Nilai Agama dalam Kehidupan Bernegara (2)

1,156 kali dibaca

Kohesivitas kekuasaan dan moral, sebelum masuk ke dalam penemuan pengertian filosofis, perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu adanya perbedaan dan keterpilahan dari konsep kekuasaan dengan konsep moralitas (dalam hal ini etika). Hal ini penting untuk melihat secara lebih dalam dan meluas (filosofis) tentang hakikat demokrasi sebagai sebuah teori politik yang menjadi basis bagi etika politik modern.

Pertanyaan sentral yang harus dijawab adalah apakah konsep kekuasaan itu selalu memuat (di dalamnya) aspek moralitas? Atukah kekuasaan itu selalu berdiri sendiri tanpa ada campur tangan moralitas di dalamnnya? Filsafat politik Aristoteles yang selalu menjadi acuan untuk memahami politik pernah menjawab hal ini.

Advertisements

Dengan mengacu pada kehidupan untuk membangun polis (negara kota) pada waktu itu, Aristoteles menyatakan bahwa berpolitik adalah ungkapan beretika. Tanpa dimensi politik manusia belum dapat nampak sebagai manusia. Negara adalah suatu yang positif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sebagai zoon politicon (mahluk yang berpolitik). Hal ini ditempuh untuk mencapai kebijaksanaan lewat pengalaman, yaitu hidup yang baik, yang membawa pada kebahagiaan (eudamonia). Kalaulah berpolitik itu sebagai ungkapan hidup beretika berarti dalam istilah politik itu sendiri sudah inheren ada etika. Artinya, politik itu pastilah etis.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Aristotales memahami politik tidak bisa dilepaskan dari etika, atau kekuasaan tidak mungkin dilepaskan dari moralitas. Lain halnya dengan Hannah Arendt yang mencoba untuk mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu yang terlepas dari kekerasan. Arendt memahami kekuasaan bukan sebagai alat untuk memaksa orang lain melaksanakan tujuan seseorang, melainkan sebagai pembentukan kehendak bersama dalam suatu komunikasi yang diarahkan pada saling memahami.

Hal ini berlawanan dengan Weber yang menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan bagaikan sebuah mata uang yang berkeping dua. Kekuasaan dianggap sebagai bentuk yang tersembunyi dari kekerasan, dan kekerasan dianggap sebagai manifestasi kekuasaan yang paling mencolok. Arendt ingin menyangkal pendapat ini, dengan menyangkal seolah-olah dari kekerasan bisa muncul kekuasaan dan sebaliknya dari kekuasaan muncul kekerasan. Jika beranggapan secara sederhana bahwa kekerasan adalah sesuatu yang tak bermoral, maka dapat disimpulkan bahwa Arendt menginginkan adanya pengertian kekuasaan yang tidak mungkin lepas dari moral. Hal-hal yang tidak bermoral semacam kekerasan dengan segala bentuk pemaksaan kehendak lainnya tidak boleh dilekatkan dan dipahami inheren ada dalam konsep kekuasaan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan