Mereka Anak-anak Kita Juga…

1,286 kali dibaca

Saya —mungkin juga Anda— memiliki kisah yang mirip dengan anak kelas 6 SD yang top up game online senilai Rp 800 ribu dan orang tuanya marah-marah kepada kasir Indomaret. Kasus itu kemudian viral dan menjadi pemberitaan hangat di berbagai media beberapa hari ini. Yang membedakan saya dengan anak kelas 6 SD itu mungkin lingkungan yang membesarkannya.

Terus terang, saya justru sangat masygul, galau, atas reaksi netizen dan publik terhadap kasus ini. Netizen dan publik cenderung mem-bully orang tua anak SD tersebut karena dianggap lalai mengawasi dan mendidik anaknya sendiri. Sekali lagi, netizen dan publik justru cenderung membela kasir Indomaret; mereka hanya seorang pegawai yang menjalankan tugas, laiknya sebuah robot.

Advertisements

Si orang tua mungkin memang salah. Ia lalai mengawasi anaknya. Dan tidak pada tempatnya meledakkan amarahnya kepada kasir Indomaret yang melayani top up anaknya. Juga, memang tak ada hukum atau aturan yang dilanggar oleh kasir Indomaret itu kecuali tak adanya pertimbangan tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial.

***

Kisah yang saya alami ini sudah berlangsung begitu lama, tapi saya masih ingat kejadiannya meskipun mungkin tak utuh lagi. Saat itu, mungkin saya masih kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah atau mungkin belum sekolah.

Di zaman itu, sekitar medio era 1970-an, salah satu permainan paling popular di kalangan anak-anak adalah kartu wayang. Meskipun disebut kartu wayang, gambar yang ada di kartu-kartu itu bukan hanya tokoh-tokoh pewayangan. Lembaran kartu itu juga banyak yang memuat gambar tokoh-tokoh hero fiktif.

Dalam selembar kertas ukuran folio itu biasanya terdapat 50 gambar tokoh atau cerita dalam bingkai kotak-kotak kecil. Setiap gambar diberi nomor urut. Lembaran kartu wayang itu kemudian kita gunting, kita potong-potong per gambar. Maka, selembar kartu wayang itu bisa menjadi 50 kartu.

Cara permainannya beragam. Salah satunya dengan main kocok kartu. Kemudian beberapa kartu dijejer di lantai. Masing-masing anak akan memungut kartu-kartu itu. Pemenangnya adalah siapa yang memungut kartu dengan nomor terbesar. Yang sering menang akan kaya kartu, sampai berdus-dus. Banyak anak yang keranjingan main kartu wayang itu. Di zaman itu, satu lembar kartu mungkin harganya Rp 1.

Tapi tak semua anak selalu diberi uang oleh orang tuanya untuk membeli kartu wayang itu. Salah satunya adalah saya. Maka, ketika rumah sedang sepi, diam-diam saya mencuri uang orang tua dari laci lemari. Saya menyelinap dan pergi ke toko tak jauh dari rumah untuk membeli kartu wayang yang saya idamkan. Tapi saya bingung, hanya diberi selembar kartu wayang. Seharusnya dapat banyak. Tapi tak apalah, toh saya bisa bermain dengan anak-anak lain.

Di luar pengetahuan saya, sang pemilik toko datang ke rumah menemui orang tua saya. Selembar uang kertas bernilai Rp 10.000 diserahkan kepada orang tua saya. Sang pemilik toko melaporkan bahwa saya baru membeli kartu wayang dengan membawa uang Rp 10.000! Bayangkan, berapa nilai uang pecahan Rp 10.000 di zaman itu, sementara nilai tukar dollar AS di kisaran Rp 400 per dollar AS dan harga selembar kartu wayang Rp 1.

Orang tua saya mengelus dada. Sang pemilik toko merelakan selembar kartu wayang untuk saya tanpa minta uang pembayaran. Sepulang dari bermain saya dihujani petuah. Tapi sejak itu saya tak lagi mengulanginya.

***

Itulah sedikit gambaran lingkungan saya dibesarkan. Saya adalah anak-anak mereka juga. Saya adalah juga anak-anak tetangga. Orang-orang selalu menganggap anak-anak orang lain, dalam batas tertentu, adalah anak-anak mereka juga. Karena itu, mereka merasa memiliki tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial terhadap anak-anak orang lain, nyaris sama seperti terhadap anak-anak mereka sendiri.

Memang, kasir Indomaret itu, juga semua perangkat toko-toko modern itu, tak melanggar hukum dan aturan apa pun ketika melayani anak di bawah umur untuk top up game online. Tapi apa ruginya, misalnya, dalam kasus seperti ini, ia minta agar si anak diantar oleh kakaknya atau orang tuanya. Atau meminta nomor telepon keluarganya untuk dikonfirmasi.

Tak ada ruginya jika kasir Indomaret itu, atau juga semua perangkat toko-toko modern itu, sedikit menggunakan pertimbangan tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial atas tumbuh kembangnya anak-anak. Ikut serta menciptakan kondisi yang kondusif bagi masa depan anak-anak. Saya yakin, jika kasir Indomaret itu, atau juga semua perangkat toko-toko modern itu, mau sedikit menggunakan pertimbangan tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial, justru akan menguntungkan bisnis mereka di masa depan. Sebab apa?

Kita tahu, berdasarkan berbagai riset dan pendapat para ahli, kecanduan  (addictive) game online akan berdampak sangat buruk bagi anak-anak, baik dari sisi kesehatan fisik maupun psikis. Banyak anak kehilangan orientasi dan mengalami gangguan mental karena keranjingan game online, apalagi yang berbau kekerasan. Anak-anak akan tumbuh menjadi pemarah, pembenci, dan berperilaku kasar. Anak seorang teman sampai berani mengatai orang tuanya sebagai binatang karena tak diberi uang untuk top up game online. Anak seorang teman yang lain lagi mencuri uang jutaan hanya untuk top up.

Tanpa kita sadari, kita akan melahirkan preman-preman baru di masa depan. Jika di rumah tak ada lagi uang orang tua yang bisa diembat, sangat mungkin Indomaret itu, atau toko-toko modern lainnya, yang akan dibobol oleh mereka agar bisa top up game online. Kejahatan akan subur di masa depan, dan itu tidak kondusif untuk bisnis Anda.

Itulah yang membuat saya sangat msygul, galau, terhadap reaksi netizen dan publik atas kasus orang tua yang marah-marah kepada kasir Indomaret yang viral itu. Sampai orang tua anak SD itu malu dan harus meminta maaf secara tertulis kepada Indomaret. Ini berarti kita sedang tak berempati, dan abai pada tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial akan masa depan generasi penerus kita.

Jika kita berempati, dan tak abai pada tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial, maka dalam batas tertentu kita akan menganggap anak-anak orang lain adalah anak-anak kita juga. Kita akan memberikan kasih sayang yang sama kepada mereka, seperti kepada anak-anak sendiri. Sebab, anak-anak orang lain itu, yang kini sedang terbebani keracunan game online itu, siapa tahu kelak akan menjadi menantu kita, atau teman sekantor anak kita, atau mungkin menjadi penyebab ketakbahagiaan anak-anak kita, atau menjadi penentu masa depan anak-anak kita sendiri.

Bukankah mencintai dan menyayangi anak-anak adalah bagian dari sunah Rasul?

Multi-Page

One Reply to “Mereka Anak-anak Kita Juga…”

Tinggalkan Balasan