Nangka Sadugel dan Santri Terbang

4,328 kali dibaca

Madun adalah seorang santri yang lama mengabdi kepada kiai, menjadi khadam. Kini dia sudah alumni dan sudah lama hidup bermasyarakat. Kegiatan yang dia jalani setiap harinya adalah membantu orang tuanya mengelola sawah alias bertani.

Pada suatu hari dia ingin berkunjung kepada pesantrennya. Sebab dia sudah sangat lama tidak main ke pesantrennya. Saat itulah muncul dalam pikirannya seraya bergumam dalam hati, “Nanti kalau saya ke sana bawa oleh-oleh apa ya kepada kiai?”

Advertisements

Kebetulan waktu itu dia memiliki buah nangka yang sudah masak dan layak dikonsumsi, tetapi sudah tinggal sadugel alias separo karena sebagian telah dimakan oleh keluarganya.

Dengan keinginan yang sangat kuat diselimuti rasa rindu kepada pesantren dan kiai yang mendidiknya, akhirnya berangkatlah dia ke pesantren dengan berjalan kaki. Singkat cerita, setelah sampai di pesantrennya, dia langsung menuju ke dhalem (rumah) kiainya. Terjadilah pertemuan di antara madun dan kiainya.

“Kamu siapa?” tanya kiai seakan lupa dengan santrinya karena memang sudah sangat lama sekali madun tidak bersua dengannya.

“Saya Madun, Kiai.”

“Oh, kamu, Dun, lama sekali kamu tak pernah ke sini, ke mana saja kamu?”

“Saya membantu orang tua, Kiai, ngurus sawah.”

“Oh ya, ada perlu apa, Dun?”

“Saya ke sini, pertama silaturrahim, Kiai. Kedua, saya mohon doa barokah kiai agar hidup saya tenteram dan segera menikah. Ketiga saya minta amal-amalan untuk jaga-jaga.”

“Iya-iya-iya. Kamu bawa apa itu kok dibungkus?”

“Oh… ini buat nangka untuk Kiai dan Ibu Nyai, tapi maaf, Kiai, hanya sadugel.”

“Bawa nangka separo minta amalan,” Kiai bergumam. “Oh ya, kamu tadi mau minta amalan ya?”

“Iya, Kiai.”

Secara spontan, Kiai berucap, “Baca saja ‘Bismillah Nangka Sadugel’. Baca saja kalau kamu sedang kekepet atau ada hajat apa pun, pasti dikabul sama Allah.”

Sebenarnya Kiai bermaksud bercanda karena oleh-oleh yang kebetulan dibawa Madun adalah nangka sadugel itu.

“Terima kasih, Kiai, amalannya. Saya akan amalkan ketika punya hajat,” jawab Madun dengan naba serius.

Setelah perbincangan selesai, Madun pamit dan berjalan keluar menuju kamar yang dulu dia pernah tempati bersama teman-temannya yang semasa dengannya. Setelah selesai melepas rindu, akhrnya Madun memutuskan untuk pulang.

Di tengah perjalanan, tepatnya di pinggir sungai menuju rumahnya, terjadilah banjir besar sehingga dia tidak bisa menyebarang, sementara hari sudah mulai gelap. Dia panik dan kehabisan akal, tak bisa berpikir bagaimana caranya agar dia bisa menyeberangi sungai dan segera sampai di rumah.

Lalu dalam kepanikan itu, dia ingat pada amalan yang baru saja diberikan kiainya. Dengan penuh keyakinan yang kuat kepada Allah dengan dawuh kiainya, akhirnya dia duduk bersila menengadahkan tangan sambil membaca “Bismillah Nangka Sadugel”. Mantra itu diulang-ulang sebanyak-banyaknya. Sekian lama duduk sambil membaca, akhirnya dia memberanikan diri untuk bangun dengan mata terpejam.

Sambil terus membaca amalan dari kiainya, dia berjalan menuju aliran banjir yang tak kunjung surut. Dan, subhanallah…sungguh keanehan luar biasa terjadi pada Madun. Dia bisa berjalan di atas air dan bisa sampai di rumah dengan selamat.

Akhirnya cerita itu masyhur dan Madun terkenal sebab kala itu kejadian aneh tersebut juga disaksikan banyak orang.

Selang beberapa bulan kemudian, Madun akhirnya menemukan pujaan hatinya dan berniat segera menikahinya. Akhirnya waktu dan hari pernikahannya sudah ditentukan. Namun, sebelum hari yang bahagia itu tiba, dia ingin mengundang kiainya untuk hadir memberikan doa barokah kepadanya di hari pernikahannya nanti.

Lagi, dia pergi ke pesantren bermaksud mengundang kiai dan ibu nyai untuk hadir di acara pernikahannya. Dalam pertemuan tersebut terjadilah percakapan ini:

“Ada perlu apalagi kamu, Dun?”

“Saya ke sini, yang pertama niat silaturrahim. Kedua saya berniat mengundang kiai beserta ibu nyai untuk hadir dalam acara pernikahan saya.”

“Oh ya, kapan?”
“Bulan depan, Kiai, ” Madun menyampaikan hari dan tanggalnya.

“Iya, insyallah saya bersama bu nyai akan hadir ke rumahmu kalau tidak ada udur. Oh ya, saya dengar kamu hebat bisa berjalan di atas air. Apa benar kabar itu dan apa amalan yang kau baca?”

“Iya, benar, Kiai. Amalan yang diberikan Kiai waktu saya sowan ke sini dulu itu yang saya amalkan.”

“Amalan apa memangnya?” Kiai rupanya lupa.

“Itu, Kiai… waktu pertama kali saya ke sini dan saya minta amal-amalan untuk jaga-jaga.”

“Yang mana, Dun?” Kiai makin penasaran.

“Itu, Kiai, yang bacaannya ‘Bismillah Nangka Sadugel’ itu.”

“Ohhh… itu toh. Sekarang aku baru ingat,” sahut Kiai.

Pertemuan pun selesai dan Madun pulang.

Sepulangnya Madun dari pesantren, Kiai mencoba amalan yang dibaca oleh Madun sehingga menjadi hebat bisa berjalan di atas air. Sebab, dalam hati Kiai merasa malu kalau dirinya tidak sehabat muridnya. Pada malam harinya, Kiai menuju kamar mandi sambil membaca alaman yang pernah diberikan kepada Madun.

Sesampainya di kamar mandi, pintu di tutup, dan Kiai akhirnya naik ke bak mandi sambil membaca “Bismillah Nangka Sadugel” berulang-ulang kemudian melompat ke dalam bak mandi. Apa yang terjadi? Kiai tercebur dan basah kuyub karena tidak bisa berjalan di atas air.

Karena gagal, Kiai berusaha mencoba lagi, namun kali ini tetap gagal. Akhirnya, pada percobaan yang ketiga kalinya, dilihat sama Ibu Nyai dan terjadilah percakapan.

“Pak, ngapain malam-malam mandi pakai jebur segala, apa tidak dingin?”

Dengan wajah malu, Kiai berkata, “Nggak, nggak ngapa-ngapain, cuma iseng saja, coba-coba jebur boleh, kan, bu?”

“Ada-ada saja bapak ini, kayak anak kecil saja, he-he-he…”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan