“Ngarit”, Stimulan di Tengah Wabah

8,131 kali dibaca

Kemarin siang, ada pemandangan yang sudah lama tak pernah saya saksikan. Selepas dari swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah, saya melihat ada seorang bapak yang sedang ngarit di sekitar kompleks rumah. Hampir satu tahun saya tinggal di ibu kota, dan baru kali ini saya jumpai seseorang yang masih ngarit, mencari rumput untuk pakan ternah piaraan. Berbeda dengan kehidupan di Jawa Timur, ngarit bukanlah hal yang langka, bahkan kegiatan itu sudah jamak dilakukan masyarakat.

Mungkin untuk orang kota, ngarit bukanlah hal yang istimewa atau bahkan dipandang sebelah mata. Maklum saja, tak banyak orang kota yang bisa angon (menggembala) ternak peliharaan, karena semua sudah kenyang dengan perkantoran. Tapi keseimbangan selalu ada. Di Jawa, ngarit bukanlah sekadar rutinitas untuk mencari rumput saja. Atau bukan pula aktivitas mencari rumput untuk makan ternak saja. Ngarit mempunyai filosofinya tersendiri.

Advertisements

Memang, jika berbicara perihal ngarit, selalu ada kaitannya dengan ternak dan angon. Biasanya orang ngarit bukan untuk dimakan dirinya sendiri, melainkan ternak yang kebanyakan adalah kambing dan sapi. Saya sering melihat orang-orang desa baik dari yang muda sampai ke yang tua, setiap siang menjelang sore, banyak yang menggiring ternaknya, biasanya kambing, menuju ke ladang. Ternak diikat di pasak untuk memakan rumput sekitaran. Sedangkan, si empunya sibuk membabat rumput liar untuk dibawa pulang. Dan aktivitas itu dilakukan setiap hari.

Sempat saya berbincang dengan seorang yang sudah lumayan sepuh, kami membicarakan ngarit saat itu. Di malam dengan ditemani secangkir kopi dan kacang-kacang yang membuat ketagihan.

Ngarit kuwi tegese ngasah wirid.” (Ngarit itu artinya mengasah wirid).

Bapak itu kemudian melanjutkan:

Wirid iku kan kudu diulang-ulang. Laailahailallah diulang-ulang, alhamdulillah diulang-ulang, lan sakteruse. Tujuane wirid kuwi sejatine gawe makani ati. Mangkane wong Jowo biasane sing sregep ngarit kuwi, yen gak ngarit sedino wae yo gak iso, sebab mengko ternake ora mangan, terus mati.”

(Wirid itu kan harus diulang-ulang. Mengucap Laailahailallah diulang-ulang, mengucap alhamdulillah diulang, dan mengucap kalimat-kalimat baik lainnya. Tujuan wirid itu sendiri hakikatnya kan untuk memberi makan hati. Itulah sebabnya orang Jawa yang biasanya rajin ngarit itu jika sehari saja tidak ngarit pasti tak bisa. Sebab jika sehari saja tidak ngarit, nanti ternaknya tidak makan, terus mati.)

Mendengar penjelasan dari beliau, ikatan di pikiran saya seakan terlepas, pertanda bahwa ada satu kunci yang akhirnya terbuka. Spekulasi dan pikiran saya akhirnya menjalar ke mana-mana, mencoba untuk meluaskan makna dari makna ngarit itu. Bayangkan saja, hanya melalui ngarit yang dianggap remeh oleh banyak orang, ternyata mempunyai makna yang luar biasa.

Wirid itu adalah bacaan yang terus diulang. Ya, jika ngarit hanya dilakukan sekali saja dan tidak berlanjut maka tentu saja ternak akan mati kelaparan. Wirid itu memberi makan hati. Ngarit itu untuk memberi makan ternak. Hati adalah hewan ternak kita yang harus kita beri makan setiap hari dengan wirid. Kita adalah penggembala yang tugasnya angon setiap hari. Dan tentu saja ngarit bukanlah hal kecil. Di era modern ini jelas saja jika hati sering merasa lapar dan tak tenang, kita memang lupa akan tugas kita sebagai penggembala yang harus angon setiap hari untuk memberi makan ternak kita, untuk memberikan kesempatan ternak kita hidup sampai lama.

Terlebih, di bulan Ramadhan ini kita masih berada di tengah pandemi, rasanya kita memang butuh lebih teratur dan rajin untuk “ngarit“. Benturan-benturan keadaan dan banjir informasi dari media tentu saja membuat jiwa dan hati kita tak karuan. Salah satu menjaga imunitas hati dan membuatnya tetap kenyang adalah dengan terus-menerus “ngarit“. Karena, ternak kita tidak pernah kenyang dan ia selalu haus akan mengingat Tuhan. Wabah bukanlah ujian final yang Allah turunkan kepada umat manusia, maka benteng dan stok kebutuhan pokok nurani juga harus dipersiapkan untuk jangka panjang.

Begitu mendalam makna ngarit. Mungkin bagi kita yang hidup di era global dan zaman modern seperti ini, makna filosofi dari segala objek terkesan memudar. Kita hanya bisa melihat wujud fisik tanpa mengetahui arti budaya yang melekat di belakangnya. Kompleksitas pengetahuan dan kedalaman religiusitas perlu diseimbangkan, agar tidak akan ada dikotomi antara lelaku dan ibadah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan