Musala Kiai Misbach

1,057 kali dibaca

Embusan angin perlahan-lahan mulai terasa. Cahaya purnama mulai memancar lagi usai ditelan awan. Sesekali sang purnama pun sirnalah lagi diadang cemara atau bahkan ilalang. Angin pun bergerak ke arah sang surya terbit, seakan menggiring pulang para jemaah salat isya. Suara gesekan kaki dengan sendal mengiringi kepulangan jemaah.

“Tempat ini untuk ibadah. Jangan untuk gurauan atau keduiawian,” nasihat Gus Fadil, putra Kiai Misbach yang disampaikan tadi di antara maghrib dan isya.

Advertisements

Gus Fadil lantas bercerita bahwa tempat ibadah harus punya ruh dan dijaga kesuciannya. Pantang untuk gurauan, tempat bermain anak-anak kecil, politik, atau jagongan hal-hal yang bersifat duniawi. Tempat itu juga harus suci dan bersih; baik tempat, badan, hingga hati para warga yang datang.

Malam itu sama dengan malam-malam berikutnya. Musala benar-benar penuh sesak dengan jemaah. Tak peduli tua-muda, miskin-kaya, laki-perempuan tidak bisa meninggalkan salat berjamaah. Musala satu-satunya di dusun kecil itu semakin ramai.

Itulah yang menjadi muasal mengapa musala kecil peninggalan Kiai Misbach ini merasa perlu untuk direnovasi total karena jemaah banyak berjejal. Dan harus diatasi dengan segera agar seluruh warga memperoleh hak beribadah di musala. Waktu itu, perekonomian warga pun lagi bagus-bagusnya. Tanaman jagung tumbuh, sayuran tumbuh, pedagang laku di pasaran, ternak-ternak mereka beranak pinak, apalagi para pegawai selalu naik gaji. Kotak amal seolah pingsan menerima sumbangan hingga dibuatkan rekening bank.

Renovasi besar-besaran pun dimulai. Sumbangan berdatangan tanpa perlu proposal, imbauan, maupun pengumuman. Panitia renovasi musala sampai kewalahan mempergunakannya. Dalam waktu enam bulan, musala sudah berdiri megah dan sangat indah. Lengkap dengan mimbar, puluhan mushaf Quran, tempat wudlu, toilet, taman, AC, karpet beludru, parkir kendaraan, mic dan amplifier masa kini. Mungkin, lebih tepatnya dinamakan masjid jami’ tingkat kecamatan karena mampu menampung ratusan jamaah. Tapi, warga tetap menamai Musala Kiai Misbach.

Seluruh perangkat desa, Pak Kades, Pak Camat, Pak Kapolsek, dan jajaran Muspika datang pada acara peresmian sekaligus pengajian yang mendatangkan dai kondang. Semua tampak berbahagia, terkecuali Gus Fadil, penasihat, imam, sekaligus putra Kiai Misbach yang wajahnya datar-datar saja.

***

Itu semua cerita tiga tahun lalu. Lahan seluas seperlima hektare ini terasa bagai kuburan. Griya suci ini sudah tak sehiruk dulu lagi. Ramadan kemarin pun tak penuh oleh jemaah. Selain karena Covid-19, ya memang tidak ada ikhtiar kuat dari penduduk sekitar. Mereka kerap berlalu lalang di jalanan, ke warung, ke sawah, ke pasar dengan rutinitas yang hampir sama seperti biasa.

Semilir angin mulai terasa di telinga lagi. Kutatap lagi Kang Basori, merbot sekaligus mantan santri kalong Kiai Misbach dulu. Ada kegalauan yang begitu dalam tampaknya. Bukan masalah hujan yang tak kunjung datang, hasil sawah ladang yang berkurang, atau anak yang bingung mengikuti sekolah online. Akan tetapi masalah yang jauh lebih dari itu.

“Kamu sudah mulai merasakan akhir-akhir ini bagaimana kondisi musala kita ini?” tanya Kang Basori memulai diskusi.

“Musala kita ini besar, megah, dan sangat nyaman; dingin dan tidak berdesak-desakan. Namun sekarang, sudah berbalik arah. Hanya kita, Gus Fadil, dan beberapa orang saja yang terlihat. Hanya satu saf saja.” tambah Kang Basori.

“Masyarakat memang sudah mulai kurang iman, kurang syukur. Sedikit sekali suara dzikir, khataman, atau sholawatan,” ucap Kang Rahmat.

“Sudahlah, kita bakar saja musala ini!” tetiba Gus Fadil yang datang dari arah belakang berkata demikian, lalu berlalu begitu saja.

Kami bertiga pun akhirnya terdiam. Semakin sunyi lagi musala ini. Dalam hati, kami tidak akan menumpahkan lagi kegusaran kami tentang musala ini. Kalau pun terpaksa harus berbagi cerita, mungkin sebaiknya di luaran sana. Kami pun mencari tempat masing-masing untuk tidur di musala itu.

***
Bau menyengat mulai menyeruak dari dalam musala. Kami berusaha mencari sumber bau. Kami berpencar agar segera menemukan muasal bau itu. Ya, di belakang musala. Seseorang telah mengalirkan minyak tanah di beberapa penjuru musala. Di dekat pagar, sudah tergambar obor yang menyala-nyala.

“Minyak sebanyak itu disebarkan di seluruh musala dan bahkan obor sudah menyala. Kelakuan siapa ini?” Kang Basori berteriak begitu lantangnya.

“Keluar kau bedebah. Terlaknat kau!” teriakan Kang rahmat menimpali.

“Tidak ada gunanya lagi mempertahankan apa yang tidak memungkinkan lagi. Biarlah tempat ini mati daripada semakin sunyi!” ucap lelaki berpenutup kepala yang hendak membakar musala.

“Siapa kamu laki-laki berpenutup kepala itu?” dengan garang Kang Basori menantang.

Tiba-tiba, lelaki itu menunjukkan wajahnya. Hati kami seolah tak bisa menerima. Orang yang selama ini mereka percaya hendak memusnahkan tempat yang telah ia bangun dengan keringatnya sendiri. Gila atau hilang akal itulah yang dipikirkan mereka. Tapi yang jelas musala sedang dalam bahaya. Siaga 1.

“Kau tidak perlu mengajariku apa yang benar dan yang salah. Siapa kamu hingga berani melawanku?” ujar Gus Fadil dengan nada menantang.

“Mohon Gus Fadil tidak menambah masalah dengan masalah baru! ” kataku memohon padanya.

“Inilah caraku. Kau masih berani menentangku?” sahut Gus Fadil dengan tegas.

Kami tak pernah menyangka Gus Fadil yang merupakan panutan hendak membakar musala. Secara tidak langsung, musala megah ini juga milik Gus Fadil yang merupakan putra Kiai Misbach. Iblis mana yang sedang merasuki akal pikirannya. Sontak saja kami tak berani melawan guru yang mungkin telah kehilangan kesadaran tersebut. Tapi, kami harus memadamkan obor itu apa pun yang terjadi.
Gus Fadil tak bisa dicegah. Kami juga bukan siapa-siapa dan tidak sebanding dengan Gus Fadil. Obor dilemparkan vertikal ke arah udara. Langit yang pekat pun nampak bercahaya.

Kang Bashori berlari menuju tempat wudlu. Ia ambil timba hingga terisi air. Kang Bashori segera berlari menuju penjuru musala yang telah disiram minyak tanah. Aku dan Kang Rahmat pun mengikutinya. Tapi, api membakar semua begitu cepatnya. Reruntuhan bangunan mengenai tubuh kami. Kami bertiga tetap bertahan untuk membuang ke luar. Kobaran api menjilati tubuh kami.

***

“Rahmat, Bashori, Nurudin bangun. Sebentar lagi Shubuh,” tetiba Gus Fadil membangunkan kami.
Kami langsung beranjak menuju tempat wudlu. Kang Bashori langsung berwudlu, menabuh beduk, dan mengumandangkan adzan. Sepuluh menit berlalu, Kang Bashori iqomah dengan tetap tidak ada penambahan jemaah.

“Aku ini masih hidup apa sudah mati ya?” kataku pelan kepada Kang Rahmat.

“Iya Din, aku juga bingung. Sepertinya kita semua sudah mati terbakar tadi,” jawab Kang Rahmat. Kami memilih untuk menutup cerita itu dalam-dalam. Minimal tak lagi membahas cerita kami di Musala Kiai Misbach. Takut sesuatu yang di luar nalar terjadi lagi.

“Sepertinya itu tadi adzan terakhirku di musala ini. Setelah itu, aku tidak akan ke sini lagi,” kalimat terakhir Kang Bashori semakin mengangetkan kami.

Aku semakin bingung memaknai semua ini. Kami saling terdiam sebelum pulang menuju rumah masing-masing. Kami tak saling bicara; apalagi berandai-andai akankah nanti ke tempat ini lagi. Atau jangan-jangan kami sudah mati?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan