Moral Sosial dan Akhlak Para Sufi

1,411 kali dibaca

Selain membawa misi tauhid, Rasulullah SAW juga diutus dengan membawa misi kemanusiaan. Misi kemanusiaan ini berupa menjadi rahmat bagi seluruh alam dan menyempurnakan akhlak.

Diutusnya Rasulullah SAW sebagai rahmat tertulis dalam surat al-Anbiya’ ayat 107, sedangkan diutusnya Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak termaktub dalam Musnad Imam Ahmad, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, di mana Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.”

Advertisements

Pun, misi penyempurnaan akhlak ini juga terlihat dengan banyaknya hadis pelarangan yang bersifat interaksi kemanusiaan, semisal keharaman menggosip, berprasangka buruk, keharaman mengadu domba, ketidakbolehan riya’ dan ujub atau bangga diri, dan sebagainya yang bersifat merugikan orang lain dan bersikap buruk kepada orang lain.

Namun belakangan ini, penurunan kualitas akhlak dapat dirasakan dan dilihat dengan kasat mata. Hal ini terlihat dari beragam banyaknya video-video tiktok yang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, mulai dari sisi fisik hingga materi. Bahkan tak jarang video tersebut memakai ungkapan yang terkesan menjatuhkan orang-orang lain. Semisal kalimat “2022 kok masih android?” dan sebagainya. Oleh karena itu, akan disajikan sebuah ajaran para sufi, di mana sufi dan tasawuf dianggap sebagai disiplin ilmu dalam agama Islam yang konsen pada akhlak.

Kunci Akhlak Para Sufi

Akhlak atau adab memiliki peran penting dalam tasawuf. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah, al-Qusyairi mengutip dawuh dari al-Kattani, bahwa tasawuf adalah akhlak. Dalam istilah para sufi, ada sebuah ajaran yang dikenal dengan al-ashlu fi al-adab, yang diakrabkan oleh KH Achmad Asrori al-Ishaqy dengan istilah kuncine akhlak.

Al-ashlu fi al-adab terdiri dari kata al-ashlu yang berarti dasar, fi yang berarti dalam, dan al-adab yang berarti adab/tata krama. Dengan demikian, arti al-ashlu fi al-adab secara bahasa ialah dasar dalam adab atau tata krama. Maka, al-ashlu fi al-adab selanjutnya akan dibahasakan dengan kunci akhlak.

Al-Ishaqy menjelaskan dalam kitab al-Muntakhabat, bahwa para ulama al-Muhaqqiqun berkata: “Kunci akhlak (al-ashlu fi al-adab), yaitu menyaksikan kekurangan pada diri sendiri, dan menyaksikan kesempurnaan pada orang lain.” Adapun dalam bahasa al-Ishaqy sendiri, kunci dari akhlakul karimah adalah melihat orang lain lebih mulia ketimbang diri sendiri, dan melihat diri sendiri lebih hina daripada orang lain.

Kunci akhlak yang tertanam dalam diri seseorang, akan menjadikannya terhindar dari sombong dan tinggi hati. Sebab, kunci akhlak mengajarkan untuk memandang diri sendiri dengan segala kekurangan dan memandang orang lain dengan kesempurnaan. Sehingga, tidak ada celah dalam kunci akhlak untuk merasa lebih baik ketimbang orang lain.

Kunci akhlak juga akan membuat seseorang menghormati selainnya tanpa pandang bulu. Tak peduli apakah ia lebih muda, lebih tua, atau bahkan tak seagama. Karena yang hanya jadi pusat perhatian adalah rasa bahwa diri sendiri lebih hina daripada orang lain, dan orang lain lebih sempurna ketimbang diri sendiri. Kunci akhlak adalah kebalikan dari qalil al-Adab.

Oleh karena itu, qalil al-adab ialah melihat diri sendiri dengan kesempurnaan, dan melihat orang lain dengan kekurangan. Sehingga, adanya orang yang merasa dirinya lebih sempurna dari selainnya, hingga ia menghujatnya dan memakinya adalah bentuk nyata dari qalil al-adab.

Al-Salaf al-Shalih, yang terdiri para sahabat, tabi’in dan para ulama terdahulu, adalah para pengamal kunci akhlak ini. Seperti dijelaskan oleh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam al-Tanbih al-Mughtarrin. Al-Sya’rani menuturkan, bahwa sebagian dari akhlak para al-Salaf al-Shalih adalah memperbagus adab kepada orang yang kecil, lebih-lebih pada orang yang lebih besar, juga pada orang yang jauh, lebih-lebih pada orang yang dekat, dan kepada orang yang bodoh lebih-lebih pada orang yang berilmu. Dan kunci akhlak adalah memandang kekurangan dalam diri mereka, dan kesempurnaan dalam diri selain mereka.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Paling berilmunya manusia adalah orang yang sangat besar takzimnya kepada ahli la ila ha illallah (orang yang bersyahadat/mengakui keesaan Allah SWT)”. Ungkapan Ali bin Abi Thalib ini menunjukkan bahwa kepada siapa pun, selama ia bersyahadat, seorang muslim haruslah menghormatinya.

Bakr bin Abdillah al-Muzanni berkata: “Bila engkau melihat orang yang lebih besar darimu, maka hormatilah dan katakan bahwa ia lebih dulu masuk Islam dan beramal salih ketimbang diriku. Jika engkau melihat orang yang lebih kecil darimu, maka hormatilah dan katakan pada dirimu bahwa sesungguhnya diriku telah mendahuluinya dalam dosa-dosa. Bila kau dimuliakan oleh manusia, katakan bahwa ini adalah anugerah Allah atasku dan aku tak berhak atas ini. Jika manusia menghinakanmu, katakanlah bahwa hal ini disebabkan dosa yang telah aku perbuat. Dan jika kau melempari anjing tetanggamu dengan kerikil, sungguh kau telah menyakitinya.” Perkataan al-Muzanni ini adalah penjabaran atas kunci akhlak.

Kunci akhlak dalam penjelasan al-Ishaqy ialah bila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita, kita akan memuliakan dan menghormatinya, karena kita mengakui bahwa ketaatannya kepada Allah Ta’ala dan mengikutinya terhadap sunnah Rasulillah SAW lebih banyak daripada kita. Dan bila kita melihat orang yang lebih kecil daripada kita, kita akan menyayanginya dan berbelas kasihan padanya, sebab kita mengakui bahwa kelupaannya (kepada Allah SWT) dan kesalahannya lebih sedikit daripada kita. Dan bila kita melihat orang yang selain agama kita, kita akan menyayanginya dan berlemah lembut padanya, mendoakannya dan meminta kepada Allah SWT agar memberinya petunjuk, karena kita mengakui, keimanan kita ada dalam ilmu Allah SWT dan kehendak Allah SWT.

Maka, iman adalah kegaiban dari kita, apakah kita akan berakhir dengan khusnul khotimah atau dengan su’ul khotimah?

Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Janganlah kamu meremehkan seseorang baik masih hidup maupun telah meninggal, sehingga dirimu akan hancur, karena kamu tidak mengetahui apakah ia lebih baik darimu atau tidak? Dan apabila ia seorang yang fasik, maka mungkin saja akhir hayatmu akan sepertinya, sedangkan ia diberi khusnul khatimah.”

Sebagian guru-guru tarekat juga berkata: “Janganlah kamu menghina orang lain, sebab mungkin saja ia akan menjadi orang yang mulia dan kamu menjadi orang yang hina, semua itu akibat dari ulahmu sendiri.”

Dua ungkapan ini memperlihatkan betapa para ulama dan pendahulu yang salih sangat memperhatikan terhadap sikap memandang diri sendiri dengan kehinaan, dan memandang orang lain dengan kemuliaan. Yang senada, juga dengan melihat kekurangan atas diri sendiri, dan kesempurnaan atas orang lain. Dengan demikian, pada hakikatnya al-ashlu fi al-adab adalah hal yang diajarkan dan dipraktikkan sedari dulu oleh para pendahulu agama Islam.

Al-Salaf al-Shalih sebagai para praktisi al-ashlu fi al-adab, pada hakikatnya adalah meneladan  Rasulullah SAW. Jadi, dapat dikatakan bahwa al-ashlu fi al-adab bersumber dari Kanjeng Nabi SAW. Pun, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu dari Allah SWT, sehingga apa yang diajarkan dalam agama terlihat dalam Rasulullah SAW. Al-Ishaqy menjelaskan bahwa al-ashlu fi al-adab, dalam al-Muntakhabat pada bab al-‘Ibrah wa al-Qudwah wa al-Uswah, yakni mengambil pelajaran, mengikuti, dan meneladan Rasulullah SAW.

Dalam beberapa al-Sirah al-Nabawiyyah, tampak jelas bahwa memandang diri sendiri dengan kekurangan dan orang lain dengan kesempurnaan diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW. Seperti ketika ada seorang pengemis tua Yahudi, tuna netra, yang selalu mencaci maki Rasulullah SAW, namun Nabi Muhammad SAW justru menghampirinya, memberinya makan bahkan menyuapinya secara langsung. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Abul Hasan al-Ali Hasani al-Nadwi dalam al-Sirah al-Nabawiyyah.

Sikap ini jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak merasa bahwa lebih baik dari si pengemis tua itu. Meskipun, si pengemis tua itu adalah orang Yahudi, namun Kanjeng Nabi Muhammad SAW menunjukkan bagaimana beliau, dan islam itu sendiri, sangat menghormati dan memuliakan orang lain, terlebih pada yang lebih tua.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa akhlak sangat penting dalam agama Islam. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para al-Salaf al-Shalih. Oleh karenanya, guna menumbuhkan kembali misi kemanusiaan dan sosial agama Islam, marilah menghidupkan kembali keidentikan agama Islam dengan akhlak terpuji dan tata krama yang baik, dengan menjadikan kunci akhlak sebagai moral sosial. Melihat diri sendiri dengan segala kekurangan, dan melihat orang lain dengan segala kesempurnaan. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan