“NU itu Menang-menangan”

2,562 kali dibaca

Peristiwa penolakan perayaan Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) di Masjid Kauman Yogyakarta belum lama ini mestinya menjadi bahan muhasabah bagi pengurus dan warga NU serta seluruh warga bangsa Indonesia. Betapa masih kuatnya prasangka berkembang di masyarakat kita. Betapa tabayyun dan silaturrahmi masih terhalang kokohnya tembok segregasi.

Sikap tasammuh, tawassuth, dan tawazzun NU yang selama ini digaungkan dan dijalankan justru dianggap dan dicurigai hanya sebagai kedok atau langkah taktik politik yang arogan dan menang-menangan. NU adalah organisasi yang serakah, mau menang sendiri. NU adalah ormas yang suka mengambil alih masjid, menggusur kelompok lain, dan suka bikin onar.

Advertisements

Memang banyak orang dan kelompok yang merasa tersakiti oleh gerakan NU. Banyak kelompok yang merasa terancam oleh kebangkitan NU dan tidak sedikit orang yang resah karena kebesaran NU. Sikap NU menerima saudaranya bikin acara di basis-basis mereka dianggap sebagai langkah mengambil hati, sekadar basa basi yang layak diwaspadai dan dicurigai.

Oleh karena itu, ketika NU datang mendekat untuk mempererat persaudaraan maka dia layak DITOLAK karena hal itu hanya bikin onar, menebar keresahan. Itu hanya siasat untuk mengambil alih kekuasaan di masjid yang sudah mereka kuasai.

Mereka tidak sudi menerima NU yang menang-menangan dan sok nasionalis. Mereka tidak sudi menerima ulama-suu’. Mereka lebih suka menerima ulama lulusan “S3 Vatikan”. Mereka lebih bisa menoleransi gerombolan yang jelas-jelas merong-rong negara atas nama Islam beraksi di depan mata mereka.

Nafsu dan ambisi memang membuat manusia gelap mata, sehingga sulit membedakan kebaikan dan keburukan. Bahkan, niat dan perbuatan baik sekalipun akan dilihat sebagai ancaman. Keserakahan kadang membuat manusia selalu nerasa terzalimi dan tersingkirkan meski kekuasaan sudah berada di genggaman, sehingga selalu mencurigai siapa saja yang mendekatinya, kemudian dituduh mau menguasai dan mengusik ketentraman.

Bagi para elite dan warga NU, mestinya kasus ini menjadi pengingat bahwa di antara saudara-saudaranya masih ada yang berpandangan bahwa “NU ITU MENANG-MENANGAN”.

Semoga ini jadi catatan bagi NU untuk bersikap lebih arif dan sabar. Terus meningkatkan persaudaraan dan kerukunan. Sehingga apa yang terjadi bisa menjadi penyemangat untuk terus mengamalkan nilai-nilai tawassuth, tasammuh, dan tawazzun dengan sikap i’tidal. NU harus terus menjaga persaudaraan dengan saudara tua Muhammadiyah. Terus berdekatan dan berjuang bersama menebarkan kebaikan. Sehingga NU dan Muhammadiyah bisa Bersama-sama mengikis mereka. Semoga kasus ini tidak membuat keretakan hubungan sesama saudara

Tugas para pemimpin Ormas (terutama NU-MD) dan para elite bangsa ini mendidik warganya untuk mengikis sikap prejudice yang bisa memperkuat segregasi sosial. Bukan malah mengikuti kemauan mereka demi memperoleh dukungan massa dan mempertahankan privelese sosial untuk kepentingan politik sesaat. Tabikk!*

Multi-Page

Tinggalkan Balasan