Negeri yang Terpilih

976 kali dibaca

Malam itu terasa amat berbeda dari malam-malam sebelumnya. Langit tampak begitu bersih, jernih, dan terang benderang. Kilau bintang bertaburan memenuhi angkasa, dan tak terlihat selembar pun awan yang menggantung atau terbang melayang. Dari laut yang airnya berkilauan angin berembus perlahan. Gelombangnya serasa enggan untuk memecah di tepian pantai, dan lebih memilih saling berangkulan di bawah kilau bintang gemintang. Semilir angin menerpa pepohonan. Daun-daun saling melambai, saling memanggil. Malam terasa begitu khidmat.

Malam itu Tuhan memanggil seluruh malaikat untuk berkumpul. Dan ketika malam telah sampai pada puncaknya, pertemuan pun dimulai. Satu per satu malaikat diminta melaporkan perkembangan kondisi dan suasana alam semesta. Bergiliran, para malaikat memberikan laporan secara terperinci. Setelah semua malaikat memberikan laporannya, Tuhan pun kemudian menyampaikan titahnya.

Advertisements

“Kalian masih ingat apa yang pernah Aku lakukan pada kaumnya Luth dan Nuh?”

Para malaikat terdiam. Suasana senyap.

“Kalian masih ingat?”

“Mereka adalah kaum pendusta dan pendurhaka, Tuhanku. Mereka adalah kaum yang ingkar, dan karena itu Tuhanku telah membinasakannya,” jawab salah satu malaikat.

“Kepada kaumnya Luth, Tuhanku telah mengirim wabah. Dan kepada kaumnya Nuh, Tuhanku telah mendatangkan bah. Dan mereka semua musnah,” sambung malaikat yang lain.

“Ya. Dan seperti kalian tahu, di satu belahan bumi, sekarang ini ada satu bangsa yang telah lebih bobrok dibanding kaumnya Luth dan Nuh itu. Dan ini adalah hukum-Ku: sudah saatnya bangsa itu dibinasakan agar tidak membawa kerusakan bagi kaum-kaum yang lain, bagi seluruh kehidupan di bumi.”

“Kaum siapakah, Tuhanku?”

“Kaum yang manakah, Tuhanku?”

“Bangsa yang tinggal di belahan bumi manakah, Tuhanku?”

Suasana kembali senyap beberapa saat. Para malaikat berdebar-debar menunggu jawaban.

“Kalian pura-pura tidak tahu. Sudah tentu mereka adalah bangsa yang mendiami daerah zamrud khatulistiwa itu.”

Hampir semua malaikat tercengang. “Bukankah itu bangsa Indonesia, Tuhanku?” beberapa malaikat menyahut hampir serentak.

“Memangnya ada apa dengan Indonesia, kok kalian terlihat kaget?”

“Bukankah bangsa Indonesia adalah bangsa yang taat beragama, Tuhanku,” tanya satu malaikat.

“Bukankah semua orang di sana adalah pemeluk agama yang Tuhanku ajarkan?” sambung yang lain.

“Betul, Tuhanku, kenapa mereka harus dibinasakan?”

“Ya, Aku mengerti perasaan kalian. Tapi coba sekarang kalian jawab dulu pertanyaan-Ku ini.”

“Kami, hamba-Mu, tak pernah tidak patuh, Tuhanku,” jawab para malaikat serentak.

“Coba jelaskan kepada-Ku, apa ada yang belum pernah Aku berikan kepada bangsa yang bernama Indonesia itu? Masih adakah sesuatu yang belum Aku berikan kepada bangsa Indonesia itu?”

Para malaikat hanya tertunduk diam. Membisu.

“Semua telah Aku berikan kepada bangsa Indonesia itu, agar mereka memiliki hidup yang lebih, agar mereka bisa memimpin bangsa-bangsa lain dalam membangun peradaban yang paripurna di atas muka bumi.”

“Kami adalah hamba-Mu, Tuhanku.”

“Adakah bangsa lain yang pernah Aku beri keindahan dan kekayaan alam seperti yang pernah Aku berikan kepada bangsa Indonesia?”

“Kami hamba-Mu, Tuhanku, telah bersaksi atas semuanya.”

“Ribuan pulau Aku hamparkan, yang di dalam perut buminya dikandung kekayaan yang melimpah-limpah. Laut yang luasnya tak terukur Aku bentangkan dari segala arah, yang di dalamnya juga terkandung kekayaan yang berlimpah ruah. Juga Aku tegakkan gunung gemunung berjejer-jejer berbarisan, dan segala sumber energi ada di dalamnya. Juga secara teratur Aku turunkan hujan— yang malah sering ditolak olah para pawang dungu itu— agar hutan-hutannya terus melebat. Di atas belahan buminya juga Aku buatkan garis edar matahari sehingga iklim dan cuacanya sempurna. Begitu indahnya, sehingga mereka menyebutnya zamrud khatulistiwa.”

“Kami hamba-Mu, Tuhanku, telah bersaksi atas semuanya.”

“Itu masih belum seberapa. Mereka juga Aku takdirkan terdiri atas berbagai-bagai suku dan ras, warna kulit dan bahasa, agar mereka mengalami hidup yang begitu indah, penuh warna.”

“Kami hamba-Mu, Tuhanku, telah bersaksi atas semuanya.”

“Itu juga masih belum seberapa. Kepada mereka juga Aku berikan agama untuk menjadi pedoman dalam mengelola hidup. Bayangkan, agama yang Aku berikan kepada mereka bukan cuma satu, tapi lima sekaligus, agar mereka bisa leluasa memilih mana yang lebih cocok dengan dirinya. Tapi apa yang terjadi?”

“Kami hamba-Mu, Tuhanku, tak sampai secuil yang kami tahu.”

“Alam yang begitu luas dan indah, yang begitu berlimpah menyimpan kekayaan, ternyata tak cuma ditelantarkan, tapi malah diacak-acak, dirusak, diperkosa dengan berbagai dalih dan cara. Dengan alam yang begitu kaya, polah mereka ternyata malah lebih busuk dibanding bangsa-bangsa yang Aku laparkan: saling merampok kekayaan antarsesama sampai kemudian mereka menjadi bangsa paling korup. Korup pada hidup!”

“Kami hanyalah hamba-Mu, Tuhanku.”

“Untuk apa mereka Aku takdirkan menjadi bangsa yang bersuku-suku dan berras-ras dengan beragam bahasanya? Agar ketika berdekatan mereka saling tergetar hatinya dan tersentuh jiwanya, sehingga muncul gairah untuk saling mengenal dan hidup bersama, saling mengisi, saling memberi. Juga saling mencintai. Bukankah itu keindahan hidup? Tapi apa lacur, justru takdir itu yang mereka jadikan alasan pembenar untuk saling mencincang, saling membunuh. Betapa dungunya mereka itu.”

Para malaikat membisu.

“Lalu apa yang kalian bilang tadi? Mereka adalah bangsa yang taat beragama? Sekarang Aku tanya, dengan cara apa mereka beragama? Dengan cara bagaimana mereka menyembah Tuhannya?”

Dan para malaikat masih terus membisu.

“Dengan cara memakainya sebagai topeng? Atau, malah dengan cara menjualnya? Mereka pikir kelima agama itu sebagai barang dagangan, bahkan sampai nama-Ku pun dijual ke mana-mana. Itu laknat!”

Para malaikat mulai merinding.

“Kalian tahu, sudah lama bangsa itu tidak pernah lagi menggunakan akal sehatnya. Jika sudah begitu, bagaimana mereka mau beragama dengan benar? Bagaimana mereka bisa mengagungkan Tuhannya? Kalian masih ingat hukum-hukum-Ku: apa yang membedakan manusia dari makhluk lain, binatang misalnya?”

“Kami hamba-Mu, Tuhanku, tak sebutir debu yang kami tahu.”

“Akal sehat! Sekali lagi, hanya akal sehat yang membuat mereka layak disebut sebagai manusia dan bahkan bisa mencapai derajat lebih tinggi dari kalian, para malaikat-Ku, jika mereka mampu menggunakan akal sehatnya dengan sempurna. Karena mereka tak lagi menggunakan akal sehatnya, maka mereka tak lagi layak disebut manusia. Bahkan, karena perilakunya telah lebih keji ketimbang binatang buas, mereka sekarang tak lebih baik dibanding iblis. Karena terikat dengan perjanjian, iblis tak akan Aku binasakan sampai hari akhir nanti. Belum saatnya. Tapi terhadap kaum manusia yang sudah seperti iblis, Aku harus segera memusnahkannya.”

“Kapankah laknat itu akan Tuhanku berikan?” salah satu malaikat memberanikan diri bertanya.

“Besok. Minggu pagi besok.”

“Tapi, Tuhanku, di sana ada seorang yang begitu suci dan begitu mencintai-Mu, sehingga kami yakin Engkau pun mencintainya. Tidakkah akan ada pengecualian?”

“Siapa dia?”

“Cut Mala, Tuhanku.”

“Ya, dia kekasih-Ku. Apa yang dia inginkan?”

“Hamba, Tuhanku. Dia selalu memohon agar dialah yang menanggung kutuk bangsanya seorang diri.”

“Kenapa begitu?”

“Hamba, Tuhanku. Sudah berbulan-bulan hamba menyertai perempuan suci itu. Dia tinggal di Serambi Mekah. Sepertinya dia sudah tahu bahwa Tuhanku akan segera melaknat bangsanya. Karena itu, setiap saat, terutama ketika semua orang sedang tidur lelap, dia selalu terjaga. Perempuan itu sudah seperti penjaga malam. Sepanjang malam dia terus bersujud, menangis, dan memohon. Pintanya cuma: jangan binasakan bangsa Indonesia, biar dia seorang diri yang menanggung laknatnya.”

“Ya, coba panggil dia ke sini.”

Sang malaikat pun tersentak. Kaget. “Dipanggil, Tuhanku? Seperti Engkau memanggil Muhammad?”

“Ya. Bukankah orang-orang suci juga akan seperti para nabinya?”

“Hamba abdi-Mu, Tuhanku, tak pernah mangkir dari perintah.”

Langit di Serambi Mekah masih jernih dan terang benderang. Bahkan, malah terlihat makin cerlang cemerlang dengan semakin banyaknya bintang gemintang yang bertaburan berebut ruang di angkasa raya. Rasanya rembulan pun tak kebagian tempat. Sementara itu, gelombang laut berayun dengan ritmis, begitu indahnya seperti tarian bidadari di bawah kilauan bintang-bintang. Dari sana angin masih berembus perlahan, tenang memeluki pepohonan. Dahan dan rantingnya juga saling melambai, saling memanggil. Berbagai binatang malam pun menghentikan nyanyiannya, lebih memilih menekuri malam yang terasa begitu agung.

Orang-orang masih terlelap dalam tidurnya yang begitu tenang, kecuali Cut Mala. Ia masih duduk bersimpuh, seperti berpuluh-puluh malam sebelumnya. Kedua matanya terpejam, dari ujung-ujung kelopakknya menetes butiran-butiran hangat. Sesekali tubuh ringkih perempuan berusia lebih dari sembilan puluh tahun itu menggigil.

“Cut Mala, mari, ikutlah dengan saya…”

Sapaan yang terdengar lembut itu mengagetkannya. Lalu, dengan tenang Cut Mala menoleh ke kanan. Matanya tak bisa menangkap bentuk bayangan itu. Tapi ia tetap menatapnya dengan tenang.

“Akan dibawa ke manakah saya?”

“Ke tempat yang Cut Mala inginkan.”

Dalam sekejap merekan pun melesat seperti kilat. Melintasi berpuluh-puluh gugusan bintang dengan kecepatan beribu-ribu kali cahaya. Mereka kemudian berhenti di sebuah tempat yang, bagi Cut Mala, sangat asing sekaligus begitu intim. Sejauh mata memandang ia tak menemukan batas, tak menjumpai bentuk.

“Di manakah saya?”

“Di hadapan Tuhanmu, Cut Mala,” jawab malaikat.

“Tuhanku, inilah diri yang hina dina,” Cut Mala langsung bersimpuh.

“Cut Mala, Aku akan menghancurkan negerimu. Tapi malaikat yang sudah berbulan-bulan menyertaimu melaporkan, katanya kamu selalu memohon untuk menanggung sendiri kutuk bangsamu.”

“Tuhanku, akan menjadi kehormatan bagi hamba jika permohonan itu dikabulkan.”

“Tapi itu tidak akan cukup, dan juga tidak akan dimengerti oleh bangsa yang sangat dungu itu.”

“Kutuk seperti apakah yang akan Tuhanku turunkan?”

“Seperti yang Aku lakukan kepada kaumnya Luth atau Nuh.”

“Duh Gusti, ampun Tuhanku, jika demikian halnya, biarlah Serambi Mekah saja yang menanggung segala kutuk itu. Kabulkanlah pinta hamba ini.”

“Kenapa harus Serambi Mekah? Bukankah itu juga rumah-Ku, yang tentu saja akan Aku selamatkan?”

“Agar pengorbanan Serambi Mekah tak sia-sia, Tuhanku. Sejak berabad-abad lampau, Tuhanku, seluruh hidup dan kekayaan masyarakat Serambi Mekah telah dedikasikan untuk berdirinya bangsa Indonesia. Jika bangsa ini Kau hancurkan, pengorbanan kami akan sia-sia. Bukankah sebenarnya kami pada mulanya memiliki hak untuk berdiri sendiri sebagai bangsa, sebagai negara? Tapi itu semua kami ikhlaskan. Malah, semuanya akhirnya kami abdikan untuk bangsa yang besar ini. Jika Indonesia Kau laknat seperti kaumnya Nuh, sungguh, pengorbanan kami akan sia-sia. Berilah kesempatan untuk yang terakhir kalinya, Tuhanku.”

“Kamu yakin, Cut Mala?”

“Tuhanku, seperti Engkau tahu, memang hanya kami, orang-orang Serambi Mekah, yang akan sanggup menanggung beban kutuk itu. Bukankah Kau telah menakdirkan kami sebagai kaum pejuang, sehingga sepanjang sejarahnya kami tak pernah takluk. Kami selalu sanggup lekas bangkit dari keterpurukan, dari kehancuran. Kami terbukti tak pernah bisa dilumpuhkan oleh bangsa mana pun yang datang untuk menjajah atau menindas. Hidup kami adalah perjuangan itu sendiri, meskipun kami belum pernah menikmati hasilnya. Bukankah surga-Mu sekarang ini telah banyak dihuni oleh para pejuang Serambi Mekah? Karena itu, Tuhanku, berikanlah kesempatan terakhir. Jangan Kau binasakan bangsaku ini.”

“Ya, kalau begitu permintaanmu Aku kabulkan. Minggu pagi besok Serambi Mekah, yang juga rumah-Ku itu, akan Aku tenggelamkan. Dan kau, Cut Mala, tinggalah di sini agar terhindar dari kutuk itu.”

“Ampun, Tuhanku, tidak. Hamba harus kembali ke Serambi Mekah. Hamba juga ingin menjadi syahid, menjadi penghuni surga-Mu.”

Kemudian Tuhan memerintahkan malaikat mengantar kembali Cut Mala ke Serambi Mekah, dan menyuruh malaikat yang lain menyiapkan tempat khusus di surga buat perempuan suci itu dan orang-orang yang akan menjadi syahid. Sesampai di rumah, malam sudah begitu tua, sudah sampai pada garis pungkasnya. Cut Mala terus berjaga, khusyuk di kamarnya. Tanpa menanggalkan mukenanya, Cut Mala langsung bersimpuh, luruh dalam kesyahduan batinnya.

Di ujung malam itu, langit di atas Serambi Mekah belum berubah. Masih terang benderang. Bintang-bintang masih berkilauan memenuhi angkasanya. Gelombang lautnya masih seperti tarian dewi malam. Desir anginnya masih merdu mendayu, membuat dedaunan bergoyang tenang. Beragam binatang malam masih dengan takzim menekuri penghabisan malam.

Tapi tak lama kemudian, seperti yang dipinta Cut Mala, bah itu datang menerjang. Ketika orang-orang sudah terbangun dari tidurnya dan memulai menikmati hari liburnya, ayunan gelombang yang malam sebelumnya begitu indah seperti tarian ritmis seorang dewi tiba-tiba meraksasa, menjulang tinggi, bergulung-gulung dengan suaranya yang gemuruh menggelegar, dan tumpah seketika. Laut seperti dibalik. Dalam sekejap Serambi Mekah luluh-lantak jadi reruntuk. Ratusan ribu mayat bergelimpangan, berserakan di mana-mana. Serambi Mekah terendam amis darah. Darah mereka yang kemudian hidup abadi di surga. Seperti sebait sajak yang pernah ditulis salah seorang pejuangnya, Teungku Cik Pante Kulu:

Mati syahid sakit tiada
Sama seperti mengerat kuku
Jangan katakan mati mereka
Mujahid abid hidup selalu

Dan aku pun cemburu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan