Metafakta, Mas Bechi, dan Lain-lainnya

2,331 kali dibaca

Ilmu itu rasional, logis, dapat dinalar, dapat dicerna akal sehat, dan common sense. Jika tak rasional, tak logis, tak dapat dinalar, tak bisa dicerna akal sehat, dan tidak common sense, jelas itu bukan ilmu. Mungkin malah tipu-tipu.

Sayangnya, masyarakat kita ternyata masih suka yang tak rasional, tak logis, tak dapat dinalar, tak bisa dicerna akal sehat, dan tidak common sense. Masyarakat kita akan sering kesengsem dengan keajaiban atau kesaktian, misalnya, dan kemudian berbondong-bondong mencari “ilmu” yang tak rasional itu.

Advertisements

Itulah fakta dari metafakta yang, konon, merupakan temuan dari Mas Bechi, tersangka pencabulan sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Ploso, Jombang, Jawa Timur. Seperti kita tahu, setelah Kamis (7/7) kemarin ribuan polisi mengepung dan menggeledah Pesantren Shiddiqiyyah selama 15 jam, Mas Bechi akhirnya menyerahkan diri untuk menjalani proses hukum. Putra dari KH Muhammad Mukhtar Mukthi ini menjadi tersangka pencabulan dan pemerkosaan terhadap sejumlah santrinya.

Berdasarkan keterangan dari sejumlah korban dan pendamping korban yang beredar di media, modus Mas Bechi dalam mendekati calon korbannya melalui penularan ilmu kesaktiannya, ya metafakta itu.

Konon, metafakta adalah ilmu penyembuhan, penyembuhan terhadap segala penyakit. Bahkan, jika seseorang telah menguasai “ilmu sakti” ini, maka cita-cita, keinginan, atau hajat-nya akan segera tercapai. Penyembuhan melalui metafakta ini disebut-sebut juga bisa dilakukan melalui musik, dengan membonceng gelombang suara. Maka, setelah berkolabirasi dengan musisi Indra Qadarsih, Mas Bechi melahirkan musik metafakta yang disebut Oxytron. Oxytron ini diklaim sebagai musik penyembuh segala penyakit. Luar biasa kesaktiannya.

Entah di mana Mas Bechi belajar ilmu metafakta dan siapa gurunya. Yang ganjil justru cara Mas Bechi mengajarkannya. Santriwati-santriwati yang dia pilih untuk menjadi relawan kesehatan (baca: penyembuh) tak perlu bersusah payah mempelajarinya. Sebab, metafakta hanya perlu “ditularkan”. Apa yang disebutnya sebagai ilmu itu hanya bisa “menular” jika si santri sudah bugil. Tak masuk akal? Memang, katanya, metafakta baru bisa merasuk jika santri telah kehilangan akal. Jika seseorang masih bergantung pada dan menggunakan akalnya, si ilmu tak sudi masuk, tak sudi menular.

Berawal dari modus seperti itulah tindak pencabulan dan kekerasan seksual yang disangkakan kepada Mas Bechi bermula. Bermula dari ajaran-ajaran yang tak rasional, tak logis, tak dapat dinalar, tak dapat dicerna akal sehat, dan di luar common sense. Di sini Mas Bechi tak sendiri. Banyak “Mas Bechi-Mas Bechi” lain sebelum ini —dan mungkin juga nanti— menggunakan modus yang mirip-mirip seperti ini; baik apa yang disebut ilmunya maupun cara pengajarannya jauh dari kaidah-kaidah logika.

Fenomena Mas Bechi dan lain-lainnya ini menggambarkan betapa sebagian masyarakat kita masih suka terpukau dengan hal ihwal tak rasional, tak logis, tak dapat dinalar, tak dapat dicerna akal sehat, dan di luar common sense itu —katakanlah hal keajaiban atau kesaktian. Sampai-sampai ada yang percaya bahwa ada ilmu yang hanya bisa dipelajari jika kita telah membuang akal kita. Sampai-sampai ada yang menurut saja dengan model pengajaran yang di luar common sense.

Kenapa fenomena seperti ini masih saja terjadi, bahkan di era serba digital seperti ini? Mungkin sebagian kita telah lupa bahwa, yang membedakan manusia dengan makhluk lain, yang membuat manusia lebih unggul dan lebih istimewa dibandingkan dengan makhluk lain, adalah karunia Tuhan berupa peranti akal ini —yang dengannya kita bisa berpikir. Berkali-kali Al-Quran menyeru agar manusia menggunakan akalnya, untuk berpikir, yang dengannya manusia bisa membedakan mana yang batil dan mana yang haq, yang dengannya manusia bisa menemukan kebenaran, yang dengannya manusia bisa membuktikan akan tanda-tanda kebesaran Tuhan sehingga lahirlah berbagai disipilin ilmu pengetahuan. Karena itulah tak ada ilmu yang tak rasional, yang tak masuk akal. Jika ada yang mengatakan sebaliknya, maka patut dipertanyakan kesahihannya sebagai ilmu— datang dari Tuhan atau setan?

Dengan penggambaran seperti itu, jika kita merendahkan akal kita sendiri, berarti kita telah mengabaikan seruan Al-Quran tentang penggunaan akal sebagai peranti berpikir. Setidaknya kita akan tergolong sebagai orang yang malas berpikir radiks, sesuatu yang sebenarnya juga dibenci oleh kitab suci.

Dari sini, seharusnya kita sudah memiliki standar dan prosedur, bahwa ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan berbasis keagamaan, katakanlah seperti madrasah atau pesantren, haruslah rasional, logis, dapat dinalar, dapat dicerna akal sehat. Di luar itu bisa dipastikan “ilmu jadi-jadian”. Pun, cara penyampaian atau pengajarannya juga harus dalam koridor common sense. Di luar itu, pasti “ada apa-apanya”.

Dengan begitu, secara dini kita akan bisa mendeteksi gejala munculnya kasus Mas Bechi dan lain-lainnya di kemudian hari.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan