Nalar Aktivisme NU dalam Merawat Tradisi Ngaji ala Pesantren

1,685 kali dibaca

Diskursus mengenai pergerakan Nahdlatul Ulama (NU) tidak boleh dilepaskan dari perannya dalam melestarikan tradisi pesantren. Kealpaan memisahkan dua hal tersebut yang kemudian membuat sebagian pihak seringkali sulit memahami manuver NU ataupun tokoh-tokohnya.

Namun, bagi saya, kesukaran memahami langkah strategis NU itu tidak lain muncul karena salah mengambil sudut pandang atau memang tak mengerti inti perjuangan organisasi Islam terbesar di dunia ini. Padahal nalarnya sederhana saja. Bahwa NU hadir untuk merawat tradisi ngaji ala pesantren. Itulah akar aktivisme NU dalam semua ragam bentuknya.

Advertisements

Gagasan ini mungkin tampak klise, tapi nyatanya masih banyak yang belum mengerti betul implementasinya, mulai dari kalangan akar rumput hingga elite intelektual sekalipun. Oleh karena itu, perlu sekiranya saya uraikan lebih jauh bagaimana tradisi ngaji menjadi motif utama gerakan NU.

Tentu bukan tanpa alasan saya mengutarakan hal ini sekarang. Segera setelah Muktamar NU ke-34 di Lampung usai dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode 2021-2016, pikiran saya langsung berimajinasi jauh ke masa depan. Dinamika NU di kepengurusan yang baru ini saya prediksi akan memunculkan kejutan-kejutan baru yang pantas untuk dinanti. Maka uraian ini penting untuk mempersiapkan mental dan pikiran kita.

Jamak kita tahu bahwa Gus Yahya adalah Kiai yang “goes international”. Beliau telah melawat berbagai tokoh dunia di berbagai negara. Bahkan dari serangkaian lawatan itu, kehadiran Gus Yahya memenuhi undangan Israel di Yerussalem sempat menuai kontroversi yang cukup besar. Namun jika kita perhatikan bukan hanya Gus Yahya yang tindakannya menimbulkan banyak pertentangan. Tokoh-tokoh NU lain ternyata juga seringkali mendapat respons serupa.

KH Said Aqiel Siradj (Kiai Said), Ketua Umum PBNU sebelumnya, telah masyhur dengan pernyataan dan gagasannya kerap kali mendapatkan perlawanan dari banyak pihak, bahkan tak jarang perlawanan itu datang dari internal NU sendiri. Keputusan Kiai Ma’ruf Amin untuk maju sebagai Wakil Presiden RI juga menerima banyak kritik. Belum lagi ide-ide Gus Dur, guru Kiai Said sekaligus Gus Yahya, ini sudah kita ketahui bersama mendobrak banyak sekali gagasan-gagasan keagamaan usang yang sering membuat banyak pihak gusar. Dahulu kala NU bentrok dengan kelompok Islamis termasuk saat memutuskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi di era Soeharto.

Atas semua kontroversi itu, NU kerap dituduh melenceng dari Islam, oportunis, atau tuduhan-tuduhan yang tidak mengenakkan lainnya. Namun sekali lagi, baik dahulu atau insyaallah di masa depan, langkah-langkah para kiai kita sebenarnya bisa dinalar berakar dari dua tujuan:

Pertama, adalah nalar menjaga tradisi ngaji ala pesantren. Ini merupakan hal mendasar yang membedakan antara NU dengan organisasi Islam yang lain. Seperti namanya Nahdlatul Ulama, intisari keberkahan jam’iyyah ini terletak pada kaderisasi ulama yang secara konsisten di-lakoni oleh para Kiai dan santri-santrinya. Tradisi ngaji di mana sang guru mendedarkan secara detail makna lafaz per lafaz dalam kitab dan disimak dengan khusyuk dan khudu’ oleh santrinya itu yang berusaha dilindungi oleh NU dari masa ke masa, sampai menjelang kiamat tiba.

Jika menilik melalui kacamata ini sekiranya kita bisa paham, misalnya mengapa NU memutuskan menelurkan ide Islam Nusantara. Penggunaan diksi “Nusantara” menurut saya bukan hanya merujuk pada uapaya melestarikan keberagaman budaya bangsa kita yang begitu kaya, tetapi juga menyimpan tradisi ngaji di berbagai perkampungan di Inonesia yang begitu inklusif. Fenomena ini secara gamblang ditulis Gus Yahya dalam bukunya “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama”:

Di Nusantara, pendidikan adalah sebuah “praktik populis”; ia diselenggarakan sendiri oleh rakyat, yang berada di kampung-kampung. Tidak ada pendidikan yang begitu meluas seperti pesantren di Nusantara…. Di kampung-kampung Nusantara, para kiai mengajar para santri sampai ke tingkat ilmu yang tinggi.” (Hal. 23)

Bagi pembaca yang pernah mencicipi pendidikan di pesantren salaf tentu tahu betul bahwa yang diucapkan Gus Yahya tersebut adalah kenyataan. Di pesantren-pesantren salaf NU, semua orang dari semua kelas sosial ekonomi punya kesempatan untuk menyelami ilmu-ilmu Islam yang dalam. Para kiai tidak dibayar sepeserpun untuk mengajar. Jika ada biaya yang dikeluarkan santri tidak lain merupakan biaya administrasi yang besarannya amat kecil jika dibandingkan institusi pendidikan formal. Namun meski begitu kualitas pendidikan dan lulusan pesantren tidak kalah dengan lulusan universitas formal.

Dari sini kita lalu bisa memahami mengapa terkadang NU terlihat mengambil sikap-sikap kompromi bahkan sesekali terkesan oportunis dalam berbagai hal alih-alih memperjuangkan serupa utopia negara Islam yang sempurna sebagaimana digaungkan oleh kelompok-kelompok Islamis. Kini kita bisa melihat sedikit demi sedikit buahnya dan membandingkannya dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, misalnya. Sekarang bahkan negara kita sudah mempunyai Undang-Undang Pesantren dan lulusan pesantren pun semakin diakui kesetaraannya secara formal dengan lulusan institusi pendidikan yang lain. Berkah darimana semua ini kalau bukan dari perjuangan taktis tokoh-tokoh NU?

Bayangkan saja kalau misalnya NU ikut-ikutan memberontak untuk mendirikan Daulah Islamiyyah atau nekat menolak kebijakan asas tunggal Pancasila dan melawan rezim Soeharto, masihkah pesantren-pesantren kita bisa dengan nyaman melangsungkan tradisi ngaji yang begitu mulia itu sekarang?

Kedua, setelah tradisi ngaji berhasil dilestarikan, nalar selanjutnya adalah mengisi peran-peran strategis dengan orang-orang yang bisa ngaji. Bukankah ilmu itu harus diamalkan? Dan pengamalan ilmu tentunya tidak melulu dengan menjadi kiai atau ustaz. Toh, tidak mungkin pula semua santri itu jadi kiai. Sebagian pulang meneruskan bertani, sebagian berdagang dan berbisnis, sebagian melanjutkan pendidikan formal, sebagian jadi PNS, sebagian lain berpolitik. Namun karena mereka santri, mereka akan jadi petani yang bisa ngaji sehingga tahu hukum-hukum zakat pertanian, pedagang yang tahu hukum halal-haram dalam muamalah, akademisi yang memahami konsep ketuhanan, karyawan yang amanah, dan politisi yang adil.

Kalau sudah paham hal ini, betapa mudahnya untuk tidak suuzhon lalu menuduh langkah-langkah para alim ulama kita sebagai upaya mencari keuntungan dunia semata. Niscaya jadi masuk akal betul alasan Kiai Ma’ruf Amin maju sebagai Wakil Presiden RI, karena akhirnya kita punya wakil presiden yang bisa ngaji. Maklum sekali Gus Yasin mau menyalonkan diri jadi Wakil Gubernur Jawa Tengah. Kita juga bisa mengerti alasan Gus Dur, yang lalu dilanjutkan Gus Yahya, melawat ke sana-sini menemui tokoh-tokoh dunia di forum-forum internasional, termasuk ke Israel menemui tokoh-tokoh Zionis. Karena siapa lagi yang mau menyampaikan suara santri, suara orang-orang yang ngaji, yang mendalami Islam ala Ahlussunnah wal-Jamaah dengan sanad sahih, ke hadapan dunia kalau bukan santri itu sendiri?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan