Santri dan sarung bagai dua sisi mata uang, bagai burung dan paruhnya, bagai Jumatan dan sendalnya, hehe tak terpisahkan. Di mana santri berjalan, di situ sarung dijinjing.
Begitulah kurang lebih chemistry yang terbangun antara santri dan sarung, serta mindset masyarakat soal sarung. Selain dianggap mewakili identitas, sarung juga dinilai punya efisiensi pemakaian yang lebih komplet. Ramah di segala kondisi, dan multifungsi. Bisa untuk salat, bisa untuk mengaji, bahkan bisa untuk dipakai nongkrong di mal, bagi yang punya rai gedheg (tak tahu malu).
Namun, penempatan sarung sebagai fashion kasta tertinggi kaum santri kiranya perlu dipikirkan kembali matang-matang. Sebab, sarung pada dasarnya adalah produk budaya yang punya nilai lokalitas. Dalam skala nasional, mungkin sarung masih memungkinkan mendapat pemakluman masyarakat bila nampak di tempat-tempat yang tak lazim. Namun, jika sudah melangkah ke ranah internasional, ayolah… dipikirke lagi ha-ha-ha.
Cerita ini adalah kejadian yang dialami penulis sewaktu mendapat kesempatan untuk mencicipi rasanya studi di Timur Tengah tiga tahun yang lalu. Kala itu penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti program student mobility exchange ke Fakultas Tarbiyah Ain Shams University Kairo, Mesir. Bersama rekan-rekan dari beberapa kampus terkemuka di Indonesia. Memang dasarnya santri, di koper ada tiga buah sarung terlipat yang sudah siap bungkus dan dibawa ke negeri kinanah itu. Kesalahannya adalah, penulis tidak pernah kepikiran untuk googling soal budaya, adat, dan aturan-aturan tak tertulis di Mesir.
Sesampainya di Mesir, beberapa hari setelahnya adalah hari Jumat. Tentu sebagai muslim wajib melaksanakan salat Jumat. Setelah mandi dan ganti pakaian, penulis bergegas hendak berangkat ke masjid dekat apartemen. Tiba-tiba, seorang teman menyahut agak keras, “Lum, mau ke mana?” katanya sambil mengenakan gamis khas Timur Tengah.
Tulisannya keren, cukup sederhana tapi renyah dibaca