Merindukan Sosok Gus Dur

1,294 kali dibaca

Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dibela mati-matian.
— Gus Dur

Hari ini, saya tiba-tiba teringat masa-masa Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan. Bukan jatuhnya Gus Dur yang saya ingat, melainkan bagaimana ia melakukan berbagai cara agar ratusan ribu pasukan berani mati yang mendukungnya tidak meluruk ke Jakarta. Ia tidak ingin ada pengerahan massa. Semua risiko akan dipikulnya sendiri.

Advertisements

Seperti kita tahu, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, akhirnya jatuh dan harus keluar dari Istana Kepresidenan pada 23 Juli 2001. Itu terjadi setelah Majelis Permusyaratan Rakyat yang dipimpin Amien Rais mencabut mandat yang diberikan kepada Gus Dur 20 bulan sebelumnya, 20 Oktober 1999.

Kita tahu, suhu politik yang mengantar jatuhnya Gus Dur begitu mendidih. Begitu banyak permainan politik yang memojokkan Gus Dur hingga tak ada pilihan lain selain lengser. Sebagai tokoh pluralis yang populis dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tentu Gus Dur memiliki basis massa pendukung yang melimpah. Jutaan warga nahdliyin marah, massa pendukung Gus Dur bereaksi dan bertekad melakukan perlawanan. Bahkan di berbagai daerah telah terbentuk pasukan berani mati, jumlahnya mencapai ratusan ribu orang, yang siap menyerbu Jakarta untuk mempertahankan Gus Dur “sampai titik darah penghabisan”.

Lalu apa yang terjadi? Rupanya Gus Dur tak memposisikan diri sebagai politisi, melainkan negarawan. Jika memposisikan diri sebagai politisi, Gus Dur akan mengapitalisasi seluruh dukungan massa tersebut, bahkan akan memperluas basis dukungan massa, untuk dikerahkan guna mempertahankan jabatannya sebagai presiden.

Namun, kita tahu, yang dilakukan Gus Dur justru sebaliknya. Gus Dur mengambil jalan negarawan. Seperti terungkap dalam buku karya Greg Barton berjudul Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2008: 463), Gus Dur berkeliling ke berbagai daerah, mengunjungi para kiai dan santri, untuk meredakan kemarahan dan emosi pendukungnya agar tak terjadi pengerahan massa.

Bukan perkara gampang. Gus Dur pun harus berdebat sengit dengan para pendukungnya yang sudah diamuk emosi. Namun, setelah melalui perdebatan panjang dan melelahkan, Gus Dur akhirnya mampu meyakinkan para pendukungnya. Sesuai permintaan Gus Dur, massa pasukan berani itu akhirnya pulang ke rumah masing-masing dan berdoa yang terbaik untuk bangsa Indonesia.

Bagi Gus Dur, seperti yang pernah diungkapkannya, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dibela mati-matian.”

***

Hari ini, saya teringat sosok Gus Dur lantaran banyak tokoh agama yang justru mengambil jalan politisi: mengumpulkan dan mengerahkan massa sebanyak-banyaknya untuk dikapitalisasi menjadi kekuatan pendukung. Baik pendukung untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kelompoknya.

Adapun, Gus Dur, sepanjang yang saya tahu, adalah pejuang yang tidak pernah menarik-narik atau melibatkan massa untuk menyokong perjuangannya. Di masa Orde Baru, misalnya, Gus Dur adalah musuh nomor wahid penguasa saat itu. Gus Dur merupakan tokoh yang begitu gigih memperjuangkan demokrasi, hak-hak asasi manusia, hak-hak sipil, pluralisme, kelompok-kelompok monoritas, dan kaum tertindas. Karena aktivitasnya itu, Gus Dur dianggap merongrong kekuasaan Orde Baru. Sering Gus Dur dizalimi dan “dicekal” di banyak tempat. Salah satunya saya pernah menyaksikannya sendiri. Entah tahun berapa saya lupa. Setelah memberikan ceramah di Pondok Pesantren Sumberwringin Jember, Jawa Timur, sedianya Gus Dur menjadi pembicara di kampus Universitas Negeri Jember atas undangan mahasiswa. Namun, penguasa setempat tak mengizinkannya. Jalan-jalan yang akan dilewati Gus Dur diblokir aparat. Tak kurang akal, diam-diam Gus Dur membonceng sepeda motor. Melalui jalan-jalan tikus, Ketua Umum PBNU itu akhirnya bisa menemui mahasiswa yang mengundangnya.

Begitulah cara Gus Dur. Ia adalah pejuang paling gigih di berbagai bidang kehidupan, namun risikonya selalu dipikulnya sendiri, tanpa pernah melibatkan atau mengerahkan massa. Ketika rezim Orde Baru begitu represif, Gus Dur memperjuangkan demokratisasi dan selalu melakukan pelawanan dengan caranya sendiri. Ketika kaum minoritas tertindas dan diperlakukan tidak adil, Gus Dur melakukan pembelaan tanpa tedeng aling-aling. Dan ketika kelompok-kelompok radikalis-ekstremis berbasis agama mulai banyak tingkah, Gus Dur merupakan tokoh paling depan melakukan penentangan dan perlawanan, juga seorang diri.

Padahal, kalau mau, Gus Dur bisa dengan gampang mengerahkan massa yang basisnya adalah kaum nahdliyin. Sebagai cucu KH Hasyim Asyari dan tokoh NU, Gus Dur bisa saja menggerakkan atau mengerahkan massa nahdliyin atau kaum santri untuk mendukung setiap perjuangannya. Tapi, sekali lagi, itu tidak pernah dilakukannya, hingga ia harus melawan sendirian pemakzulannya.

Atas segala risiko yang menimpanya, Gus Dur juga tidak pernah mempersonifikasi dirinya sebagai representasi dari umat Islam atau Islam sebagai agamanya. Semuanya dianggap sebagai risiko perjuangan yang harus dipikulnya sendiri, seperti kata-kata yang pernah diungkapkannya:

Saya tidak peduli, mau popularitas saya hancur, difitnah, dicaci maki atau dituduh apa pun, tapi bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari perpecahan.”

***

Hari ini, saya teringat sosok Gus Dur ketika banyak tokoh agama sedikit-sedikit mengerahkan massa berunjuk rasa. Kini, banyak tokoh agama yang jika tersentil sedikit oleh kelompok lain langsung membakar-bakar emosi pengikutnya, menyeret-nyeret massa ke medan laga. Kini, banyak tokoh agama yang mempersonifikasi dirinya sebagai representasi dari umat atau agama yang dipeluknya. Menyakiti dirinya sama dengan menyakiti umat dan agamanya. Membela dirinya sama dengan membela umat dan agamanya.

Sungguh, dalam suasana seperti ini, sosok Gus Dur sangat dirindukan kehadirannya. Pribadi yang berani berdiri paling depan, dengan suara lantang, menentang dan melawan segala bentuk perilaku antidemokrasi, intoleran, mau menang sendiri yang datang dari mana pun.

Sekaligus, tulisan ini juga bermaksud menagih janji KH Yahya Cholil Staquf yang jika terpilih menjadi Ketua Umum PBNU akan menghidupkan kembali Gus Dur. Tentu, yang dimaksud bukanlah menghidupkan kembali Gus Dur dari alam kuburnya, melainkan, salah satunya, dengan cara melahirkan kader-kader yang memiliki pribadi seperti Gus Dur. Apakah NU akan bisa melahirkannya lagi, wallahualam

Multi-Page

Tinggalkan Balasan