Ngopi dan Tradisi Para Sufi

3,529 kali dibaca

Kopi dalam bahasa Arab disebut qahwah. Dalam KBBI dijelaskan sebagai pohon yang banyak ditanam di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Buahnya disangrai dan ditumbuk halus untuk dijadikan bahan minuman. Marwah kopi sudah menyebar hingga ke pelosok negeri. Tidak jarang kita dapatkan warung-warung kopi dari yang sederhana hingga mewah.

Berbeda dengan tren minum kopi saat ini, konon pada awalnya kopi dikenal sebagai minuman kaum sufi agar tetap terjaga hingga malam hari. Agar para sufi kuat beribadah dalam taqarrub (zikir) kepada Allah. Namun, kini minum kopi di masa kini hanya sebagai pelepas penat untuk dapat ngobrol semalaman. Tidak ada nilai religi sebagaimana awal ditemukannya biji kopi.

Advertisements

Terhadap hukum mengkonsumsi kopi, ulama tidak berada pada satu pendapat. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa mengonsumsi kopi hukumnya haram. Meski hal tersebut lebih kepada konsumsi yang berlebihan. Sebab, apa pun zatnya, kalau dinikmati dengan cara berlebih akan menyebabkan mudharat. Hal itu yang menjadikan dasar sebagian ulama tidak membolehkan mengonsumsi kopi. Di dalam kopi ada zat candu yang akan menyebabkan seorang penikmat akan terjadi ketergantungan.

Kembali kepada konsep awal, bahwa kopi dijadikan perantara (washilah) untuk tahan dalam beribadah. Taqarrub, adalah lelaku kaum sufi yang menginginkan terus ber-khalwat dengan Tuhan. Maka diperlukan kekuatan fisik agar kenikmatan beribadah didapat dengan sepenuhnya. Kopi adalah salah satu sarananya.

Historia Kopi

Ada banyak versi kapan dimulainya kopi dijadikan sebagai minuman. Salah satunya adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Thayib al-Ghazali di dalam Syudzur Dzahab, bahwa pertama kali kopi dijadikan minuman oleh Nabi Sulaiman. Menurut Abu Thayib, Nabi Sulaiman mendapat petunjuk dari Allah untuk menggunakan biji kopi sebagai ramuan suatu penyakit di suatu wilayah. Berkat seduhan kopi tersebut, penyakit menjadi sembuh, dan sejak itulah kopi dikenal sebagai minuman berkhasiat.

Abdul Qadir al-Jaziri (lahir; 1505) menceritakan tentang penyebaran minuman kopi dalam kitabnya berjudul Umdatus Shafa. Dalam kitab tersebut, ia mengisahkan tentang minuman kopi yang dinikmati para sufi di Yaman.

Dikisahkan, suatu ketika seorang mufti besar bernama Jamaluddin adz-Dzabhani (wafat: 1470) dari Yaman  sedang melakukan perjalanan ke Bar’Ajm (kawasan non-Arab). Di sana ia menemukan orang-orang sedang meminum kopi. Lalu ia pun membawa pulang biji kopi tersebut.

Setelah al-Dzabhani melakukan perjalanan tersebut, ia merasakan sebuah penyakit yang cukup serius. Teringat dengan minuman kopi, akhirnya al-Dzabhani menyeduhnya yang kemudian merasakan kesegaran dalam tubuhnya. Khasiat biji kopi dalam seduhannya membuat tubuhnya menjadi sehat. Sejak itu juga (sekitar abad 15), biji kopi menjadi semakin dikenal sebagai minuman keseharian.

Dalam riwayat lain dikisah, Khalid, seorang pria Arab, sedang mengembalakan kambing di wilayah Kaffah, sebelah selatan Ethiopia. Pengembala tersebut memperhatikan kambing gembalaannya memakan biji-biji kecil yang berwarna agak gelap. Setelah memakan biji-biji tersebut, terlihat kambingnya lebih segar dan semakin bergairah. Hal tersebut membuat Khalid tergerak untuk membawa biji-biji tersebut ke rumah, kemudian ditumbuk sebagai ramuan, diseduh, dan dijadikan minuman. Dan memang benar, ternyata biji kecil tersebut yang kemudian dikenal sebagai biji kopi, memberikan kesegeran di dalam tubuh.

Sejak itu, biji kopi diekspor dari Ethiopia ke Yaman pada abad ke-10. Hingga akhir abad ke-15, kopi telah mencapai Makkah dan Turki, baru kemudian bisa dinikmati masyarakat Mesir. Penyebaran biji kopi terus mengalami perkembangan yang sangat pesat, hingga kemudian dikenal oleh masyarakat di seluruh penjuru dunia. Dan kopi akhirnya menjadi legenda yang memberikan manfaat baik dalam hubungan sosial maupun dalam kesehatan jasmani.

Sufi Penemu Kopi

Sebagaimana awal mula kopi diseduh, sejak saat itu pula dijadikan washilah kaum sufi untuk tetap terjaga dalam taqarrub kepada Allah. Oleh karena biji kopi memberikan kesegaran, penikmat kopi lebih tahan dari kantuk, maka kemudian kaum sufi memanfaatkan kopi ini untuk tetap fokus dalam zikir.

Dalam riwayat lain, disebutkan biji kopi pertama kali ditemukan pada abad ke-8 Hijriah. Riwayat ini sebagaimana dituliskan oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Husainy Al-Hadramy dari marga Alaydrus (1070-1113 H), dalam kitab berjudul Iinaasush Shofwah bi Anfaasil Qohwah. Ia menjelaskan, jika seorang ulama sufi terkenal, Imam Abul Hasan Ali Asy-Syadzili merupakan sosok penemu kopi pertama.

Menurut kisah, Imam Abu Hasan Ali Asy-Syadzili (seorang sufi) diperintahkan gurunya untuk berzikir selama 40 hari tanpa tidur dan batal wudhu. Namun, yang terjadi, bagaimanapun ia berusaha, selalu gagal karena tertidur. Dalam tidur tersebut, Imam Abu Hasan bermimpi dan mendapat petunjuk untuk memanfaatkan biji kopi sebagai minuman yang dapat menyegarkan tubuh. Sejak itu, kopi menjadi minuman favorit untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam sebuah syair, Abu Hasan Ali Asy-Syadzili mengungkapkan, “Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya, kopi membantuku mengusir kantuk. Dengan pertolongan Allah, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang sedang terlelap.”

Kopi dan Doa

Kopi yang semula meruakan minuman kaum sufi, sekarang sudah menjadi minuman siapa saja, dan semakin memberikan berkah apabila diminum dengan porsi yang benar dan dosis yang tepat. Lebih-lebih lagi apabila diminum dengan terlebih dahulu membaca doa sebagaimana yang diajarkan dan dianjurkan oleh Rasulullah. Sebab, hanya dengan perlakuan yang benar serta tujuan yang tepat (doa), segala hal akan mencapai maksudnya (taqarrub ilallah).

Sebuah riwayat terkait dengan doa minum kopi diajarkan oleh Rasulullah. Dikisahkan dari Sayyid Nahlawi Ibnu Sayyid Khalil bahwa ia mendengar cerita yang dituturkan oleh gurunya yang bernama Syaikh Salim Samarah tentang seorang sufi dari tanah Maghribi (Maroko). Suatu ketika seorang sufi berjumpa Rasulullah dalam keadaan terjaga (sadar). Kemudian sufi tersebut menuturkan halnya kepada Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, saya suka meminum kopi.” Lalu Nabi memerintahkan sang sufi untuk membaca doa khusus saat menyeruput kopi yang biasa diminumnya. Doa tersebut adalah sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا نُوْرًا لِبَصَرِيْ وَعَافِيَةً لِبَدَنِيْ وشِفَاءً لِقَلْبِيْ وَدَوَاءً لِكُلِّ دَاءٍ يَا قَوِيُّ يَا مَتِيْنُ (ثم يتلو البسملة)

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah kopi yang saya teguk sebagai cahaya bagi penglihatanku, kesehatan bagi badanku, penawar hatiku, obat bagi segala penyakit, duhai Zat yang Mahakuat dan Mahateguh. Kemudian membaca ‘bismillahirrahmanirrahim.’”

Nabi kemudian melanjutkan sabdanya, “Malaikat akan terus memintakan ampunan untukmu selama rasa kopi masih menempel di mulutmu.” (Muhammad Idris, Alif.id, 2020).

Doa dalam segala hal dianjurkan di dalam Islam. Setiap perkara yang dipandang penting, maka mesti diawali dengan doa. Ud’uni astajib lakum,” (berdoalah kepadaku, nisacaya aku kabulkan). “Addu’a silahul mukminin,” (doa itu senjatanya orang mukmin). Dan masih banyak lagi keterangan terkait dengan doa. Bahwa doa adalah awal segala hal untuk melakukannya.

Shaikh ibn Ismail Ba ‘Alawi menyatakan bahwa meminum kopi yang ditujukan untuk memperkuat ibadah dan keimanan, bisa mengantarkan pada kondisi qahwa ma’nawiyah (qahwa yang ideal) dan qahwa al-Sufiyya, kondisi yang menyenangkan ketika seorang hamba Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia tersembunyi di dunia ini dan dunia langit.

Para darwis dari Tarekat Syadziliyah ini termasuk penganut sufi yang paling aktif dalam segala urusan duniawi. Konon, pendiri tarekat ini, Shaikh Abul Hasan asy-Syadzili, enggan mengangkat murid yang belum mempunyai pekerjaan. Maka, kopi dipandang memberi manfaat untuk mendongkrak gairah kerja yang pada akhirnya bisa mendorong perekonomian.

Setiap makanan atau minuman (yang halal) akan berdampak positif apabila dikonsumsi dengan bijak. Menikmatinya dengan cara tidak berlebihan, serta memperhatikan kandungan gizi yang ada di dalamnya. Terkait dengan kopi, akan berdampak positif apabila dikonsumsi dengan cara wajar, tidak berlebihan, dan meluruskan niat (mendekatkan diri kepada Allah).

Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan