Menyatukan Dunia Pesantren dan Akademik

1,356 kali dibaca

Seluruh alam semesta beserta isinya bersumber dari Yang Maha Tunggal, yang oleh filosof Muslim dan Mutakallim (ahli teologi) disebut wajib al-wujud (wajib adanya), yakni Allah. Artinya, segala hal yang ada atau yang nampak di hadapan kita sejauh mata memandang dicipta oleh Allah.

Istilah sufinya, segala sesuatu bernuansa ilahiah. Alam semesta yang memiliki banyak hal, mulai dari yang memiliki unsur keras sehingga tampak oleh mata, seperti tumbuhan, hewan, manusia sampai pada yang tak tampak oleh mata kepala kecuali harus menggunakan alat bantu, seperti atom. Bahkan, yang tampak namun memiliki unsur lunak, air, api, dan yang tidak tampak sekalipun (hanya bisa dirasa), seperti udara. Semuanya berasal dari Yang Satu.

Advertisements

Bila demikian adanya, pengetahuan pun berasal dari Yang Satu. Apa dasarnya?

Pengetahuan dapat kita peroleh dari semua yang berada dalam alam semesta. Kamus filsafat mengenalnya dengan pengalaman empiris. Baik yang wujud maupun tidak. Segala yang di luar fisik diistilahkan dengan metafisik, dan pengetahuan tentangnya tetap bisa kita gapai.

Terkait manusia, misalnya, muncul ilmu sosiologi, biologi, antropologi, dan sejenisnya. Adapun, terkait yang tidak tampak, udara yang termasuk dalam iklim atau cuaca muncul ilmu yang namanya klimatologi. Kesemuanya disebut ilmu umum hari ini. Padahal, sejatinya ini bisa menjadi ilmu agama tatkala mampu mencerap sisi dalamnya. Kamus tasawuf mengenalnya dengan istilah transenden.

Ilmu agama pun demikian. Jika dirunut ke belakang, akan berpusat pada al-Quran dan Hadits. Contoh ilmu terkait al-Quran adalah munculnya ulum al-Quran dan tafsir. Adapun, terkait hadits muncul mustholah atau ilm hadits. Disiplin ilmu yang lahir dari keduanya (al-Quran dan Hadits) adalah ushul fikih dan fikih.

Tidak ada keraguan, bahwa al-Quran adalah wahyu Allah. Disebut juga kalamullah, firman Allah. Hari ini, ilmu ini tidak mendapat porsi pengamatan dan pembelajaran lebih banyak, padahal sangat penting setelah al-Quran dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Sebelum segala sesuatu diciptakan oleh Allah, cahaya Nabi Muhammad lebih dahulu diciptakan. Kaum sufi mengenalnya dengan istilah Nur Muhammad atau al-Haqiqah al-Muhammadiyah.

Dengan demikian, etika tauhidik sebagai kesatuan keilmuan memiliki landasan cukup kuat. Artinya, sudah seharusnya proses pembelajaran selalu diarahkan ke Yang Satu. Ungkapan lain, setiap pembelajaran, apa pun itu, selalu bernilai transenden, bernuansa ilahiah. Ada dimensi ketuhanan.

Dunia Pesantren

Kitab kuning, istilah lainnya kutub al-turaats, sangat akrab dengan santri. Apalagi ilmu fikih. Porsi pengkajian dan pendalamannya lebih banyak ketimbang tasawuf dan ilmu lainnya. Penguasaan terhadap ilmu alat merupakan bekal awal untuk mengerti isi kandungan kitab-kitab keislaman, kitab kuning tersebut. Proses pembelajaran ilmu alat tetap patut diapresiasi dan terus dipertahankan.

Sejak madrasah tsanawiyah sampai madrasah aliyah, pelajaran terkait ilmu kalam, fikih, nahu, dan lainnya, sudah sangat akrab dalam benak santri. Sudah banyak istilah yang terekam dalam ingatan santri. Perlu diketahui, bahwa semua disiplin ilmu tersebut tergolong dalam ilmu-ilmu keislaman, bukan Islam itu sendiri. Merupakan warisan masa dinasti Abbasiyah.

Sisi lain yang perlu disadari dan ditekankan adalah bahwa ilmu-ilmu yang dikaji di pesantren puncak atau sumbernya berasal dari al-Quran. Meski pada turunannya diwarisi oleh banyak ulama atau pemikir-pemikir pada bidangnya. Sebut saja salah satunya mazhab dalam fikih. Turunan ini, sebisa mungkin tidak menghalangi seseorang untuk menyadari bahwa segala sesuatunya tetap berasal dari Allah. Catatan pentingnya di sini.

Dunia Akademik

Apa identitas yang melekat pada dunia akademik? Ya, penelitian merupakan identitasnya. Sejak awal kuliah, mahasiswa pasti dikenalkan dengan dunia penelitian, meski baru di tingkat bawah, yakni makalah. Melalui makalah, mahasiswa dituntut secara mandiri mencari pertanyaan sekaligus jawaban. Puncak dari penelitian adalah mengetahui secara mandiri segala sesuatu; terkait masalah yang mengitarinya sekaligus solusi atau jawaban atas masalah tersebut.

Penelitian mengharuskan seseorang bersentuhan dengan sesuatu yang ditelitinya secara intens dan kontinu. Tujuannya agar peneliti mendalami dan menguasai betul apa yang sedang ditelitinya. Pertemuan yang intens akan menumbuhkan banyak pengetahuan baru. Ide-ide baru. Gagasan-gagasan baru.

Proses penelitian ini tidak bisa bahkan jangan sampai berhenti di tataran yang tampak, melainkan harus memasuki dimensi dalamnya, hakikat dari yang nampak sebenarnya apa. Sebab, penelitian seringkali hanya berpusat atau berhenti pada yang nampak.

Katakanlah biologi, hanya meneliti organ tubuh manusia dan tumbuhan. Nah, melalui yang nampak, seseorang atau peneliti harus melangkah lebih jauh. Siapa yang menciptakan mansuia dan tumbuhan? Bagaimana alam semesta ini bisa teratur sedemikian rupa. Siapa yang mengaturnya. Ini langkah awal.

Penyatuan Keilmuan

Perlu disadari dan direnungkan, bahwa pengetahuan yang kita peroleh berasal dari tiga entitas, pengalaman empiris, rasional, dan spiritual. Pengalaman diwakili oleh panca indera, rasional diwakili oleh akal, spiritual bisa diserap melalui intuisi. Tiga entitas tersebut tidak boleh dipilah-pilah secara terpisah. Guna mencapai kesadaran akan kesatuan ilmu, ketiganya harus dipergunakan secara holistik (menyeluruh) dan komperehensif (lengkap).

Ilustrasinya bisa seperti berikut: apa yang ditemukan lewat pengalaman (empiris), seperti api yang membakar, air yang menguap, gula yang manis, garam yang asin, dan berbagai kejadian pengalaman lainnya. Langkah selanjutnya, mencari alasan rasionalnya (rational reason), untuk mendapatkan argumen secara rasional. Intuisi bekerja untuk menyerap keagungan Tuhan. Betapa kemudian Tuhan menciptakan alam semesta dengan rahasia yang terkecilnya dan begitu sistematis. Ini terkait ilmu-ilmu alam. Pada prosesnya juga memerlukan al-Quran. Khususnya ayat-ayat kauniyah.

Begitu juga ilmu-ilmu keislaman yang sering kali berpusat pada teks, epistemologi bayani (asal pengetahuan dan teori kebenarannya berdasarkan teks). Diwakili oleh ilmu kalam dan fikih. Apakah teks tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau konteks diambil alih oleh epistemologi burhani (asal dan kebenaran pengetahuannya berdasarkan akal sehat), diwakili oleh ilmu logika. Peran intuisi terjadi dalam epistemologi irfani (asal pengetahuan dan kebenarannya berpusat pada intuisi). Kerja intuisi bisa masuk pada pengalaman selama mengamalkan ajaran-ajaran agama.

Kesimpulan

Dunia pesantren merepresentasikan (mewakili) ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari al-Quran serta Hadits. Dunia akademik mewakili metodologi penelitian. Pertemuannya ada pada pengalaman empiris-epistemologi bayani. Penggunaan rasional-epistemologi burhani. Memfungsikan intuisi-epistemologi irfani. Semua harus bersatu padu dan bersifat sirkular. Melalui kerja sama penyatuan keilmuan menjadi mungkin. Perlahan proses penyatuan berdasarkan etika tauhidik (bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Satu) tersebut akan mengantarkan pada ma’rifah (mengenal Allah).

Proses ini mengindahkan adanya reformulasi kurikulum dalam dunia akademik. Ilmu biologi harus dimuati ayat-ayat kauniyah, sebagai contoh. Supaya tidak berhenti hanya pada ilmu umum saja. Kesadaran bahwa biologi juga manifestasi keagungan Allah didapat melalui al-Quran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan