Tak hanya berceramah di atas mimbar, Nyai Rahmatun Nur ternyata mempunyai bakat menulis. Ia kemudian banyak menulis buku atau kitab dengan cara “paling tradisional”: menulis buku dengan tangan, bukan mesin tik atau bahkan komputer. Yang menarik, suaminyalah, Kiai Ali Wafa, yang menjadi juru tulisnya, yang memang dikenal menguasai seni kaligrafi.
Bersama pasangan hidupnya tersebut, berbekal buku tulis serta pena (ball point), serta pensil, mereka berdua tekun menulis. Nyai Rahmatun yang mendiktekan gagasannya dalam kalimat, Kiai Ali Wafa yang menuliskannya baris demi baris.
Tentu saja, karena di zaman itu di desanya belum ada mesin fotokopi, setiap judul buku atau kitab karya Nyai Rahmatun hanya ada satu eksemplar. Untuk menggandakannya, mau tak mau Kiai Ali Wafa harus menulis ulang. Dengan cara itu, buku karya Nyai Rahmatun bisa diperbanyak untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat. Begitulah perjuangan Nyai Rahmatun untuk bisa melahirkan sebuah buku: cukup banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiran.
Baru pada 1990-an terdapat satu toko penyedia mesin fotokopi di sekitar pesantren di Guluk-Guluk dan satu lagi di Kecamatan Ganding. Maka, semakin mudah bagi Nyai Rahmatun untuk menyebarkan gagasannya melalui buku —meskipun masih dalam bentuk fotokopian dari tulisan tangan.
Namun, karena jasa fotokopi bukan hal yang gratis, ditambah lagi semakin banyak kitab yang harus dibagikan kepada jamaahnya sebagai materi pengajian, dan permintaan yang semakin bertambah, maka pembagian kitab-kitab tersebut tidak lagi digratiskan lagi. Namun, jamaah diberi kebebasan untuk membayarnya kapan saja sebagai biaya fotokopi.
Di antara karya tulis Nyai Rahmatun yang sampai saat ini terus diperbaharui adalah kitab Adzkaarus Shalah, yang memuat bacaan-bacaan salat fardhu dan sunah, doa-doa dan zikir-zikir setelah salat wajib dan sunah, serta zikir-zikir yang secara umum bisa dibaca di mana saja dan kapan saja.
👏
Thanks for duniasantri.co. 💗💝💖🙏