk mempermudah siapa saja yang mempelajarinya, baik dari kalangan orang tua kuno yang tidak bisa tulisan Latin maupun kalangan muda modern yang semakin jarang pandai tulisan Arab.

Hingga saat ini, kitab-kitab karya Nyai Rahmatun tersebut dijadikan salah satu materi wajib Madrasah Diniyah, majelis-majelis taklim dan majelis-majelis zikir yang pernah dirintisnya, yang kemudian dilestarikan oleh penerusnya.

Multi-Page

2 Replies to “Nyai Rahmatun Nur (3): Perjuangan Menjadi Penulis”

Tinggalkan Balasan