Ngaji Riyadhus Shalihin Kembali Digelar

1,267 kali dibaca

Setelah sekian lama vakum, pada hari ini, Ahad, 5 Juni 2022, pengajian kitab Riyadhus Shalihin yang diampu oleh KH A Hanif Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, kembali digelar. Jeda pengajian ini disebabkan oleh datangnya bulan suci Ramadhan, di samping persoalan teknis lainnya. Syukur Alhamdulillah, pengajian kitab yang merupakan karya besar Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariya bin Syarif Annawawi ini dapat dilaksanakan kembali.

Ngaji Kitab Riyadhus Shalihin yang diinisiasi oleh Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Cabang Kota Sumenep, Kalianget, dan Batuan, merupakan kegiatan bulanan yang dilaksanakan pada minggu pertama setiap bulan. Maksud dan tujuan dari pengajian ini, sebagaimana lumrahnya, di samping sebagai ngalap berkah, juga sebagai bentuk silaturrahmi antara pengasuh pesantren dengan alumni pondok. Sementara itu, kita juga dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap Hadis yang dibahas dalam pengajian ini.

Advertisements

Pada kajian kali ini, Kiai Hanif membahas tentang persoalan ushuluddin dan furu’uddin. Dalam kehidupan keseharian kita seringkali dihadapkan kepada masalah pokok dan cabang agama. Ketika pokok yang menjadi pembahasan, maka hal ini harus benar-benar dijiwai sebagai sebuah prinsip Islam. Jangan sampai terkesan liberal, seperti misalnya meyakini bahwa semua agama sama. “Meyakini semua agama sama adalah persoalan pokok agama (ushuluddin) yang tidak dibenarkan dalam Islam,” demikian Kiai Hanif menjelaskan.

Sementara dalam masalah furu’ (cabang), hal ini harus dipahami sebagai persoalan ikhtilaf, perbedaan para ulama terhadap sebuah persoalan fikih. Seperti dalam hal seorang wanita memakai cadar, mengadakan acara tahlilan, dan lain semacamnya adalah ikhtilaf ulama dan harus dipahami sebagai sebuah perbedaan. Jangan sampai terjadi tafkiri dan justifikasi bahwa yang berbeda adalah kafir dan masuk neraka.

Tafriq dan Ikhtilaf

Selanjutnya Kiai Hanif juga menyinggung masalah perbedaan dalam ushuluddin yang disebut dengan tafriq atau mufaraqah. Yaitu seseorang yang telah keluar dari landasan ahlussunah wal jamaah. Sementara itu, perbedaan dalam masalah furuiyah, hal yang bukan prinsip (pokok) disebut dengan ikhtilaf. Yaitu persoalan fikih yang menjadi manhaj para ulama dengan istimbat hukum yang berbeda-beda. Dalam hal ini tidak sampai terjadi sikap saling mengafirkan, karena ikhtilaf ulama adalah suatu hal yang biasa dan harus saling menghormati dan menghargai.

Tafriq adalah seseorang yang telah keluar dari ajaran Islam yang pokok. Maka ketika hal tersebut terjadi, kita harus berpaling darinya dan harus dipahami sebagai orang yang berbeda. Secara kemanusiaan kita harus tetap menghargainya dan tentu berusaha untuk mengajak kembali ke jalan yang benar.

Sementara itu, ikhtilaf ulama atau disebut juga dengan khilafiyah pada dasarnya memiliki makna yang sama, yakni perbedaan pendapat di kalangan ulama disebabkan karena perbedaan cara pandang (istimbath) di dalam memahami dalil-dalil agama. Perbedaan tidak dipandang sebagai sebuah kenihilan karena masing-masing pendapat memiliki hujjah yang diyakini sebagai kebenaran. “Ikhtilafu ummati rahmatun; perbedaan umatku adalah rahmat,” merupakan ungkapan Nabi saw yang patut dijadikan pegangan agar perbedaan itu tidak sampai ke taraf saling menjatuhkan dan meremehkan.

Demikian itu pengajian Kitab Riyadhus Shalihin, yang pada kali ini ditempatkan di Masjid Nila Arrasyid, Bangkal, Sumenep, Jawa Timur. Semoga pada pengajian berikutnya kita masih diberi kesempatan untuk tetap istiqamah untuk mengikuti kajian Kitab Riyadhus Shalihin ini. Dan yang paling penting lagi, jalinan silaturrahmi dengan pengasuh Annuqayah yang telah meluangkan waktu demi bertemu dengan para alumni. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan