Nilai Agama dalam Kehidupan Bernegara (2)

1,168 kali dibaca

Kohesivitas kekuasaan dan moral, sebelum masuk ke dalam penemuan pengertian filosofis, perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu adanya perbedaan dan keterpilahan dari konsep kekuasaan dengan konsep moralitas (dalam hal ini etika). Hal ini penting untuk melihat secara lebih dalam dan meluas (filosofis) tentang hakikat demokrasi sebagai sebuah teori politik yang menjadi basis bagi etika politik modern.

Pertanyaan sentral yang harus dijawab adalah apakah konsep kekuasaan itu selalu memuat (di dalamnya) aspek moralitas? Atukah kekuasaan itu selalu berdiri sendiri tanpa ada campur tangan moralitas di dalamnnya? Filsafat politik Aristoteles yang selalu menjadi acuan untuk memahami politik pernah menjawab hal ini.

Advertisements

Dengan mengacu pada kehidupan untuk membangun polis (negara kota) pada waktu itu, Aristoteles menyatakan bahwa berpolitik adalah ungkapan beretika. Tanpa dimensi politik manusia belum dapat nampak sebagai manusia. Negara adalah suatu yang positif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sebagai zoon politicon (mahluk yang berpolitik). Hal ini ditempuh untuk mencapai kebijaksanaan lewat pengalaman, yaitu hidup yang baik, yang membawa pada kebahagiaan (eudamonia). Kalaulah berpolitik itu sebagai ungkapan hidup beretika berarti dalam istilah politik itu sendiri sudah inheren ada etika. Artinya, politik itu pastilah etis.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Aristotales memahami politik tidak bisa dilepaskan dari etika, atau kekuasaan tidak mungkin dilepaskan dari moralitas. Lain halnya dengan Hannah Arendt yang mencoba untuk mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu yang terlepas dari kekerasan. Arendt memahami kekuasaan bukan sebagai alat untuk memaksa orang lain melaksanakan tujuan seseorang, melainkan sebagai pembentukan kehendak bersama dalam suatu komunikasi yang diarahkan pada saling memahami.

Hal ini berlawanan dengan Weber yang menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan bagaikan sebuah mata uang yang berkeping dua. Kekuasaan dianggap sebagai bentuk yang tersembunyi dari kekerasan, dan kekerasan dianggap sebagai manifestasi kekuasaan yang paling mencolok. Arendt ingin menyangkal pendapat ini, dengan menyangkal seolah-olah dari kekerasan bisa muncul kekuasaan dan sebaliknya dari kekuasaan muncul kekerasan. Jika beranggapan secara sederhana bahwa kekerasan adalah sesuatu yang tak bermoral, maka dapat disimpulkan bahwa Arendt menginginkan adanya pengertian kekuasaan yang tidak mungkin lepas dari moral. Hal-hal yang tidak bermoral semacam kekerasan dengan segala bentuk pemaksaan kehendak lainnya tidak boleh dilekatkan dan dipahami inheren ada dalam konsep kekuasaan.

Para sosiolog umumnya mengambil titik tolak yang netral dalam menelaah kekuasaan. Artinya tidak akan menilai kekuasaan sebagai hal yang baik atau buruk, kecuali dari sudut pelaksanaannya. Karakteristik pokok hubungan kekuasaan (secara sosiologis), yang paling sering dijumpai ada dua ciri.

Oleh karena unsur tekanan atau konflik terwujud pada penggunaan sanksi negatif, maka kekuasaan dapat dirumuskan sebagai hubungan prosesual antara dua pihak yang terutama bercirikan:(1) pengaruh a-simetris, dengan kemungkinan pengambilan keputusan ada pada salah satu pihak, walaupun pihak lain menentangnya; (2) penggunaan sanksi-sanksi negatif sebagai perilaku menonjol dari pihak yang dominan. Jika dihubungkan dengan kekerasan, maka sanksi negatif itu dapat berwujud kekerasan, dalam hal ini potensial dalam suatu relasi kekuasaan.

Sementara itu Michel foucault memahami kekuasaan secara luas. Kekuasaan menurut Foucault bukan suatu yang dapat dipertukarkan, diberikan, tetapi dilaksanakan. Kekuasaan hanya ada dalam pelaksanaan di mana yang terpenting adalah suatu hubungan kekuatan. Hubungan yang mengandung niat seseorang untuk mengarahkan perilaku orang lain.

Dalam imajinasi Foucault, kekuasaan adalah hubungan-hubungan yang amat kompleks dari kekuatan-kekuatan yang terus berubah dan menyebar keseluruh bidang kemasyarakatan. Kekuasaan juga beraksi melalui unsurunsur terkecil, misalnya keluarga, hubungan seksual, tetapi juga hubungan pemukiman, perkampungan dan sebagainya, selama kita berada dan masuk dalam jaringan kehidupan sosial, kita akan selalu menemukan sebagai suatu yang mengalir didalamnya, yang beraksi, yang menimbulkan efek-efek.

Konsep kekuasaan menurut pemahaman Foucault ini amat menarik. Kekuasaan dapat eksis dan beraksi di mana saja dan kapan saja seperti iklan produk. Hal lain yang menarik dari Foucault adalah bahwa ia menyatakan “di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan.” Akibatnya, perlawanan ini tidak dalam posisi eksterioritas dalam hubungan dengan kekuasaan; kekuasaan selalu mengandaikan adanya perlawanan. Kalau demikian halnya, maka dapat dipersepsi bahwa kekuasaan selalu mengandung unsur-unsur negatif untuk dilawan.

Secara luas dapat ditafsirkan bahwa mungkin sekali kekuasaan itu mengandung benih-benih a-moral (termasuk kekerasan). Dengan demikian, kekuasaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat memuat moralitas dan dapat pula tidak memuat moralitas. Kekuasaan dapat dipilah dan dipisahkan dari moralitas. Penegasan yang amat sangat mengenai keterpisahan kekuasaan dan moralitas dikemukakan secara eksplisit oleh Machiavelli. Bahkan Machiavelli menganggap bahwa kekuasaan dan moralitas adalah sesuatu yang sangat berbeda dan tidak bisa disatukan.

Bagi Machiavelli, tidak ada gunanya untuk membicarakan legitimasi moral (etis) bagi kekuasaan politik demi efektivitas dari kekuasaan itu sendiri. Sehingga, negara tidak perlu dibebani pandangan-pandangan moral dalam praktik-praktik kekuasaannya. Benar bahwa kekuasaan politik merupakan sebagaian dari kekusaan sosial, tidaklah mungkin dapat dijalankan dengan baik tanpa menggunakan kekuasaan atau sifat memaksa secara fisik seperlunya. Namun sifat memaksa ini bagaimanapun juga harus legitimate.

Machiavelli menolak pemahaman mengenai kekuasaan yang benar itu. Ia merendahkan martabat dimensi kehidupan politik pada persaingan antara pemimpin ‘mafia’ yang saling berebutan kekuasaan. Tentu saja, ini merupakan konsep kekuasan yang tidak terhormat, Di sini ia mereduksi paham kekuasan pada tingkat yang paling rendah. Apa yang hendak disimpulkan dari telaah komparatif sederhana mengenai konsep kekuasaan dan konsep moralitas tersebut adalah adanya keterpilahan dari kedua konsep tersebut secara teoretis.

Hal ini tidak berarti bahwa kepaduan atau kemenyatuan dari kedua konsep tersebut tidak bisa, melainkan secara terbuka harus kita unkapkan potensi untuk itu cukup besar. Jadi dapat dipahami secara teoretis-logis bahwa kekuasaan secara potensial dapat terpisah secara total dari moralitas, dan secara potensial dapat pula menyatu secara total dengan moralitas (etika). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan dan moralitas adalah dua hal yang berbeda, dalam arti dapat dipilah.

Namun seringkali dalam kenyataan empiris kedua ekstrem itu tidak dapat terlihat dengan jelas. Yang lebih nampak adalah tarik ulur kekuasaan dengan moralitas dalam mengaktualisasikan masing-masing kepentingan yang bersandar pada masing-masing keyakinan tertentu dari partisipan kehidupan politik yang ada.

Dari tesis tersebut, jelas bahwa wacana kekuasaan dan moralitas yang bersumber dari agama tetap menyisakan dua cara pandang dalam konteks kenegaraan dan ideologi sebagaimana perumusan awal sejarah perdebatan para Founding Fathers dalam mendirikan negara Indonesia. Kelompok Nasionalis-Sekuler dan Nasionalis-Islamis yang masing-masing dipelopori oleh Ir Soekarno dan Mohammad Natsir.

Indonesia secara tegas sebagaimana telah diurai di awal bukan negara sekuler, tetapi bukan pula negara agama yang hanya mengakomodasi agama tertentu, tetapi dengan pluralitas keagamaan, suku bangsa, ras dan lain-lainnya menjadikan konsep bhineka tunggal ika sebagai pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kendatipun, dominasi warna dari agama tertentu tidak dapat dihindari dari pengaruh kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari karena konsep demokrasi (suara mayoritas).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan