Nurcholish Madjid dan Gagasan Modernisasi Pesantren

1,469 kali dibaca

Tuntutan zaman yang ada memang menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan di berbagai sektor. Salah satu yang terkena imbasnya ialah sektor pendidikan, khususnya pendidikan pesantren. Mau-tidak mau, pendidikan pesantren harus mampu menghadapi dan menyesuaikan arus perubahan tersebut. Penyesuaian itu kemudian bertujuan agar dunia pendidikan pesantren tetap eksis dan relevan untuk dijalankan.

Dilihat dari sejarahnya, pesantren memiliki usia yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia. Syekh Maulana Malik Ibrahim dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di Indonesia.

Advertisements

Pesantren pada masa awal pendiriannya merupakan media untuk menyebarkan Islam di Indonesia, sehingga pesantren memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan masyarakat. Hingga saat ini, pesantren terus berkembang dan bertambah. Data kementrian agama menunjukkan, ada 27.722 pondok pesantren yang aktif dengan jumlah santri yang menembus angka 40 juta orang.

Dari banyaknya pesantren yang ada, masih ada pesantren yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang sudah ada sejak awal kemunculan pondok pesantren. Ada juga yang menyadari akan keharusan menjawab tantangan zaman dengan mereformasi sistem pendidikan di dalamnya.

Tuntutan zaman itulah yang menjadikan salah satu pemikir modernis Islam Indonesia, Nurcholish Madjid memunculkan gagasan untuk mentranformasikan pendidikan pesantren. Sebab, ia menganggap bahwa pesantren adalah tempat yang sangat tepat dalam mewujudkan peradaban yang maju, sehingga diperlukan fleksibelitas dalam sistem dan pengajarannya.

Nurcholish Madjid merupakan orang yang langsung merasakan bagaimana proses pendidikan pesantren berjalan. Sebab, ia pernah mengenyam pendidikan pesantren yang berbasis tradisional hingga modern. Ia juga salah satu akademisi yang berhasil menyelesaikan pendidikan modern di Amerika Serikat, sehingga ia memahami pola pemikiran kaum modernis dan kaum tradisionalis.

Nurcholish Madjid atau yang sering disapa Cak Nur juga aktif dalam dunia tulis menulis. Salah satu bukunya yang membahas secara komperhensif atas kritik terhadap dunia pesantren, yaitu Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Di dalam buku tersebut tertuang kritik Nurcholish Madjid dalam memandang pesantren sebagi tempat mengenyam pendidikan. Kritik dalam hal ini tidak hanya berkonotasi negatif. Sebab, makna kritik yang sebenaranya ialah mengurai dan mempertimbangkan baik dan buruk akan suatu hal.

Dalam bukunya, Bilik-Bilik Pesantren, Cak Nur berpendapat bahwa ada dua kondisi objektif yang dihadapi beberapa pendidikan pesantren. Pertama, masih adanya ambivalensi orientasi pendidikan. Hal demikian yang menyebabkan ketidak jelasan dalam menjalankan sistem pendidikan. Sistem pendidikan pesantren hanya berpacu pada pemilik pesantren dengan segala keterbatasannya. Sistem pendidikan tidak terlalu diperhatikan.

Kedua, adanya pemahaman parsial atau dikotomi yang memisahkan antara ilmu agama dan sains. Mereka yang masih beranggapan demikian berpikir bahwa ilmu-ilmu umum tidak lebih penting dari pada ilmu agama. Anggapan di atas menyebabkan terjadi polarisasi antara mana yang lebih penting di antara kedua ilmu tersebut. Padahal, polarisasi yang dimaksud sebenarnya tidak ada. Islam sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Sehingga kesatuan ilmu pengetahuan menjadi pemahaman yang harus diperhatikan dalam sistem pendidikan pesantren.

Kedua masalah tersebut yang kemudian menjadi acuan Cak Nur dalam menggagas transformasi pendidikan Islam yang berkemajuan atau bisa disebut modernis. Maju dalam artian dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kemudian dapat memadukan kemajuan tersebut dengan nila-nilai etika Islam yang menjunjung tinggi moralitas.

Pada dasarnya, Nurcholish Madjid ingin memadukan antara yang tradisional dan modern yang diharapkan mampu menjawab tantangan zaman di masa depan. Peradaban Barat yang dianggap modern masih dirasa sangat kurang dalam hal etika dan moral. Maka dipandang perlu adanya transformasi pendidikan yang mengedepankan nilai kemajuan yang berperan besar di masa depan. Akan tetapi, tidak meninggalkan nilai-nilai ke-Islaman yang akan menjadi patokan etika dan moral. Tentu hal demikian dapat direalisasikan di lembaga pesantren.

Tentu sumbangsih pemikiran Cak Nur ini tidak terlepas dari tujuan pendidikan pesantren yang ingin menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara, serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan Islam sesungguhnya meliputi lingkup yang amat luas, yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam termasuk matematika, astronomi, dan ilmu bumi matematis sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu berasal dari para ilmuan muslim.

Penulis juga sangat setuju dengan pemikiran dan gagasan dari Cak Nur yang ingin mewujudkan pendidikan pesantren yang berkemajuan. Tentu hal demikian tidak mudah terwujud dan harus berani bertahan dalam arus perkembangan zaman. Yang terakhir, perlu adanya kerja sama dari berbagai elemen pendidikan, baik dari guru, fasilitas dan sistem yang berjalan di dalamnya. Dengan demikian, akan terwujud suatu saat nanti Islam yang menuntun kepada peradaban yang gemilang. Wallahu a’lam bisshawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan