Narasi Kritis Dunia Santri

1,463 kali dibaca

Berliterasi di duniasantri.co merupakan berkah tersendiri bagi saya. Ada banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui, kemudian menjadi pelajaran dan pengajaran di laman para santri ini. Literasi yang dikembangkan di duniasantri.co memuat ragam bahasan dan persoalan. Tentu hal ini semakin memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi saya untuk berkarya dalam narasi logika yang diinginkan.

Hingga 29 Juli 2022, jam 17.00 WIB, karya saya yang termuat sebanyak 232 dari berbagai genre. Mulai dari opini, puisi, sosok, bintang, hingga teras. Sementara, naskah yang pending sebanyak 115 judul, juga dari berbagai macam naskah. Belum lagi beberapa naskah yang saya hapus karena sudah terlalu lama dan dirasa tidak mungkin untuk dimuat menurut pertimbangan admin platform ini.

Advertisements

Bekerja sama dengan duniasantri.co dalam berliterasi serasa mendapat angin segar. Hal ini dikarenakan kita diberi keleluasaan sekaligus keluasan untuk menulis, menuangkan gagasan sesuai dengan bidang yang kita kehendaki. Tentu saja, karena platform ini berasas kepesantrenan, maka telaah materi naskah tidak boleh bertentangan dengan prinsip pesantren secara khsusus, dan kaidah Islam secara umum.

Apakah duniasantri.co tidak memiliki celah kekurangan untuk dikritik demi perbaikan? Tentu saja kesempurnaan itu hanya milik Allah swt. Sedangkan, makhluk pastinya memiliki kekurangan yang perlu dikritisi dan diperbaiki. Termasuk juga duniasantri.co, meskipun saya merasa sulit untuk menemukan “retak”, tetapi “gading” itu tetaplah benda yang pada akhirnya bisa retak juga.

Tegas Bermartabat

Salah satu karakter admin duniasantri.co adalah tegas bermartabat. Artinya, persoalan etik literasi dijadikan dasar utama untuk membangun nilai-nilai akhlak. Admin duniasantri.co tidak akan menoleransi penulis yang plagiat, plagiarism writer. Karena, plagiator adalah penulis yang telah menabur konsep “kizib-dusta” di dalam dunia santri yang seharusnya mengedepankan “shidiq-jujur.” Maka tidak akan mendapat ruang gerak kebebasan bagi plagiator di web kesantrian ini.

Ketegasan admin duniasantri.co tidak sebatas plagiarisme semata. Penulis yang memuat karya di dua platform yang berbeda juga akan mendapatkan “medali hitam.” Karena hal demikian telah menjadi kesepakatan umum sebagai bagian dari niretik dalam konsep literasi di berbagai media. Berbeda jika penulis menyebutkan sebagai catatan bahwa tulisan ini dimuat di laman tertentu. Hal ini tidak dipandang sebagai sebuah kefatalan dalam kaidah kepenulisan.

Selain tegas dalam hal aturan kepenulisan, duniasantri.co juga tegas dalam terma materi yang dijadikan bahasan. Hal ini karena santri atau pemerhati kesantrian telah dibekali dengan nilai yang jelas berdasar pada dalil Al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu, dalam setiap pembahasan (opini) selalu berdasarkan pada dasar yang jelas, valid, dan dapat dipertanggung-jawabkan. Tentu saja hal ini jika terkait dengan ushuliyah, sedangkan terkait dengan furuiyah di sini akan tetap terjadi beda pandangan. Hanya saja kita harus tetap saling menghargai dan menghormati terhadap perbedaan.

Bahasa ala Santri

Di duniasantri.co tidak ada narasi yang kasar, keras, atau narasi-narasi anarkis. Tentu hal ini sangat dimaklumi, bahwa karakter santri dibentuk dengan akhlak yang baik. Di sini terasa, pengamalan terhadap Hadis “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak,” tidak saja dalam hal ucapan dan tingkah laku, akan tetapi pada narasi literasi dirasa sangat berpengaruh.

Kalimat naratif yang dibangun di media ini begitu santun dan beradab. Akan tetapi bukan tidak boleh tegas dan bersikap tekstual-eksplisit, karena santri adalah panutan bagi masyarakat sekitar dari segala sikap dan tingkah laku. Bukan tidak mungkin jika kemudian menjadi kekhasan tersendiri, di dalam narasi kritis sekalipun masih menggunakan bahasa-bahasa yang “klimis-eksplisit” (baca: santun, beradab).

Jika saya cermati, di duniasantri.co tidak ada opini yang cenderung “keras-kasar” dalam menanggapi berbagai persoalan di tengah kehidupan. Karena hal itu merupakan pokok konsep dalam dakwah, yaitu hikmah, nasihat yang baik, dan diskusi yang bijak. Konsep ini yang ditanamkan dalam benak santri berdasarkan pada konsep Al-Quran yang jelas dan tegas. Maka jika kemudian ada penulis yang nalar literasi kritis-eksplisit (bahasa kasar, berani?) maka hal itu termasuk penulis yang memiliki keberanian di atas rata-rata.

Ketika saya belajar di pesantren, ada sebuah pepatah yang diungkapkan oleh seorang guru, “Berotak Jerman dan berhati Mekkah.” Ungkapkan ini menjelaskan bahwa kita harus memiliki kecerdasan dalam logika kehidupan. Akan tetapi, seberapa pandai pikiran yang kita punya, karakter kita harus tetap mengarah ke konsep Islam (Mekkah). Etika harus tetap didahulukan, karena nilai etik menjadi peradaban kehidupan yang paling diutamakan.

Begitu juga dengan narasi-narasi di laman duniasantri.co. Setiap kata, kalimat yang termaktub dalam naskah seharusnya, dan memang demikian selama ini, mengedepankan kalimat-kalimat yang sejuk dan bermarwah, dalam bahasa agama disebut “kalimatun sawa’,” yaitu kalimat-kalimat yang baik dan bijak. Kesan ini yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan web tercinta ini.

Kritis Konstruktif? 

Melulu anarkisme dan khilafah? Dalam hal ini bisa menjadi perdebatan dan beda pandangan. Tetapi debat itu bukan sesuatu yang dilarang, bahkan di dalam konsep Islam, debat (mujadalah hasanah) adalah bagian strategi dakwah yang tidak boleh pandang sebelah mata. Terkait dengan anarkisme dan khilafah, seringkali saya menemukan opini terkait dengan sikap ini. Atau mungkin hanya perasaan saya saja? Bahkan, pernah terbersit dalam pikiran saya, “Jika ingin dimuat di duniasantri.co, tulislah bahasan terkait dengan khilafah, HTI, dan teman-temannya.”

Apakah narasi terkait dengan anarkisme jelek? Tentu jawabannya adalah “tidak.” Namun, segala hal yang terkesan “melulu,” berkesesuaian dengan “selalu” akan berdampak membosankan dan kurang bergairah. Tetapi, perasaan saya dalam hal ini tidak sampai melampaui batas. Masih dalam kewajaran dan tidak berlebihan. Hanya, jika dibiarkan mengalir —hanya dan hanya saja— ke satu sisi muara, maka akan terjadi limpahan yang tidak terbendung. Hal seperti ini, menurut saya, harus diantisipasi agar tetap dalam koridor kewajaran dan kebaikan.

Ketegasan memang diperlukan dalam hal narasi berkesesuaian dengan etik literasi. Selain narasi itu sendiri yang dibuat aturan, juga teknis bernarasi yang sesuai dengan etik berkarya tulis. Tidak jarang di duniasantri.co terjadi pengiriman karya kepada dua atau lebih media sekaligus. Hal ini tentu telah melanggar kode etik kepenulisan yang seharusnya sudah diketahui secara umum. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa di antara penulis, khususnya penulis pemula masih belum paham terhadap kode etik ini. Lebih-lebih lagi di laman tercinta ini tidak ada catatan pedoman yang bisa dibaca langsung saat seseorang mengakses duniasantri.co.

Mencermati dan menanggapi persoalan tersebut, rekomendasi saya agar tim redaksi duniasantri.co memuat menu tata cara menulis di platform ini dengan jelas dan terang benderang. Sehingga pada saat penulis ingin berkontribusi, sudah membaca aturan yang harus dipenuhi.

Peristiwa yang baru-baru saja terjadi, adanya kontributor yang submit tulisan dengan menggunakan dua akun. Anehnya lagi akun yang digunakan memiliki nama yang berbeda. Kok bisa ya? Jika hal ini menyebabkan kontributor ini dalam blacklist adalah sah-sah saja. Namun, seharusnya kita juga mesti meminta penjelasan, jangan-jangan karena ketidaktahuannya, ia membuat dua akun dengan nama yang berbeda. Hal ini juga perlu diberi edukasi bahwa hal yang demikian tidak boleh dan menjadi cela dalam dunia literasi. Bukan kemudian dilegitimasi sebagai penulis cacat dan biadab. Karena salah satu tujuan dari literasi adalah memberikan edukasi.

Di grup WA Dunia Santri “Gerakan Santri Menulis” pernah menjadi perbincangan terkait dengan “tanggal” rilis submit dan disetujui untuk direalisasikan. Tetapi hingga saat tulisan ini dibuat, hal tersebut masih belum nampak di bagian pending naskah. Saya memahami bahwa hal tersebut tidak mudah dan tidak gampang. Mungkin memerlukan waktu yang tidak sedikit. Mengapa tanggal itu penting? Karena mudah melihat apakah artikel yang saya submit sudah kedaluwarsa atau belum. Kemudahan bagi kontributor untuk menarik naskah, mengeditnya kemudian mengirimkan kembali ke duniasantri.co atau mengirimkannya ke media lain.

Belakangan pernah dibahas oleh tim redaksi duniasantri.co bahwa kontributor mencapai lebih dari 1.000 person. Hal ini semakin menjadikan kesibukan tersendiri bagi para redaktur. Termasuk teknis seleksi naskah yang memerlukan waktu semakin banyak. Maka kemudian diputuskan deadline naskah menjadi 2 bulan yang sebelumnya 1 bulan. Bagi yang kebetulan mengikuti (membaca) catatan ini tidak jadi masalah. Tetapi bagi kontributor yang tidak sempat membaca, dengan berbagai hal dan alasannya, tentu tidak akan mengerti dan mengetahui.

Hal yang sebenarnya saya inginkan terkait dengan batasan waktu out of date suatu naskah adalah kurang dari 1 bulan. Misalnya 2 atau bahkan 1 minggu saja. Bisa gak ya? Tetapi, mengingat banyaknya naskah dan terbatasnya admin duniasantri.co sebagai editor, hal yang semacam ini sulit untuk direalisasikan. Mengapa saya berharap lebih cepat? Karena dengan demikian bagi naskah yang tidak dimuat berkesempatan lebih cepat untuk diedit atau dikirimkan ke media lain.

Maka diperlukan terobosan baru agar hal-hal kebaruan dalam duniasantri.co dapat diakses (mudah) di halaman depan (home) laman ini. So sorry, saya sekadar usul, karena saya tidak paham bagaimana kondisi real di lapangan dalam membangun platform yang kredibel, legitimasi, aksesibilitas, akuntabel, ramah, sejuk dipandang, dan mudah dijangkau. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

One Reply to “Narasi Kritis Dunia Santri”

Tinggalkan Balasan