“Mesin Jemaat”, Satir Perselingkuhan Agama-Kuasa-Usaha

836 kali dibaca

Menyaksikan lakon “Mesin Jemaat” yang disuguhkan Teater Syahid kita akan menemu begitu banyak satir, bagaimana relasi perselingkuhan antara agama, kuasa, dan usaha terjadi. Lakon yang dipentaskan di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 3-5 September 2023, ini seakan memotret apa yang dalam beberapa tahun terakhir terjadi di negeri ini. Jemaat, umat, atau rakyat selalu diposisikan sebagai objek dan menjadi korban dari perselingukan antara para pemuka agama, penguasa, dan pengusaha.

Saya menyaksikan pementasan lakon “Mesin Jemaat” ini pada Senin (4/9/) malam. Saya cukup terkejut, sebab pementasan teater yang menjadi bagian dari kegiatan mahasiswa namun berbayar ini ditonton begitu banyak orang. Lebih dari seratus orang, kebanyakan tentu mahasiswa UIN Syahid Jakarta, duduk lesehan memenuhi gedung pertunjukan. Dengan khusyuk mereka menikmati suguhan cerita, diselingi gelak tawa saat muncul adegan-adegan tak terduga.

Advertisements

Ini seperti teater multimedia banyak dimensi. Dalam lakon karya Ahda Imran ini, sang sutradara, Ahmad Fauzi, menyuguhkan cerita tak hanya melalui dialog-dialog dan acting para pemeran, tapi juga dengan media-media kekinian, seperti media elektronik, gadget, atau bahkan medsos (media sosial).

Properti utama adalah mesin cuci raksasa, yang ditempatkan persis di tengah-tengah panggung, dan di sanalah nanti puncak relasi perselingkuhan terjadi. Di sisi kanan dan kiri pangggung masing-masing dipajang dua mesin cuci ukuran standar. Berawal dari mesin-mesin cuci inilah cerita mulai dibangun.

Panggung dibuka dengan aktivitas perusahaan laundry. Beberapa orang terlihat hilir mudik mendorong troli pakaian. Beberapa lagi sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Namun jangan salah, ini bukan usaha laundry biasa. Ini usaha laundry khusus bagi para jemaat sang Imam Besar. Dan, pakaian kotor para jemaat itu dicuci dengan air suci yang diimpor dari tanah suci! Bahkan, dalam proses pencucian di mesin cuci tersebut, pakaian wanita dan pria harus dipisahkan. Tidak boleh bercampur!

Hal itu diketahui saat adegan beralih pada acara debat panas antara Profesor Darius dengan Imam Besar (yang diset) pada sebuah stasiun televisi. Berdasarkan penelitian Profesor Darius, limbah usaha laundry yang diklaim menggunakan air suci telah mencemari lingkungan dan menyebabkan masyarakat terserang penyakit kulit.

Tentu saja, Imam Besar marah besar mendengar hasil riset Profesor Darius. Sang Imam Besar menuding Profesor Darius tidak paham agama, dan justru dianggap menista agama karena menganggap air suci yang diimpor dari tanah suci telah mencemari lingkungan.

“Anda tidak paham agama. Karena itu apa yang Anda ungkapkan adalah menyesatkan. Ini penghinaan terhadap agama,” telunjuk Imam Besar menuding Profesor Darius.

Kabar usaha laundry menggunakan air suci yang menghebohkan itu akhirnya sampai juga ke istana. Pihak istana kemudian mengirim utusan menemui Imam Besar. Utusan tersebut meminta agar pakaian para pejabat di istana juga dicuci dengan air suci. Semula sang imam menolak, namun akhirnya mengabulkan setelah utusan meyakinkan pihak istana akan mendukung proposal sang Imam Besar. Keputusan Imam Besar bersekutu dengan penguasa istana sempat diprotes seorang kaki tangannya. Tapi sang imam berhasil meyakinkan pengikutnya.

“Untuk bisa menjalankan perintah agama, perintah Tuhan, kita harus merebut dan memegang kekuasaan. Bekerja sama dengan istana ini hanya strategi kita,” demikian Imam Besar meyakinkan pengikutnya. Sejak itu, terjadi persekutuan antara Imam Besar dengan penguasa istana.

Adegan berikutnya menyuguhkan kedatangan seorang perempuan pengusaha, Nyonya Halimah. Kepada Imam Besar, perempuan ini mengabarkan suaminya baru saja meninggal. Dan, sebelum suaminya dikuburkan, ia meminta agar kain kafan suaminya dicuci dengan air suci terlebih dulu. Semula sang imam menolak dengan alasan air suci hanya boleh digunakan untuk mencuci pakaian kotor jemaat. Namun, setelah sang perempuan pengusaha itu menjanjikan persekutuan, kain kafan itu akhirnya dicuci dengan air suci dari kota suci.

Sejak itu, terjadi persekutuan-perselingkuhan antara Imam Besar, pihak istana, dan pengusaha. Proses persekutuan-perselingkuhan diceritakan melalui beragam media. Misalnya, melalui percakapan telepon dalam gambar siluet. Atau, mesin cuci raksasa berubah menjadi layar televisi yang penuh dengan pemberitaan dan layar smartphone dengan berbagai konten.

Motif bisnis akhirnya memasuki dunia Imam Besar, saat perempuan pengusaha itu berniat membangun pabrik tekstil.

“Agama Tuan Imam Besar kan mewajibkan para jemaatnya mengenakan pakaian yang tertutup rapat. Maka, kita harus bisa menyediakan pakaiannya dengan membangun pabrik tekstil sendiri yang besar. Keuntungannya nanti kita bagi bersama. Tuan Imam Besar hanya perlu meyakinkan jemaat agar tanah mereka bisa dibeli dengan murah untuk kepentingan ibadah,” perempuan pengusaha itu merajuk dengan genit, dan luluhlah hati sang imam.

Rencana membangun pabrik tekstil itu sepertinya akan berjalan mulus. Hati sang imam sudah luluh. Dan pihak istana sudah memberi lampu hijau. Untuk merayakan kesepakatan bisnis antara Imam Besar dan perempuan pengusaha itu, mereka berdua kemudian memasuki ruangan khusus yang tak lain adalah mesin cuci raksasa itu, untuk tidur bersama. Dan meledaklah gelak tawa penonton.

Ketika sampai pada adegan terjadi penolakan dari pemilik tanah yang hendak dibeli dengan harga murah, Imam Besar mengumpulkan laskar pembela sang imam dan jemaatnya. Sang imam memerintahkan laskar dan para pemgikutnya untuk melakukan “eksekusi”. Maka, terjadilah huru-hara itu: orang-orang yang menolak tanahnya dibeli murah diintimidasi, dijarah, disiksa, dibunuh, dan dikafir-dikafirkan. Di tengah huru-hara itu, terdengar tangis bayi pecah usai mbrojol dari rahim ibunya yang terkulai seorang diri.

Itulah akhir ceritanya. Betapa adegan-adegan penuh satir itu menggambarkan apa yang disebut jemaat, umat, atau rakyat seringkali hanya dijadikan mesin untuk memproduksi keuntungan bagi para elitenya, entah itu tokoh agama, penguasa, atau pengusuha. Sesungguhnya itu sedikit berbau klise, sebab perselingkuhan segitiga di antara mereka sudah terjadi sejak zaman baheula. Namun, ceritanya memang disuguhkan dengan begitu apik oleh Teater Syahid dan tertata rapi di atas panggung, dengan sentuhan-sentuhan kekinian. Yang sedikit berbau klise itu akhirnya menjadi tontonan menarik karena menampilkan wajah kita yang sebenarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan